POTENSI IMBAL JASA LINGKUNGAN DI LANSKAP PEUSANGAN, JAMBO AYE & TAMIANG, ACEH
Oleh: Agus Haryanto (WWF-Indonesia) dan Abdul Halim (Forum DAS Krueng Peusangan)
Kerusakan Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Peusangan, Jambo Aye dan Tamiang (PJT) merupakan bom waktu bagi 2,5 juta jiwa penduduk di pesisir timur Aceh. Kerusakan ekosistem DAS dapat mengganggu sumber air sehingga ancaman krisis air di masa yang akan datang akan menjadi momok yang menakutkan karena air merupakan sumber kehidupan.
Deforestasi, penambangan ilegal, perkebunan sawit dan perambahan hutan serta galian C merupakan sederet persoalan yang terjadi di tiga DAS besar tersebut. Ditambah lagi keberadaan kebun sawit yang tidak lestari di lanskap ini menambah daftar masalah, seperti sejumlah perusahaan sawit yang beroperasi di Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamian yang masih belum menerapkan prinsip-prinsip perkebunan yang berkelanjutan.
Titik masalah utama gangguan bagi DAS di kawasan ini adalah rangking pertama galian C dimana korelasi antara tingkat pembangunan infrastruktur dengan banyaknya izin galian C. Untuk DAS Tamiang terdapat 52 IUP, di DAS Peusangan terdapat 36 IPU dan DAS Jambo Aye terdapat 14 IUP ini sangat mengkhawatirkan bagi kerusakan sungai itu sendiri.
Juga keberadaan sejumlah perkebunan sawit, maraknya pemberian izin galian C karena sebagian area konsesi perusahaan ini harus dilindungi, baik kawasan yang bernilai konservasi tinggi, kawasan serapan air, dan sumber air. Namun perusahaan tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Pekebunan. Persoalan ini menjadi masalah besar bagi perusahaan air minum, baik perusahaan daerah, maupun perusahaan swasta.
Payment on Environmental Services (PES) atau Pembayaran Jasa Lingkungan adalah satu tren yang berkembang di penggiat lingkungan. Skema PES tersebut merupakan upaya menarik semua pihak dalam skala global untuk ikut bertanggung jawab dalam penjagaan lingkungan hidup. Seperti dipahami saat ini telah terjadi tingkat kerusakan lingkungan yang sangat besar dan menjadi ancaman bagi seluruh kehidupan di Bumi.
WWF-Indonesia, FDKP, dan BSUIA saat ini sedang melaksanakan program SRJS (Shared Resources Joint Solutions) Aceh di lanskap PJT (Peusangan, Jambo Aye dan Tamiang), sebagai salah satu bagian program SRJS Aceh adalah pengembangan skema imbal jasa lingkungan/PES di DAS. Untuk itulah diadakan workshop pengembangan imbal jasa lingkungan pada 25-26 September 2018 di Lhokseumawe dengan diikuti oleh seluruh stakeholder yang terkait, termasuk perwakilan pemerintah pusat dan daerah, akademisi, pihak swasta, dan organisasi masyarakat yang berada di lanskap PJT.
Isfadli Yahya, SE, Direktur PDAM Krueng Peusangan pada Workshop Imbal Jasa Lingkungan yang dilaksanakan oleh program SRJS Aceh pada Selasa (25/09) yang lalu di Lhokseumawe, mengaku, biaya produksi air bersih oleh PDAM Krueng Peusangan cukup besar karena aktivitas penambangan yang dilakukan di hilir menyebabkan air sungai keruh. “Selain penambangan, pengambilan batu besar juga mengganggu ekosistem DAS, di mana batu besar sebagai penyangga air tidak lagi tersedia, sehingga saat musim hujan, air dengan sendirinya terbuang ke laut melalui sungai,” tuturnya. “PDAM telah melakukan kerja sama dengan FDKP dalam implementasi Imbal Jasa Lingkungan di hulu Sub DAS Pandrah, Bireuen. Program ini sukses merestorasi lahan kritis di sana,” kata Isfadli.
Sementara itu, Michael Riwu Kaho, Ketua Forum DAS NTT menceritakan tentang tanah kelahirannya yang gersang, namun NTT menjadi salah satu daerah yang sering dikunjungi para pihak yang ingin mengelola DAS, karena NTT sukses mengelola DAS secara terpadu dan berkelanjutan.
Untuk mengelola DAS secara terpadu dan berkelanjutan, Ia mengajak multi stakeholder untuk berkontribusi mewujudkan DAS yang berkelanjutan. Meskipun perusahaan di NTT nyaris tidak ada, namun konsep multi stakeholder tetap dijalankan untuk mewujudkan pengelolaan DAS, karena persoalan DAS merupakan persoalan bersama dan harus ditangani secara bersama-sama dari hulu, tengah, dan hilir.
Dr. Rini Fitri, akademisi Universitas Almuslim, Peusangan, menyebutkan, permasalahan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum di Indonesia meliputi banjir, kekeringan, tanah longsor, sendimentasi, degradasi hutan dan lahan, terbatasnya dana pemerintah, tingkat pendapatan dan partisipasi penduduk rendah, konflik antar kepentingan di hulu dan hilir, pencemaran air dan tanah.
“Karakteristik DAS ideal adalah mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi, mampu menjamin kelestarian DAS, mampu menjaga adanya pemerataan pendapatan petani (equity) dan mampu mempertahankan kelestarian DAS terhadap goncangan yang terjadi (recilient),” kata Rini.
Irwandar, dari Yayasan Usaha Lestari Indonesia menjelaskan, air merupakan kebutuhan umum seluruh makhluk hidup. Selain itu, bisnis juga sangat tergantung pada sumber air (industri, perkantoran, hotel, pusat perbelanjaan, PDAM, dll).
“Kerusakan ekosistem DAS dapat mengancam kelangkaan suplai air (drought), manajemen dan ketersediaan air yang lemah (rural/urban) juga menjadi persoalan tata kelola air,” kata Irwandar, mantan staf bagian Humas PT Arun NGL Lhokseumawe.
Irwandar menjelaskan, penggunaan air juga sering menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Karena itu kebijakan kolektif untuk menjaga eksistensi air sangat diperlukan. Ia juga menyebutkan, pentingnya kesadaran bersama tentang masa depan air.
Agus Haryanto dari WWF-Indonesia menceritakan panjang lebar tentang Imbal Jasa Lingkungan dan tantangan implementasi di Indonesia. Salah satu kisah sukses implementasi Imbal Jasa Lingkungan yang didampingi WWF-Indonesia adalah kesepakatan dengan PDAM Menang Mataram, Lombok pada 2009 dalam hal implementasi pembayaran jasa lingkungan oleh 40.000 pelanggan air PDAM.
“Jasa Lingkungan untuk rumah tangga sebesar Rp1.000,00 dan kantor sebesar Rp2.000,00. Dari total alokasi dana publik untuk Jasa Lingkungan, 75% dimanfaatkan untuk alam dan masyarakat, sementara 25% untuk operasional program,” jelas Agus.
Menurut Azhar (WWF-Indonesia Northern Sumatera Program), pengembangan Imbal Jasa Lingkungan di Aceh secara khusus pernah dilakukan di DAS Peusangan melalui skema voluntary, yaitu beberapa perusahaan besar di kawasan Aceh Utara, seperti PT Arun LNG dan PT Pupuk Iskandadar Muda (PIM ) sebagai pengguna air dari Krueng Peusungan, bersedia menggunakan skema imbal jasa lingkungan pada 2011. Imbal Jasa Lingkungan secara umum hadir karena ada kesepahaman bersama antara perusuhaaan dan stakeholder dan diperlukan pendekatan dan sosialisasi untuk kegiatan isu imbal jasa lingkungan ini di perusahaan lainnya di kawasan industi Aceh Utara.
Potensi Imbal Jasa Lingkungan di DAS Peusangan, Jambo Aye dan Tamiang
Cerita sukses pengelolaan DAS secara terpadu dan berkelanjutan bukan suatu hal sulit bagi tiga DAS besar di pesisir Aceh. Potensi untuk implementasi Imbal Jasa Lingkungan (PES) di DAS Peusangan, Jambo Aye dan Tamiang cukup besar. Sejumlah perusahaan air, baik daerah maupun swasta beroperasi di tiga lanskap ini. Selain perusahaan air minum, perusahaan tambang, perkebunan dan industri juga beroperasi. Namun kesadaran para pihak tentang pentingnya mengelola DAS secara terpadu dan berkelanjutan yang masih belum dipikirkan para pihak.
Selain kemauan untuk mengelola DAS sebagai penyedia air belum ada, sejumlah perusahaan juga berlindung di balik Undang-Undangan Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah. Mereka beralasan, perusahaannya telah membayarkan pajak restribusi, dan pajak air permukaan. Lalu mengapa mereka harus kembali memberikan Imbal Jasa Lingkungan yang bersifat sukarela?
Benteng pertahanan perusahaan ini memang ampuh. Mereka telah menunaikan kewajibannya membayarkan pajak dan retribusi, namun pengelolaan yang dilakukan pemerintah selama ini berbanding terbalik. Pajak air permukaan, pajak mineral bukan logam dan batuan, dan pajak air tanah yang dibayarkan perusahaan tidak dimanfaatkan untuk merehabilitasi dan merestorasi lahan kiritis di hulu dan tengah DAS sebagai bentuk pengelolaan DAS. Karena itu, kerusakan ekosistem DAS terus terjadi, sehingga menjadi ancaman bagi umat manusia, terutama kekeringan dan banjir bandang.
Di balik cerita di atas, sebenarnya terdapat peluang yang besar dalam upaya pengembangan PES (Imbal Jasa Lingkungan), khususnya air di DAS Peusangan, Jambo Aye dan Tamiang. Hal tersebut dikarenakan beberapa fakta antara lain: 1) Kejelasan komoditas pokok untuk implementasi PES yang dalam hal ini adalah Pengelolaan Jasa Lingkungan Air yang berkelanjutan untuk mewujudkan tata kelola DAS secara terpadu dan berkelanjutan; 2) Implementasi PES sebelumnya sudah pernah dilakukan di DAS Peusangan, pembelajaran dari lokasi tersebut tentu sangat berharga dan menjadi peluang besar untuk dapat direplikasi di dua DAS lainnya, yaitu DAS Jambo Aye dan DAS Tamiang; 3) Kondisi DAS di lanskap PJL (Peusangan, Jambo Aye dan Tamiang) sudah dalam kondisi yang kritis dan memprihatinkan, terbukti dari adanya beberapa bencana, baik banjir maupun kekeringan yang sudah terjadi. Terakhir, potensi pengembangan PES (Imbal Jasa Lingkungan) juga menjadi sangat mungkin untuk dikembangkan di lanskap PJT dengan adanya payung hukum peraturan perundangan di tingkat nasional, yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup yang di dalamnya dimungkinkan adanya pengembangan skema Imbal/Pembayaran Jasa Lingkungan.
Optimalisasi Forum DAS
Forum DAS Krueng Peusangan dan Forum DAS Jambo Aye yang telah mendapatkan legalitas dari pemerintah perlu mendapat dukungan para pihak, terutama pemerintah kabupaten/kota yang masuk di dalam Daerah Aliran Sungai, sehingga upaya-upaya pengelolaan DAS yang terpadu dan berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan baik.
Upaya implementasi Imbal Jasa Lingkungan (PES) juga harus didorong oleh para pihak, baik pemerintah, perusahaan, dan lembaga swadaya masyarakat. Implementasi Imbal Jasa Lingkungan sendiri dapat dilakukan oleh lembaga yang dibentuk para pihak melalui forum DAS, sehingga perencanaan, implementasi dan monitoring dapat dilakukan oleh forum DAS yang merupakan forum multi stakeholder.
Sementara DAS Tamiang yang belum terbentuk forum das harus melakukan langkah-langkah kongkrit, dimana para pihak di Tamiang harus mengajak para pihak untuk pembentukan Forum DAS Tamiang. Forum multi pihak ini nantinya akan berperan mengelola DAS Tamiang secara terpadu dan berkelanjutan. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Krueng Aceh sebagi perpanjangan tangan Kementerian Lingkunan Hidup dan Kehutanan di daerah harus mendorong percepatan pembentukan Forum DAS Tamiang.
Hal lain yang masih menjadi tantangan besar dalam upaya implementasi dan pengembangan PES (Imbal Jasa Lingkungan) di lanskap PJT antara lain: 1) Perlunya partisipasi publik secara lebih luas karena dalam konteks pengelolaan DAS harus dilakukan secara terpadu dan terintegrasi. Salah satu yang perlu didorong adalah adanya kesepakatan bersama multipihak/multisektor untuk secara bersama-sama melakukan penyelamatan DAS; 2) Diperlukan upaya peningkatan kapasitas kelembagaan (yang telah ada), baik forum DAS maupun forum lain yang terkait untuk secara bersama-sama ke depannya dapat menjadi kelembagaan pengelola PES (Imbal Jasa Lingkungan) di lanskap PJT; 3) Hal mendesak dan penting lain yang diperlukan adalah adanya payung hukum di tingkat daerah. Terkait hal ini, perlu dorongan kuat untuk segera melakukan finalisasi dan pengesahan draft Qanun tentang pengelolaan DAS dan jasa lingkungan yang sudah ada.