PROSES PANJANG MENUJU HADING MULUNG, PENUTUPAN LAUT SELAMA SETAHUN
Oleh: Nisa Syahidah (Sunda Banda Seascape Communication & Campaign Assistant, WWF-Indonesia)
Matahari mulai meninggi saat Bapak Basonden Baso, Ketua Panitia Hading Mulung, membuka rangkaian kegiatan hari itu. “Hading Mulung akan berlaku hingga 30 Oktober 2017. Setelah itu, Hobba Mulung diberlakukan dan masyarakat boleh mengambil hasil laut selama sebulan, sampai 30 November 2017,” paparnya.
Tepat pukul 12.00 WITA, kapal yang membawa orang tua Sandiata meresmikan Mulung di wilayah selatan, timur, dan barat Pulau Lapang; dengan total seluas 146,22 hektar perairan. Wilayah Mulung meninggalkan sisi utara pulau, yang memang digunakan sebagai lokasi budidaya rumput laut.
“Setiap tahunnya, kita akan terus mengevaluasi efektivitas wilayah yang di-mulung. Penutupan tiga titik ini hanyalah awal, dan dapat disesuaikan dalam tahun-tahun ke depan,” jelas Mashuri AP Uba, Camat Pantar Barat, penggerak kebangkitan Hading Mulung di Baranusa. Ia duduk diapit Babinsa dan Kapolsek Pantar Barat, yang hadir sebagai dukungan atas peresmian kearifan lokal ini setelah terakhir berlaku tahun 1992.
“Hading Mulung adalah kearifan yang lahir dari masyarakat, untuk masyarakat Baranusa sendiri. Kelak, kita yang akan mendapat manfaat dari Mulung ini, saat sumber daya laut tetap terjaga hingga generasi anak cucu nanti,” jelas Bapak Mangkup Radja Baso. Raja Baranusa ke-16 ini sebelumnya hadir bersama Mashuri AP Uba, Camat Pantar Barat, di Institut Pertanian Bogor (IPB), untuk presentasi Hading Mulung di hadapan para penggiat konservasi dan akademisi.
Membangkitkan Hading Mulung yang selama ini mati suri membutuhkan proses panjang. Proses ini diawali dua tahun lalu dalam kajian tipologi masyarakat adat di wilayah Flores Timur dan Alor oleh WWF-Indonesia, bekerja sama dengan Universitas Nusa Cendara (UNDANA) Kupang. Sejak saat itu, WWF-Indonesia mendorong pemberlakuan pranata adat untuk kelestarian kawasan konservasi perairan, namun masyarakat adat Baranusa tidak serta merta menyetujuinya.
Beruntung, Camat Pantar Barat bekerja sama dengan Raja Baranusa, mempunyai cara khusus sehingga berhasil menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk melindungi lautnya. “Untuk menjangkau masyarakat, pendekatan pelayanan yang dibutuhkan, bukan pendekatan kekuasaan,” ungkap Mashuri.
Beberapa tahun terakhir sebelum Mulung kembali berlaku, peraturan zonasi kawasan di perairan Pulau Lapang dan Pulau Batang oleh pemerintah belum banyak dipatuhi masyarakat. Terutama, nelayan dari luar pulau yang sama sekali tidak mengetahui informasi mengenai zonasi tersebut. Dampaknya, terdapat penurunan yang signifikan pada hasil produksi tangkapan ikan di perairan ini.
“Kami sudah percaya, bahwa Mulung harus diberlakukan kalau kita masih ingin menangkap teripang, kerang lola, batulaga, dan hasil laut lainnya di masa depan,” kata Pahlawang Narang, tokoh nelayan yang sebelumnya bersikeras menolak Hading Mulung, mengungkapkan motivasi masyararakat memberlakukan Mulung kembali.
Saya ingat, tetua adat Suku Sandiata juga menyampaikan bahwa kearifan lokal sejenis Mulung diketahui hanya ada di tiga lokasi di Indonesia, yaitu Mataram, Maluku, dan Baranusa. Meski langka, tidak muluk untuk berharap bahwa Baranusa dapat menginspirasi masyarakat adat lainnya di Indonesia untuk melakukan hal yang sama. Bergerak melestarikan alam, menjadi cahaya bagi lautan. Seperti doa Baranusa yang dirangkum dalam nama masjid mereka.