KEMATIAN BAYI DUYUNG DI DESA TUINAN MASIH MENJADI MISTERI
Oleh: Sheyka Nugrahani Fadela (Marine Species Conservation Assistant)
Di akhir bulan Februari silam, bayi duyung ditemukan terdampar di salah satu pantai di Desa Tuinan, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Sejumlah warga desa yang mengetahui kejadian tersebut berinisiatif untuk merawat duyung yang panjangnya baru mencapai sekitar satu meter itu. Hal ini disampaikan kepada para staf Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Buol, yang juga berada di lokasi kejadian.
Satwa yang diduga terpisah dari induknya itu sempat dirawat oleh sejumlah warga desa selama sekitar dua minggu sebelum ditemukan tidak bergerak dan dinyatakan mati di dalam kolam buatan warga pada Jumat pagi (24/2). Kematian bayi duyung di Desa Tuinan disayangkan oleh banyak pihak, menimbang sehari sebelum kematian satwa tersebut terlihat masih bergerak secara aktif.
Penguburan bangkai duyung di Desa Tuinan dilakukan tanpa nekropsi terlebih dulu, sehingga hasil analisis penyebab kematian sebatas dugaan-dugaan terkait kualitas tempat dan teknik perawatan bayi duyung. Walaupun begitu, kejadian terdamparnya duyung tersebut telah ditangani dengan koordinasi yang cukup baik, menimbang berbagai pihak dari mulai dari DKP Provinsi Sulawesi Tengah sampai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri, yaitu Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar, turut membantu dalam upaya penyelamatan dan pemantauan kondisinya.
Anggota komunitas “Jejaring Mamalia Laut Terdampar Nasional” yang tersebar di hampir semua provinsi di Indonesia mendapatkan informasi terdamparnya bayi duyung tersebut dari A. Syahruddin, BPSPL Makassar. Dengan begitu, para dokter hewan yang tergabung di dalam komunitas tersebut dapat memberikan saran mengenai perawatan bayi duyung tersebut, walaupun tidak melalui komunikasi secara langsung.
Hal pertama yang menjadi perhatian para dokter hewan dari kondisi fisik bayi duyung ketika pertama kali ditemukan adalah adanya dua buah luka, yaitu pada bagian perut dan di dekat sirip samping (pectoral fin) pada tubuh duyung. Berdasarkan analisis literatur dan pengalaman beberapa dokter hewan yang pernah terlibat dalam penanganan mamalia laut terdampar, luka tersebut diduga sebagai hasil gigitan ikan hiu pemotong kue (cookie-cutter shark). Jenis luka ini adalah salah satu yang paling sering ditemukan di tubuh mamalia laut, baik yang terdampar maupun yang masih berenang di laut lepas. Sebelum penemuannya pada bayi duyung di Desa Tuinan, luka gigitan ikan hiu pemotong kue juga pernah ditemukan pada seekor bayi duyung yang terdampar di Tanjung Benoa, Bali, dan seekor duyung remaja (juvenile) yang terdampar di Pulau Kanawa, Nusa Tenggara Timur.
Luka gigitan ikan hiu pemotong kue yang cukup dalam umumnya menyebabkan bagian dalam tubuh satwa terekspos ke luar, sehingga infeksi semakin mudah terjadi. Pada bayi duyung di Desa Tuinan, dikarenakan keterbatasan tenaga dan perlengkapan medis, luka hanya dapat diobati dengan mengoleskan antiseptik (betadine). Selebihnya, perawatan terhadap bayi duyung sebatas pemberian asupan nutrisi berupa nasi dan susu setiap hari. Berdasarkan saran para dokter hewan, para warga desa memindahkan bayi duyung dari tempat penampungan sementaranya, yaitu perahu sampan, ke dalam kolam berukuran 3 x 4 meter dan sedalam 90 sentimeter, berbahan terpal dan berisi air laut yang diganti setiap hari.
Menurut Dwi Suprapti, National Coordinator for Marine Species WWF-Indonesia, terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan pelajaran bagi semua orang dari kejadian terdampar dan matinya bayi duyung di berbagai tempat di Indonesia, termasuk yang terjadi di Desa Tuinan. Hal yang paling utama adalah diperlukannya dokter hewan atau ahli di bidang kedokteran hewan dalam penanganan kejadian terdamparnya duyung dan mamalia laut lainnya. Dokter hewan atau ahli ini dapat membantu tim penanggap pertama dalam mengambil keputusan terkait teknik penanganan dan perawatan individu yang memang membutuhkan rehabilitasi.
Selain jenis dan karakteristik luka pada tubuh duyung, umur dari individu duyung terkait adalah salah satu hal penting yang harus diperhatikan sebelum mengambil tindakan. Duyung dengan panjang kurang dari dua meter masih tergolong berumur relatif muda, atau bahkan masih bayi. Individu dalam rentang umur tersebut masih sangat sensitif terhadap teknik dan kualitas penanganan yang diberikan oleh penanggap kejadian terdampar atau perawat di tempat individu duyung direhabilitasi. Khusus untuk bayi duyung, asupan nutrisi yang diberikan harus sesuai dengan asupan yang biasanya diberikan oleh induk duyung. Dalam hal ini, asupan tersebut dapat berupa susu dengan kandungan-kandungan senyawa tertentu.
Jika duyung muda atau bayi duyung hendak direhabilitasi, kualitas fasilitas rehabilitasi harus sangat diperhatikan. Kurang baiknya kualitas air di dalam kolam buatan, misalnya, dapat memperparah infeksi pada luka-luka yang sudah ada sejak duyung terdampar. Masalah lain, seperti peningkatan tekanan fisik (stres), juga sulit untuk dihindari jika kualitas fasilitas rehabilitasi kurang baik.
Salah satu tujuan rehabilitasi adalah agar individu dapat dikembalikan ke habitat aslinya. Dalam kasus bayi duyung, pencarian induk satwa tersebut penting untuk dilakukan di sekitar lokasi bayi duyung terdampar. Idealnya, pelepasan bayi duyung ke laut dilakukan setelah informasi tentang keberadaan induknya diketahui. Hal ini dikarenakan individu bayi masih sangat bergantung pada induknya, terutama dalam hal perlindungan dan mencari makan.
Kematian bayi duyung di Desa Tuinan memang menyedihkan, tapi beberapa aspek dalam penanganannya menginspirasi banyak orang untuk berbuat lebih baik dan berharap banyak terkait penanganan mamalia laut di masa depan. Salah satu harapan yang diungkapkan oleh Dwi, misalnya, adalah adanya “flying vet” (dokter hewan yang siap siaga) secara resmi yang dapat ditugaskan kapanpun dan dimanapun, berikut dengan alokasi dana darurat, jika ada kejadian mamalia laut terdampar dengan harapan hidup yang besar. Dokter hewan ini diharapkan memiliki kewenangan penuh untuk menjalankan tugasnya, sehingga penanganan dapat dilakukan secara tepat dan cepat. Harapan lain dari Dwi berupa pusat rehabilitasi khusus mamalia laut kecil atau berukuran kurang dari lima meter. Fasilitas ini dapat dilengkapi dengan perawat khusus hewan jika ada mamalia laut yang membutuhkan penanganan jangka panjang.
Catatan untuk Editor:
Duyung (Dugong dugon) atau dugong adalah salah satu dari 35 jenis mamalia laut yang dijumpai tersebar di Perairan Indonesia, dan telah ditetapkan sebagai salah satu dari 20 spesies target prioritas KKP yang perlu dilindungi. Duyung adalah mamalia laut yang dilindungi oleh pemerintah melalui Undang-Undang No.5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Mamalia yang panjang tubuhnya dapat mencapai tiga meter ini mengkonsumsi lamun, serta berperan penting dalam ekosistem laut. Secara internasional, duyung termasuk ke dalam Daftar Merah IUCN (the International Union on Conservation of Nature) sebagai satwa yang “rentan punah” (Vulnerable) dan termasuk ke dalam Apendiks I CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), sehingga perdagangan duyung dan bagian tubuhnya dalam bentuk apapun tidak diizinkan.