PRODUKSI MADU KELULUT MELINDUNGI PENELURAN PENYU DI PALOH
Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, berada di lokasi yang sangat strategis secara geografis, karena berbatasan langsung dengan wilayah Negara Malaysia dan berada di antara lima kawasan hutan lindung Taman Wisata Alam (TWA) yang dikelola oleh BKSDA Kalimantan Barat. Kawasan ini memiliki potensi sumber daya alam yang berperan bagi tumbuh kembangnya kegiatan perekonomian masyarakat dalam pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).
Sejak tahun 2009, WWF-Indonesia menjalankan program konservasi Penyu di Kecamatan Paloh yang bertujuan untuk mengetahui populasi dan ancaman terhadap Penyu dan habitatnya di perairan Paloh. Program konservasi ini dilakukan melalui monitoring, serta pendampingan kepada masyarakat untuk mengurangi tingkat perburuan telur penyu melalui pengembangan mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan.
Pasca terbukanya akses darat menuju Desa Temajuk di akhir 2012, geliat perekonomian semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan berkembangnya komoditi sektor pertanian seperti sawit, lada, dan lainnya sehingga berdampak pada pembukaan lahan secara masif di sepanjang pesisir. Nilai jual tanah yang ikut meningkat juga mendorong masyarakat berbondong-bondong membuka lahan untuk diperjualbelikan. Kondisi ini tentu memberikan dampak buruk terhadap vegetasi habitat peneluran penyu sepanjang 63 km yang menjadi lokasi peneluran bagi setidaknya 500 induk betina setiap tahunnya.
Tingkat perburuan telur penyu yang masih cukup tinggi hingga di atas 25% pada tahun 2016 telah mendorong program pendampingan pada masyarakat mengenai mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan semakin gencar dilakukan. Potensi Madu Kelulut (Heterotrigona itama) hasil budidaya mulai dikenalkan kepada Masyarakat Paloh. Harga jual madu yang tinggi, teknis pengelolaan yang mudah, serta ketersediaan sarang yang masih berlimpah di hutan, membuat ternak Kelulut menjadi salah satu opsi yang menjanjikan.
Pelatihan Pengolahan Madu Untuk Hasil Terbaik
Produk unggulan Kelompok Masyarakat Wahana Bahari Paloh berupa Madu Kelulut ini mulai diminati konsumen dan telah dipasarkan di lokal Paloh, Kabupaten Sambas, Kota Singkawang, Kota Pontianak, Jakarta, hingga Sematan (Malaysia), termasuk melalui jaringan WWF-Indonesia. Kelompok Wahana Bahari Paloh sebagai pengelola produksi Madu Kelulut juga menerapkan pengawasan produksi pada peternak dampingan sehingga madu yang dihasilkan telah melewati tahapan kontrol mutu untuk menghasilkan produk dengan kualitas terbaik (standar). Produksi Madu Kelulut asli (raw honey) tanpa adanya pengolahan lebih lanjut (seperti pengurangan kadar air) bertujuan agar kualitas madu tetap terjaga.
Pemasaran madu yang dihasilkan masih terbatas dari mulut ke mulut, mengikuti kegiatan pameran, serta di media sosial. Mereka perlu memenuhi beberapa persyaratan seperti nomor P-IRT (Pangan Industri Rumah Tangga) yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Setempat, label halal dari LPPOM MUI dan juga terdaftar di BPPOM untuk memperluas pasar seperti merambah ke pasar ritel. Oleh sebab itu, WWF-Indonesia memfasilitasi pelatihan Penyuluhan Keamanan Pangan (PKP) dan Kemasan Produk kepada kelompok dampingannya ini sebagai salah satu syarat untuk pengajuan nomor sertifikat P-IRT. Kegiatan pelatihan dilaksanakan pada 22-23 Maret 2019 di Kecamatan Paloh yang diikuti oleh anggota Kelompok Masyarakat Wahana Bahari serta beberapa masyarakat yang mempunyai produk usaha.
Pada pelatihan yang dilaksanakan selama dua hari ini, peserta diberikan materi berupa Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Pangan; Keamanan Pangan; Teknologi Proses Pengolahan Pangan; Higiene dan Sanitasi Pengolahan Pangan; Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga; Bahan Tambahan Pangan; Label dan Iklan Pangan; serta Kemasan Produk.
Andini, salah satu peserta yang mempunyai produk kerupuk olahan dari singkong, mengatakan sangat terbantu dengan adanya pelatihan ini. “Saya jadi tahu bagaimana cara mengolah pangan serta bahan tambahan pangan yang aman untuk dikonsumsi”, ujarnya.
Sri Megawati dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sambas menjelaskan bahwa terkadang masyarakat masih awam mengenai bahan tambahan pangan berupa pewarna dan pengawet yang berbahaya bagi kesehatan. “Boraks sering digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam pembuatan kerupuk, dan masyarakat tahunya itu adalah bahan pengembang kerupuk” tambahnya. Sri menyarankan penggunaan masker, sarung tangan serta penutup kepala agar produk yang dihasilkan higienis dan aman dikonsumsi untuk pengolahan Madu Kelulut. Ia juga mengimbau agar lokasi pengolahan harus dijaga tetap bersih, bebas dari sampah, bau asap, kotoran dan debu.
Selain cara pengolahan yang harus sesuai prosedur standar kesehatan, produk juga harus dikemas dengan baik agar menarik perhatian konsumen. Nanang, dari Dinar Project mengatakan bahwa label pada kemasan produk harus memuat informasi lengkap mengenai produk, termasuk komposisi, tanggal kadaluarsa, nomor produksi dan dilengkapi dengan legalitas (P-IRT, Halal, dan BPPOM). Warna label yang dipilih pada kemasan juga berpengaruh pada pandangan konsumen terhadap produk.
Darna Yance, selaku ketua Kelompok Masyarakat Wahana Bahari Paloh berharap dengan adanya pelatihan ini dapat memperluas pemasaran produk madu kelulut dijaringan ritel dan pasar-pasar swalayan. “Semoga produk kita dapat lebih banyak dilirik oleh konsumen sehingga dapat meningkatkan jumlah produksi,” ujarnya.