GREEN INVESTMENT DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM
Oleh: Siti Sadida Hafsyah
Perubahan iklim bukanlah peristiwa yang dapat dihindari. Untuk menghadapi ini, pada tahun 2015, Indonesia bersama dengan 197 negara lain yang tergabung dalam konvensi UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), meluncurkan Paris Agreement yang memuat tujuan global dalam upaya adaptasi terhadap perubahan iklim. Indonesia menindaklanjuti komitmen dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tersebut dengan meratifikasi Paris Agreement dalam UU no. 16 tahun 2016.
Berbagai kebijakan pendukung telah dikeluarkan dan beberapa komitmen awal dari sektor privat dan pemerintah daerah telah digaungkan. Langkah kongkrit selanjutnya adalah untuk menjawab bagaimana upaya yang ada saat ini dapat terealisasi menjadi norma kegiatan investasi di Indonesia.
Untuk itu, KLHK dan WWF-Indonesia menyelenggarakan diskusi interaktif bertemakan: “Mewujudkan Investasi Perubahan Iklim: Perkembangan, Tantangan, dan Peluang”. Bagian dari serangkaian Festival Perubahan Iklim pada 16-17 Januari 2018 di Jakarta.
Dari sisi payung regulasi investasi hijau, hal ini telah diatur di dalam aturan perencanaan umum penananam modal. Salah satu skema yang sudah berjalan yaitu melalui insentif fiskal dan non-fiskal yang diberikan dalam bentuk pembebasan dan atau pengurangan pajak, tanggungan bea masuk oleh pemerintah, serta fasilitas untuk bea impor, jelas Hanung Harimba, Direktur Perencanaan Investasi Agribisnis dan Sumber Daya Alam dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Ia menyebutkan lima sektor utama yang berpotensi dalam penerapan Green Investment, di antaranya infrastruktur, pertanian, industri (padat karya, substitusi impor, orientasi ekspor, dan hilirisasi), maritim, serta pariwisata dan kawasan. Hanya saja saat ini realisasi Green Investment masih jauh dari target yang diharapkan. Sebagai contoh, total penggunaan clean energy baru sebesar ≤ 2% dari potensi pengembangannya.
Edi Setijawan selaku Direktur bidang Keuangan Berkelanjutan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan terkait regulasi sektor jasa keuangan dimana OJK memperkuat bank agar mampu berdaya saing dalam potensinya untuk memberikan skema finansial pendanaan green investment Green Investment dengan diterbitkannya POJK no. 15 tahun 2017 tentang Sustainable Finance dan POJK no. 60 tahun 2017 tentang Green Bond, . Saat ini, masih banyak dari proyek pembangunan yang belum memenuhi persyaratan untuk didanai dari sektor swasta. Oleh karena itu, blended finance dari dana swasta dan dana publik maupun dana sosial (seperti anggaran pemerintah, hibah, dan filantrofis) menjadi solusi akses finansial pendanaan terhadap proyek hijau.
Berdasarkan data Climate Policy Initiative (CPI), dukungan pendanaan publik telah berhasil meningkatkan partisipasi swasta untuk terlibat dalam pendanaan untuk perubahan iklim, jika merujuk pada peta pendanaan untuk perubahan iklim di skala global. Sementara ini di Indonesia, peningkatan terutama terlihat pada teknologi energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga matahari dan angin.
WWF melihat Green Climate Fund (GCF), salah satu sumber pendanaan publik, sebagai peluang untuk mendukung percepatan investasi hijau yang mendukung target perubahan iklim, hal ini disampaikan oleh Zulfira Warta, Koordinator Pengembangan Project REDD+ WWF-Indonesia. Salah satunya bagaimana dana-dana ini dapat dimanfaatkan untuk membantu pengembangan kapasitas masyarakat dalam memproduksi komoditas secara berkelanjutan, yang sekaligus dapat menurunkan emisi GRK sektor kehutanan.
Dari sisi destinasi investasi, Jarot Winarno selaku Bupati kabupaten Sintang, provinsi Kalimantan Barat, menyampaikan bahwa kabupaten Sintang merupakan salah satu daerah yang mendukung upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Melalui pembangunan green economy berbasis tata ruang yang sejalan dengan Rencana Aksi Sintang Berkelanjutan 2017-2021. Harapannya ini akan menarik para investor baru dan dana-dana sosial terkait dalam meningkatkan tingkat komersil suatu transaksi bisnis.
Disamping memanfaatkan dana-dana yang ada, Rizkiasari Yudawinata, selaku Responsible Investment Policy Senior Officer, WWF-Indonesia, menyampaikan salah satu tantangan utama lain yang dihadapi lembaga jasa keuangan saat ini adalah keterbatasan akses informasi untuk mendukung pengambilan keputusan alokasi sumber daya pendanaan pada proyek-proyek yang ramah sosial dan lingkungan. Pada tahap ini, diharapkan dapat terbangun kolaborasi dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, terutama yang telah mendemonstrasikan komitmen hijaunya sehingga green investment yang efektif berkontribusi terhadap target perubahan iklim pemerintah dapat terwujud.
Informasi lebih lanjut, silahkan mengubungi:
Rizkiasari Yudawinata, Responsible Investment Policy Senior Officer
Email: rjoedawinata@wwf.id
Mobile: +628112344343