PENJAGA PERAIRAN ADAT DESA LATO, FLORES TIMUR
Oleh: Nisa Syahidah (WWF-Indonesia)
Hari ketiga kami di Flores Timur, dari atas Menami yang membuang sauh, saya memandang jauh sebuah bangunan berwarna putih. Gereja St. Perawan Maria La Salete, begitu yang terbaca pada Google Maps saya.
Gereja ini tampak cukup mentereng di antara rapat hijaunya pesisir desa ini, Lato namanya. Ibukota Kecamatan Tetihena, Flores Timur, letaknya sejajar dengan Teluk Hading. Perairan Desa Lato memang menjadi tempat bermalam kami sejak kemarin. Menurut rencana zonasi kawasan konservasi perairan, desa ini termasuk ke dalam Zona Perikanan Berkelanjutan Sub Budidaya dalam Suaka Alam Perairan Flores Timur ini.
Evaluasi dan briefing malam itu awalnya berjalan tipikal saja. Sampai Pak Rusydi (Universitas Muhammadiyah Kupang) bercerita tentang tamu istimewa Menami lepas petang tadi. Ternyata, seorang anggota Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas) Desa Lato. Pokmaswas adalah sekelompok masyarakat yang melakukan pengawasan terhadap berlangsungnya pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan.
“Saya dan Fikri (WWF-Indonesia) sedang duduk-duduk di depan, perahu bapak ini merapat ke Menami pelan-pelan,” cerita Pak Rusydi. “Ternyata, bapak ini memperkenalkan diri sebagai Pokmaswas desa, memberitahu kita bahwa perairan ini dilindungi oleh adat setempat,” sambung dia.
Sebelumnya, di Pulau Pantar, Alor, kami mengenal Raja Baranusa dengan wilayah adat Pulau Lapang dan Pulau Batang, zona inti kawasan konservasi perairan yang juga dilindungi oleh peraturan adat. Pengelolaan kawasan konservasi berbasis adat (Indigenous and Community Conserved Areas/ICCAs) adalah sistem pengelolaan perikanan berbasis kearifan lokal dalam mengatur sumber daya alam yang mereka miliki. Kisah mengenai ICCA di Flores Timur ini, baru bagi kami.
“Saya bertugas mendatangi kapal-kapal yang berhenti di sini. Setiap kapal yang beraktivitas dalam radius 5 kilometer perairan ini, harus membayar Rp5,000 per harinya,” kata Pak Rusydi, mengutip kata-kata bapak Pokmaswas. Kami yang mendengarnya hanya bisa ber-Ooh panjang. Tapi cerita Pak Rusydi belum selesai. Ia masih mengutip kata-kata bapak yang tak sempat ia ingat namanya ini.
“Saya ini juga nelayan, dulunya masih pakai bom dan potasium,” ceritanya. “Tapi sekarang tidak lagi, merusak laut ini.”
Hal ini menjawab temuan peneliti yang menemukan tanda-tanda bekas pengeboman di bawah sana. Sepanjang penyelaman hari itu, beberapa kali tim juga mendengar suara bom. Tak hanya di satu lokasi, namun sampai tiga titik penyelaman. Ternyata, belum semua nelayan mengikuti jejak bapak Pokmaswas ini.
Meski demikian, senang rasanya mengetahui bahwa wilayah konservasi berbasis adat ternyata lebih banyak dari yang kita ketahui. Tak hanya di Alor, tak hanya di Koon, Maluku, atau Wakatobi – tetapi juga di ujung barat Flores Timur ini.
“Saya belum sempat ajak beliau ngopi-ngopi, bapaknya sudah pergi,” kata Pak Rusydi, menyeruput kopinya – entah gelas keberapa hari itu.