PULAU KOON, SURGA DI TIMUR
Penulis: Terry Endropoetro (travel blogger http://negerisendiri.com/2016/web/)
Kapal Menami milik WWF-Indonesia melego jangkar di dekat Pulau Koon. Dari geladak kapal Menami tampak pantai berpasir putih dengan beberapa gundukan pasir timbul dikelilingi air jernih berwarna biru kehijauan. Tenang tak berombak.
“Mengapa namanya Pulau Koon?” tanya saya yang merasa asing dengan nama tersebut. Ternyata, pulau ini pada zaman kekuasaan VOC termasuk dalam distrik Banda Neira. Tak heran nama pulaunya ‘berbau-bau’ Belanda. Tampaknya begitu pula penamaan Pulau Grogos, Nukus, dan Neiden yang berderet berdekatan. Pulau-pulau yang masuk dalam Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Pulau Koon dan Pulau Neiden, Seram Bagian Timur yang memiliki banyak titik penyelaman. Namun, di sekitar Pulau Koon walaupun terkenal dengan arus dalamnya yang kuat, diakui seperti surga oleh para penyelam.
“Ikuuuuut!” teriak saya sambil langsung berdiri dekat tangga besi yang dipasang di sisi kapal, saat Daniel Dirga dan Juwita Pusposari dari WWF-Indonesia memutuskan turun ke darat untuk mencari dan menandai koordinat tumbuhnya lamun. Saya, Trinity, Mayor Laut (P) Budi Titiono, dan Serka Samsul Bahri dari TNI AL menjadi ‘penggembira’ yang ikut naik perahu karet.
Pulau Koon sendiri merupakan pulau kosong tanpa sumber air tawar. Sebagian pulaunya berupa batu karang, sebagian lagi berpasir putih, pantainya yang tak berombak dan air lautnya jernih berwarna biru kehijauan. Saya masih sempat berjalan dan menyusuri pasir-pasir timbul saat air surut, yang kemudian tertutup saat air pasang datang. Air yang tadi sebatas betis kini sudah sampai sebatas pinggang saat dilewati. Kaki makin tenggelam ke dalam pasir.
Saya mengikuti Dirga dan Juwita berkelling Pulau Koon. Menemani mereka melakukan pengecekan hasil analisis citra satelit, untuk mengetahui berapa luas lamun–semacam tumbuhan yang tumbuh diperairan dangkal berpasir, terumbu karang, dan pasir di pulau tersebut. Kontur di sebelah utara pulau berupa pantai dan gunung karang. Pantainya ditumbuhi pepohonan. Sepanjang menyusuri karang yang tajam, banyak kepiting yang sudah mati. Mungkin bekas makanan burung, atau saat mengganti kulit. Siput dan keong juga banyak menempel di karang. Cangkang-cangkang kima raksasa tertanam di dalam batu karang. Ini ciri pulau yang terjadi karena retakan bawah laut yang mendorong karang ke permukaan laut. Ada juga tumpukan kulit ketam kenari dan kulit serta tulang penyu sisa dimakan para nelayan.
Di bagian pantai berbatu karang banyak pohon-pohon yang tumbuh menjadi tempat saya dan Juwita berteduh, sementara Dirga masuk ke dalam air di tengah lamun. Dibanding pantai berbatu berkarang, wilayah berpasirnya lebih luas dan panjang. Di bawah terik matahari siang itu, membuat kulit terbakar dan rasanya kepala saya pun ‘mulai berasap’. Berkali-kali saya berlari ke dalam air untuk sekadar membasuh badan dan kepala. Akhirnya saya berjalan cepat mendahului Dirga dan Juwita, pergi ke tempat perahu karet tertambat, tujuannya satu agar bisa sedikit lebih lama berenang-renang di air yang jernih, menikmati surga di timur Indonesia ini.