PENGEMBANGAN PANAS BUMI: FILIPINA VS INDONESIA
Oleh: Indra Sari Wardhani
Pengembangan panas bumi di Filipina, berawal pada tahun 1970-an dimana pada masa tersebut terjadi krisis minyak dan gas bumi di Filipina. Untuk mengatasi krisis tersebut Pemerintah Filipina berkomitmen untuk beralih pada penggunaan energi terbarukan, salah satunya adalah panas bumi. Komitmen ini dikukuhkan pada 16 Desember 2008 dengan ditandatanganinya Undang-Undang mengenai Energi Terbarukan, yang bertujuan untuk mempercepat eksplorasi dan pengembangan energi terbarukan dalam rangka mencapai kemandirian energi, mengurangi ketergantungan negara terhadap energi fosil serta mengurangi tekanan negara terhadap fluktuasi harga energi. Update mengenai pengembangan panas bumi di Filipina ini disampaikan oleh Mario C. Marasigan, Direktur IV Biro Pengelolaan Energi Terbarukan, Departemen Energi Filipina pada sesi pertama rangkaian acara media trip ke pembangkit listrik panas bumi di Mount Apo.
Kebijakan dan regulasi ini cukup berhasil karena hingga 2013 pangsa energi terbarukan mencapai 29% dalam bauran energi nasional Filipina dan 14% diantaranya atau sekitar 1.848 MW berasal dari energi panas bumi. Filipina boleh dikatakan beberapa langkah lebih maju dalam pengembangan energi terbarukan bila dibandingkan dengan Indonesia dimana lebih dari 95% bauran energi nasionalnya masih berasal dari energi fosil seperti batubara, minyak bumi dan gas bumi, sementara pangsa energi terbarukan masih kurang dari 5%. Kebijakan energi nasional Indonesia yang menargetkan 17% pangsa energi terbarukan pada 2025 masih jauh dari realisasi. Pangsa panas bumi baru sekitar 1% dalam bauran energi nasional, dengan kapasitas terpasang saat ini sebesar 1.341 MW yang tersebar di Sumatera (122 MW), Jawa (1.334 MW), Nusa Tenggara (5 MW) dan Sulawesi (80 MW). Potensi panas bumi di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, mencapai 28,617 MW yang tersebar di 299 lokasi. Dengan potensi ini, pemanfaatan panas bumi di Indonesia masih dapat dioptimalkan.
Ada beberapa perbedaan dalam arah pengembangan energi di Filipina dan Indonesia. Yang pertama, latar belakang kondisi energi yang berbeda dimana Filipina negara yang memiliki sumber daya energi fosil yang terbatas sementara Indonesia memiliki sumber daya energi fosil yang cukup melimpah bahkan Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor minyak bumi, gas bumi dan batubara yang cukup besar. Walaupun saat ini dengan kebutuhan energi dalam negeri yang terus meningkat, Indonesia sudah harus mengimpor minyak bumi dan produk turunannya.
Kedua, Filipina memiliki Undang-undang yang mendorong pengembangan energi terbarukan yang secara jelas ditujukan untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap energi fosil. Dengan adanya UU energi terbarukan, Filipina telah berhasil meningkatkan kontrak kerja panas bumi 3 kali lipat yaitu dari 13 menjadi 39 kontrak kerja. Sementara di Indonesia saat ini arah kebijakan nasional untuk mengurangi pangsa minyak bumi menjadi kurang dari 20% pada 2025 namun pangsa batubara dan gas bumi meningkat masing-masing menjadi 33% dan 30% dari total bauran energi nasional.
Ketiga, harga energi di Filipina berdasarkan harga pasar, tidak ada subsidi yang diberikan untuk semua jenis energi. Namun pemerintah Filipina memberikan insentif baik fiskal maupun non fiskal bagi pengembangan energi terbarukan termasuk panas bumi antara lain pembebasan pajak (income tax holiday) selama 7.tahun dan setelah itu pajak hanya sebesar 10% (energi fosil sebesar 30%), pembebasan tarif impor untuk mesin, peralatan dan bahan, insentif dana langsung untuk pengembang yang melakukan program elektrifikasi, pembebasan pajak untuk carbon credit yang diperoleh, net operating loss carry-over selama 7 tahun, dan lainnya. Berbeda dengan Indonesia, dimana harga energi khususnya bahan bakar minyak (BBM) dan listrik masih mendapat subsidi yang cukup besar dari negara. Tercatat pada APBN 2013 total subsidi energi sebesar Rp. 274.743 Milyar atau sekitar 16% dari total pengeluaran negara terdiri dari subsidi BBM sebesar Rp. 193.805 Milyar dan subsidi listrik sebesar Rp. 80.938 Milyar. Insentif bagi energi terbarukan di Indonesia juga dirasakan belum cukup menunjang. Feed in tariff yang ditetapkan oleh pemerintah, dirasakan kurang menarik bagi para investor untuk mengembangkan panas bumi.
Secara umum, kunjungan media trip WWF ke pembangkit listrik panas bumi Mount Apo adalah untuk mempromosikan pengembangan panas bumi yang berkelanjutan di Indonesia dan Filipina. Melalui kegiatan ini, para peserta diharapkan dapat memperoleh informasi, pengetahuan dan pengalaman bagaimana pemerintah Filipina berhasil mengembangkan energi panas bumi sebagai salah satu tumpuan energi nasional. Para peserta juga diajak melihat bagaimana Filipina mensinergikan pengembangan energi panas bumi dengan upaya konservasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat dengan melihat langsung salah satu pembangkit listrik panas bumi (PLTP) Mount Apo yang terletak di dalam kawasan Taman Nasional Mount Apo dan juga merupakan wilayah leluhur masyarakat adat Manobo – Apao.
PLTP Mount Apo memiliki luas wilayah 701 hektar dengan kapasitas terpasang sebesar 2x52 MW dan telah beroperasi sejak tahun 1993. PLTP ini dikembangkan oleh EDC (Energy Development Company) yang merupakan perusahaan panas bumi terbesar Filipina yang telah berhasil mengembangkan sekitar 1.155 MW atau 65% dari kapasitas terpasang panas bumi di Filipina