POLA PENANGKAPAN TRADISIONAL IKAN JULUNG-JULUNG DI PETUANAN KATALOKA
Oleh: (Aliana Nafsal - Fisheries officer WWF Indonesia IBAS)
Perairan Pulau Gorom, khususnya Petuanan Kataloka, memiliki sumber daya laut pelagis kecil bernilai ekonomis penting, yakni ikan julung-julung. Ikan julung-julung memiliki tubuh memanjang pipih seperti pipa ini umumnya berkumpul dekat permukaan dan melompat keluar air. Ikan julung-julung yang masuk dalam katagori Hemirhamphus sp. tersebut biasanya diolah menjadi makanan tradisional “Julung Kering” oleh masyarakat lokal dari hasil tangkapan nelayan yang tidak habis dijual dalam keadaan segar.
Proses penangkapan ikan julung-julung dinilai cukup menarik oleh warganya, karena harus dilakukan secara berkelompok dalam satu perahu atau giok yang berukuran 5 x 1,5 m dengan bobot 15 GT. Dalam satu giok beranggotakan kurang lebih 12 orang, yang terdiri dari satu orang masnait sebagai kapten atau nahkoda kapal, satu orang juru mesin yang bertugas menjaga mesin tetap berfungsi dengan baik, dan 10 orang ABK atau nelayan yang bertugas untuk memasang jaring sampai pada proses menarik jaring ke atas giok.
Menurut salah satu nelayan, untuk mengetahui posisi ikan julung-julung yang mendekat ke perairan darat, dapat dilihat dari banyaknya ikan sor, ikan sejenis barakuda, yang melompat-lompat ke permukaan air. Ikan sor yang melompat dapat terlihat dari bibir pantai membuat para nelayan bergegas ke laut untuk menjaring ikan julung-julung.
Jaring yang dipakai nelayan mempunyai dua ukuran panjang, yaitu jaring dengan ukuran 1 inch yang dijadikan sebagai kantong, berada di bawah giok, serta jaring ukuran 2 inch berada di atas giok. Saat salah satu nelayan melingkarkan jaring di atas kapal, salah satu nelayan ABK lainnya harus berenang untuk membuat ikan julung-julung terperangkap ke dalam jaring agar jaring yang dipenuhi ikan dapat segera ditarik oleh nelayan ABK di atas kapal.
Nelayan giok biasa mengelilingi Pulau Gorom untuk mencari ikan julung-julung sebanyak satu hingga dua kali dalam sehari. Hasil tangkapannya pun bisa mencapai 2 ton dalam satu tahun. Pendapatan dari penangkapan ikan julung-julung dilakukan secara bagi hasil antara pemilik perahu dan jaring (30 %), masnait dan juru mesin (70%) serta nelayan ABK (20 %). Namun, menurut salah satu pemilik giok H. Abdullah Rumalean, pada tahun 2015-2016 terjadi penurunan tangkapan hingga 150 kg yang menyebabkan pendapatan nelayan tidak mencapai target.
Penurunan hasil tangkap menimbulkan ketakutan di diri para nelayan akan populasi ikan julung-julung yang semakin berkurang bila penangkapannya terus dilakukan secara tidak ramah lingkungan. Nelayan juga mengakui jika mereka kerap menangkap ikan julung-julung dalam kondisi hampir bertelur saat sedang bermigrasi ke perairan lepas pantai untuk memijah. Hal ini disadari nelayan saat menarik jaring dari perairan, ikan julung bergerak lambat dan tubuhnya menjadi berat karena dalam kondisi matang gonad.
“Kalau populasi cenderung berkurang bahkan sampai tidak ada sama sekali, maka akan berdampak pula pada perekonomian masyarakat nelayan, khususnya masyarakat Kataloka”, ucap H. Abdullah Rumalean.
Agar ikan julung-julung di perairan Pulau Gorom tetap lestari maka diharapkan nelayan dapat mengatur jumlah tangkapan dan unit alat tangkap. Disamping itu, WWF-Indonesia akan terus melakukan pelatihan pembukuan keuangan dan modifikasi pengolahan ikan julung agar nelayan dapat menutupi menurunnya hasil tangkapan.