SEKILAS TENTANG KONFLIK ANTARA MANUSIA DAN GAJAH
Oleh: Rafselia Novalina
Siapa yang tak pernah mendengar tentang konflik satwa dan manusia? Kemungkinan kebanyakan Sobat telah sering mendengarnya. Konflik manusia dengan gajah, misalnya, cukup sering tampil sebagai berita utama media nasional dan juga laman-laman berita online akhir-akhir ini. Namun, apakah semua memiliki pemahaman yang sama tentang apa itu konflik?
Konflik antara gajah dan manusia memiliki dimensi yang luas. Dari definisinya saja, misalnya, setiap orang dapat memiliki persepsi yang berbeda apakah suatu peristiwa dapat disebut sebagai konflik atau bukan. Ketika seekor gajah terlihat di suatu lahan, beberapa orang yang melihat dapat memandangnya secara berbeda, tergantung pada banyak hal seperti latar belakang atau pengalamannya, keterkaitannya dengan lokasi dan satwa, serta berbagai faktor lainnya.
Sebagian masyarakat yang awam bahkan kadang menanyakan, “Apakah benar manusia dan gajah berkonflik?” Pertanyaan ini muncul karena ketidaktahuan mengenai konflik yang terjadi antara manusia dan gajah serta satwaliar lainnya. Masyarakat umumnya tahu bahwa manusia kadang terganggu oleh gajah. Namun, untuk memastikan suatu peristiwa sebagai sebuah konflik atau bukan, umumnya akan memerlukan proses diskusi dan penyamaan persepsi yang panjang.
Selain tentang definisi akan suatu insiden, salah satu dimensi lain konflik satwa-manusia adalah akibat yang ditimbulkannya. Dari sebuah konflik umumnya timbul kerugian, baik secara material maupun mental. Dari kehadiran gajah di wilayah perkebunan, misalnya, dapat mengakibatkan rusaknya komoditas tanaman. Ketika gajah hadir di pemukiman, korban yang timbul dapat berupa rusaknya rumah atau fasilitas lain, bahkan kadang korban luka dan nyawa. Meski sulit dihitung atau dinilai, kecemasan yang dirasakan oleh manusia akibat gangguan gajah atau satwaliar juga sangat sering terasa dan tidak mungkin diabaikan.
Konflik antara Manusia dan Gajah
Provinsi Riau merupakan salah satu pusat sebaran gajah di Sumatera. Di sana terdapat sekitar sembilan kantong habitat gajah, termasuk tiga yang utama yakni Tesso Nilo, Balairaja-Giam Siak Kecil, dan Serangge. Namun, dalam periode 25 tahun terakhir, propinsi terbesar di Sumatera ini juga mengalami laju kehilangan hutan yang sangat cepat. Akibatnya, seperti yang dituliskan oleh Sunarto di Mongabay Indonesia, “Sekitar 70% habitatnya hilang atau rusak hanya dalam satu generasi (25 tahun) sejak 1985. Sebanyak 23 kantong populasi gajah pun mengalami kepunahan lokal pada periode tersebut, yang sebagian besar berada di Lampung dan Riau.”
Apa yang menyebabkan hilang dan berkurangnya habitat serta populasi Gajah Sumatera?
Salah satu penyebabnya adalah menyempitnya areal jelajah gajah yang berubah menjadi lahan hutan tanaman, perkebunan, dan pemukiman. Hal itu juga memicu intensitas konflik yang semakin tinggi karena gajah dan manusia menggunakan lahan yang sama pada saat bersamaan.
Apabila dilihat dari kacamata gajah mereka akan menilai tindakan yang dilakukannya seperti mengunjungi perkebunan masyarakat bukanlah sebuah kesalahan, karena lokasi tersebut adalah bagian dari rumah atau wilayah jelajahnya secara turun-temurun. Sedangkan dilihat dari kacamata manusia, mereka membuka lahan perkebunan atau pemukiman di sana adalah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik untuk perekonomian dan penghidupannya.
Sayangnya, dalam membuka lahan, para pembuka hutan jarang sekali memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi dan fungsi suatu kawasan atau lahan yang hendak dibuka tersebut. Konflik sebenarnya dapat dicegah seandainya manusia memperhatikan rambu-rambu tersebut. Selain itu, sebelum memasuki suatu kawasan terlebih membukanya untuk perkebunan dan pemukiman, masyarakat seharusnya juga mencari tahu dan mencoba lebih memahami keberadaan dan perilaku satwa termasuk gajah.
Ketidaktahuan seperti itu yang memicu konflik antara manusia dan gajah, seperti yang terjadi tanggal 26 Februari 2016 di Danau Buatan, Dermaga 2 Kelurahan Okura RT 01 RW 04, Kec. Rumbai Pesisir, Kota Pekanbaru. Seperti diberitakan, seekor gajah liar memasuki pemukiman penduduk di daerah Danau Buatan yang berjarak 30 menit dari Pekanbaru. Kehadiran gajah tersebut membuat warga ketakutan dan cemas. Masyarakat cemas gajah tersebut menyerang dirinya, rumahnya serta perkebunannya. Untuk mengantisipasi hal tersebut tim mitigasi gabungan yang terdiri dari WWF Indonesia Program Central Sumatera, BBKSDA Riau, Polisi dan masyarakat melakukan pemantauan pergerakan gajah tersebut dan mengungsikan 4 keluarga yang berada di sekitar areal gajah liar beraktivitas.
Berdasarkan wawancara dengan beberapa warga di sekitar lokasi kejadian, mereka mempertanyakan, “Bagaimana mungkin gajah masuk ke kota? Padahal di sini sudah tidak ada hutan lagi. Berdasarkan ilmu pengetahuan gajah tersebut tidak masuk ke kota, namun salah satu pola atau tingkah lakunya dalam menelusuri jalur tradisionalnya, walaupun jalur tersebut telah berubah menjadi hutan tanaman, perkebunan dan pemukiman. Penyebabnya lainnya yaitu kebutuhan makanan yang harus dipenuhi oleh gajah dan mengikuti gajah jantan dewasa yang sedang mencari wilayah jelajahnya.
Kasus gajah masuk ke kota tersebut merupakan salah satu tipikal konflik yang sering terjadi di Provinsi Riau maupun daerah-daerah lain yang memiliki kantong gajah seperti Aceh dan Lampung.
Sekilas Pemahaman Konflik antara Manusia dan Gajah
Pemahaman mengenai konflik yang terjadi antara manusia dan gajah bisa dilakukan ke seluruh masyarakat secara umum, maupun masyarakat secara khusus yang sering bersinggungan dengan gajah. Pemahaman mengenai konflik yang bisa dilakukan bersama dengan memperkuat tim awarenes untuk melakukan edukasi kepada masyarakat yang bersinggungan dengan habitat gajah mengenai perilaku gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) maupun satwa liar lainnya. Sehingga masyarakat lebih memahami dan mengetahui cara pencegahan konflik lebih dini.
Alangkah indah dampaknya di masa yang akan datang apabila penguatan awarenes ini berhasil dalam suatu kawasan manusia dan gajah saling berdampingan dengan memanfaatkan ruangnya masing-masing. Hal ini bisa dilakukan bersama-sama secara sadar apabila kita mau berusaha mengembalikan habitat alami gajah dan memanfaatkan habitat tersebut dengan bijak dan lestari. Jika hal ini terjadi maka manusia, gajah atau satwaliar lainnya akan hidup harmonis di alam. Konflik antara manusia dan gajah atau satwaliar lainnya berkurang, populasi satwaliar di alam tidak mengalami penurunan, hutan menjadi hidup kembali dan manusia bisa mendapatkan manfaat lestari dari hutan.