PULAU BURU, SURGA PENYU MALUKU YANG BERNASIB PILU
Oleh: Syarif Yulius Hadinata (Marine Species Assistant - WWF Indonesia Inner Banda Arc Subseascape)
Provinsi Maluku memiliki 1.340 pulau dengan panjang garis pantai 10.630,10 km (DKP Maluku). Pulau terbesar kedua di provinsi ini adalah Pulau Buru yang merupakan surga bagi penyu namun sayang bernasib pilu. Informasi ini didapat melalui Survei Data Dasar Bycatch dan Potensi Pantai Peneluran Penyu Pulau Buru yang dilakukan oleh WWF Indonesia, BKSDA Maluku dan LPSPL Sorong pada 15-25 Februari 2018. Survei ini dilakukan untuk melengkapi data secara keseluruhan dari Survei Awal Spesies Penting yang sudah dilakukan pada 6-15 Desember 2016 dan terkonsentrasi pada Pulau Buru bagian Utara.
Hasil survei menunjukkan empat spesies penyu yang bertelur di Indonesia yaitu penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) ada di Pulau Buru, dari total enam spesies yang hidup di perairan Indonesia. Sigi ekstensif yang dilakukan menemukan 3 sarang penyu diantaranya 1 sarang penyu lekang di Desa Waemala, 1 sarang penyu belimbing dan 1 sarang penyu sisik di Desa Waeteba. Kesimpulan adanya 4 spesies penyu yang ada di Pulau Buru diperkuat dengan ditemukannya penyu hijau saat ground check location di Perairan Desa Biloro. Hal ini membuktikan Pulau Buru menjadi habitat penting demi kelestarian spesies penyu.
Pulau Buru yang terbagi dalam dua wilayah administratif kabupaten yaitu Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan memiliki garis pantai berpasir yang menjadi habitat peneluran bagi reptil laut yang mampu hidup hingga ratusan tahun tersebut. Penyu lekang menjadi spesies yang mendominasi pantai peneluran di sekeliling Pulau Buru. Penyu hijau dan penyu sisik sering ditemukan mendarat di kecamatan Kepala Madan, Waplau, Lilialy, dan Namlea serta sesekali juga di Fena Leisela. Kemudian untuk penyu belimbing hanya ada di kecamatan Waesama, Batabual, Kayeli dan Fena Leisela. Hot spot area peneluran penyu belimbing ada di Kecamatan Fena Leisela tepatnya desa Waenibe, Waspait dan Wamlana sepanjang 10,6 km.
Pulau Buru menjadi habitat penting dan utama yang memiiki peranan penting mewakili Provinsi Maluku sebagai habitat penyu. Pulau ini adalah salah satu lokasi target prioritas konservasi penyu dari 12 provinsi berdasarkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Penyu di Indonesia. Hanya saja untuk tetap menjaga peranan penting penyu bagi ekosistem di Pulau Buru bukanlah perkara mudah. Hal ini karena masih terjadi pemanfaatan penyu oleh masyarakat. Ketidaktahuan dan kurangnya kesadaran terkait pentingnya penyu bagi ekosistem masih menjadi alasan klasik bagi masyarakat yang memanfaatkan penyu.
Di Kabupaten Buru Selatan pemanfaatan penyu masih terjadi dengan masif. Satu desa bisa memanfaatkan hingga 9 individu penyu per tahun. Penyu-penyu tersebut tidak hanya untuk konsumsi sendiri namun juga diperdagangkan baik di lingkungan desa, antar kecamatan hingga ibukota provinsi, menyesuaikan dengan pesanan. Para pemburu penyu biasanya lebih senang langsung mencari ke laut daripada menunggu penyu datang bertelur. Perburuan penyu dengan menyelam menggunakan alat tangkap panah atau biasa disebut molo oleh masyarakat setempat. Target awal molo memang ikan tetapi penyu juga menjadi sasaran anak panah jika ditemukan. Harga penyu sisik, penyu lekang dan penyu hijau berkisar Rp 200.000-500.000 tergantung ukuran.
Telur penyu juga tak luput dari incaran para pemburu. Telur penyu masih menjadi makanan favorit yang bisa diambil langsung dari alam selain telur burung maleo (Macrocephalon maleo) yang juga ada di pantai Pulau Buru. Dalam satu malam, penyu yang datang bertelur sebanyak 10-20 individu dengan kelimpahan telur per sarang mencapai lebih dari 100 butir. Telur-telur tersebut diambil untuk konsumsi sendiri dan dijual ke ibukota kecamatan seharga Rp 250/butir. Padahal, penyu merupakan spesies yang dilindungi sesuai Undang-Undang no.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem dan siapapun yang melanggar akan mendapat sanksi hukum. Meskipun demikian, masyarakat di Pulau Buru seolah tak peduli dan tetap memanfaatkan penyu.
Hal tersebut memberikan gambaran pekerjaan berat yang harus diemban bersama demi konservasi penyu di Pulau Buru. Kerjasama antara stakeholder terkait baik tingkat nasional hingga internasional menjadi penentu dalam penyelamatannya karena penyu dapat bermigrasi lintas negara dan benua. Selain kerjasama antara stakeholder, diperlukan upaya penyadartahuan kepada masyarakat di Pulau Buru untuk menjaga perairan habitat penyu, pantai tempat peneluran penyu dan mencegah tindakan kriminal dari masyarakat. Hal tersebut semata-mata demi menjaga kelestarian spesies purba ini