PETANI SAWIT SWADAYA DAN TANTANGAN PRAKTIK BUDIDAYA SAWIT LESTARI
Oleh: Dani Rahadian
Industri kelapa sawit di Indonesia berawal dari empat bibit yang dibawa dari Mauritius pada 1869. Dari fungsi awalnya sebagai tanaman hias, kelapa sawit berkembang menjadi komoditas utama Indonesia, dengan kontribusi sekitar 11% dari total ekspor 2012. Menurut data Kementerian Pertanian 2011, luas lahan sawit tergarap di Indonesia mencapai 8 juta hektar dimana hampir 45% diantaranya adalah perkebunan sawit rakyat yang dikelola petani swadaya.
Pada perkembangannya, perkebunan sawit rakyat terbagi menjadi dua kelompok: perkebunan milik petani plasma dan perkebunan milik petani swadaya. Skema plasma berangkat dari program pemerintah “Perkebunan Inti Rakyat” (PIR) yang merupakan pola pembinaan dan kerjasama antara perusahaan dengan masyarakat di sekitar lokasi perkebunan. Program ini diharapkan akan mempercepat transfer teknologi dari perusahaan dengan masyarakat.
Berbeda dengan petani plasma yang memperoleh dukungan dari perusahaan, umumnya petani swadaya membudidayakan sawitnya tanpa kerjasama dengan pihak lain. Tidak ada standar good agricultural practice yang diterapkan oleh petani swadaya, selain berdasarkan kebiasaan masing-masing petani. Rendahnya produktivitas sering disiasati dengan perluasan lahan, bahkan ke kawasan lindung yang bernilai konservasi tinggi. Kondisi ini sering menciptakan anggapan bahwa petani swadaya tidak mampu melakukan praktik budidaya yang lestari.
Anggapan tersebut bisa disanggah melalui pencapaian Asosiasi Petani Sawit Swadaya Amanah dari Kecamatan Ukui, Riau. Akhir Juli lalu, Amanah menjadi asosiasi petani swadaya pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikat RSPO untuk praktik budidaya sawit lestari. Kebersamaan dan keinginan untuk memperbaiki praktik budidaya menjadi pondasi mereka dalam menerapkan prinsip dan kriteria RSPO. Mekanisme kontrol internal dan kelembagaan yang kuat juga menjadi modal mereka. Sayangnya, tidak semua petani dan kelompok tani swadaya memiliki dasar kelembagaan yang kuat seperti asosiasi Amanah, sehingga posisi tawar mereka dalam rantai perdagangan sawit cukup lemah.
Masih banyak petani sawit yang bekerja secara individu tanpa memiliki organisasi petani. Sebagai individu, daya saing mereka untuk menembus pasar masih sangat lemah. Karena itu petani perlu bergabung dengan kelompok tani dan kelembagaan ekonomi seperti koperasi untuk membentuk kekuatan kolektif yang terlembagakan, untuk saling bersinergi dan saling melengkapi.
Selain masalah kelembagaan, cukup banyak tantangan yang dihadapi oleh petani sawit swadaya. Selain masalah pembiayaan, pada umumnya petani swadaya sulit memperoleh pengetahuan dan informasi untuk menerapkan good agricultural practice terutama bagi mereka yang tinggal di daerah pelosok. Peranan penyuluh dan pihak yang mau meningkatkan kemampuan petani swadaya sangat dibutuhkan untuk mengatasi kondisi ini. Kepemilikan faktor produksi—semisal mesin, pupuk pestisida dan benih bersertifikat — juga masih menjadi tantangan bagi petani swadaya. Sebagai contoh kecil, masih banyak petani yang menggunakan benih kelapa sawit tidak bersertifikat sehingga hasil yang diperoleh tidak terjamin kualitasnya.
Dalam hal pemasaran, baik produk tandan buah segar (TBS) yang tersertifikasi maupun yang tidak umumnya terhenti pada tahapan transaksi dengan pabrik pengolahan kelapa sawit. Pabrik pengolahan yang kemudian memproses TBS menjadi minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPU). Daya tahan sawit yang hanya 12-24 jam sebelum pengolahan semakin mempersempit posisi petani swadaya dalam penentuan harga jual TBS. Berbeda dengan beras, TBS tidak memiliki harga pembelian pemerintah (HPP) sebagai jaminan harga bagi petani, walaupun sawit telah menjadi komoditas utama Indonesia.
Undang–Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan Kerjasama Berbagai Pihak
Hari Tani Nasional yang jatuh pada tanggal 24 September perlu dijadikan momentum untuk menjawab tantangan tersebut. Pada tanggal ini ditetapkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960 yang mengatur hak-hak dan kewajiban kaum tani, hak atas tanah, hak atas sumber-sumber agraria untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat. Undang-undang ini kemudian diperlengkapi dengan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU P3) yang disahkan awal Juli lalu.
Melalui UU P3, pemerintah menyatakan akan melindungi dan memberdayakan petani terutama petani skala usaha kecil. Secara khusus Menteri Pertanian Suswono menyatakan undang-undang tersebut akan melindungi petani dari berbagai tantangan seperti keterbatasan akses pada sarana dan prasarana produksi pertanian, ketidakpastian iklim usaha dan kondisi pasar yang tidak kondusif bagi pengembangan usaha tani. Dari sisi pemberdayaan, pola pikir dan kerja petani akan dikembangkan termasuk didalamnya pengembangan kemampuan kelembagaan.
Upaya pemerintah ini perlu memperoleh apresiasi, karena menjawab sebagian tantangan yang dihadapi oleh petani sawit, terutama petani sawit swadaya. Yang perlu terus kita perhatikan adalah pelaksanaannya di lapangan, karena dukungan riil pemerintah sangat penting dalam perubahan pola praktik petani sawit menuju pengelolaan yang lestari.
Bila kita mengambil contoh dari keberhasilan Asosiasi Amanah dalam memperoleh sertifikat RSPO, bisa dilihat adanya kerjasama yang erat antara petani, pemerintah dan berbagai pihak. WWF-Indonesia sebagai fasilitator kegiatan sertifikasi melakukan konsultasi intensif dengan Kementerian Pertanian dan Dinas Perkebunan di tingkat Provinsi maupun Kabupaten. Dalam proses ini perusahaan juga terlibat aktif dalam proses transfer teknologi serta informasi pendukung.
Itikad baik dan kerjasama semua pihak dalam rantai produksi kelapa sawit—baik perusahaan sebagai pembeli hasil produksi petani, pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pelaksana pemberdayaan petani, serta pihak-pihak terkait lainnya—sangat dibutuhkan dalam upaya mengubah praktik petani swadaya sehingga lebih lestari dan memiliki daya saing yang tinggi. Pernyataan KADIN Indonesia mengenai prakarsa bantuan dana melalui koperasi untuk 1 juta petani sawit swadaya menjadi angin segar. Bantuan yang diberikan untuk meningkatkan produktivitas petani dapat menjawab tantangan pembiayaan dalam penerapan good agricultural practice.
Dengan dukungan dari semua pihak, petani Indonesia akan mampu menjawab keraguan berbagai pihak terkait kemampuan mereka untuk menerapkan praktik budidaya sawit lestari. Melalui praktik yang lestari, diharapkan budidaya yang dihasilkan tidak saja lebih produktif dan efisien, namun juga memiliki daya saing yang mampu menembus pasar global.
Penulis adalah Palm Oil Senior Officer for Smallholders Engagement WWF-Indonesia. Ia sudah bekerja selama lebih dari 11 tahun di bidang kelapa sawit dan saat ini memfokuskan diri pada kegiatan sertifikasi petani sawit swadaya di Sumatera dan Kalimantan