PENGALAMAN KELOMPOK TANI JUKU EJAYA BULUKUMBA MENGGUNAKAN PUPUK: SEBUAH TANDA TANYA
Akhir tahun 2013 lalu, saya berkunjung ke Bulukumba, Sulawesi Selatan. Tujuan kami kala itu, selain untuk memantau perkembangan budi daya rumput laut cottoni, juga untuk menggali informasi tentang penggunaan Pupuk Alam Hijau yang tahun itu mulai digunakan oleh petani rumput laut Bulukumba.
Pupuk Alam Hijau merupakan pupuk yang diproduksi untuk meningkatkan pertumbuhan rumput laut dan mengatasi penyakit rumput laut seperti ice-ice. Pupuk yang diklaim berasal dari bahan alami dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan ini telah diperkenalkan di Kab. Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan sejak 2013. Selain itu ada juga di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan telah diteliti efektivitasnya oleh akademisi dari Universitas Mataram.
Namun, pemanfaatan pupuk ini dikhawatirkan dapat berdampak buruk bagi lingkungan laut. Sebab, setelah dilihat surat izinnya, pupuk organik alam cair “Alam Hijau” yang diproduksi oleh PT. Disantya Prestasi Tangerang Banten ini hanya mendapatkan ijin dari Kementrian Pertanian Republik Indonesia pada tahun 2011 dengan uji mutu dan efektivitas pada tanaman bayam, bukan untuk rumput laut.
Selain itu, ada ketakutan bahwa pupuk ini dapat menyebabkan kesuburan perairan atau eutrofikasi sehingga perairan mengalami kekurangan oksigen dan mengancam kehidupan organisme di dalamnya. Kejadian ini pernah dialami oleh rumput laut di Desa Kojadoi, Kab. Sikka, Nusa Tenggara Timur, yang pernah berjaya dan akhirnya anjlok akibat eutrofikasi sejak tahun 2007. Penyebab kerusakan ekosistem perairan tersebut disinyalir berasal dari penggunaan pupuk cair bermerek Green Tonic, yang memicu melimpahnya nitrogen di perairan.
Berikut hasil penelusuran kami di Bulukumba pada akhir 2013 itu.
***
Menurut A. Hidayatullah Ahmad, Humas Pemda Bulukumba, Pupuk Alam Hijau bisa eksis di Bulukumba berkat inisiatif Syamsuddin, Wakil Bupati Bulukumba, yang melihat perkembangan rumput laut di daerah Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) karena aplikasi Pupuk Alam Hijau. Ia mengundang perwakilan alam hijau untuk mengaplikasikan pupuknya ke Bulukumba.
Syamsuddin juga yang mengarahkan Bapak Jokowiyanto, leader alam hijau Bulukumba, pada bulan Mei 2013 lalu ke Kelompok Tani Juku Ejaya, Desa Tanah Beru, Kec. Bonto Bahari. Sebuah kawasan pertanian rumput laut yang sudah terkenal sebagai desa unggulan. Ke Desa Tanah Beru inilah kemudian kami pergi, untuk menanyakan lebih dalam tentang penggunaan pupuk di Kelompok Tani Juku Ejaya.
Ketua Kelompok Tani Juku Ejaya, Subair, bercerita bahwa uji coba pertama Pupuk Alam Hijau menggunakan bibit 15 bentangan yang disandingkan dengan bibit yang tanpa Pupuk Alam Hijau. Percobaan itu, menurut Subair, berhasil meyakinkan para petani rumput laut. Apalagi sebelum uji coba, industri rumput laut di Desa Tanah Beru ini mengalami masa suram. Selama tiga tahun, kualitas produksi rumput laut menurun karena terpapar ice-ice, lumut, dan thalus yang mudah patah.
Uniknya, untuk meyakinkan petani tentang standar organik pupuk tersebut, Jokowiyanto harus menelan pupuk tersebut di hadapan mereka. Atraksinya itu menghapus keraguan petani tentang pengaruh pupuk terhadap kesehatan di kulit. Sebab pupuk lainnya (sebelum alam hijau), petani mengalami gatal-gatal pada kulit. Tapi kini, ratusan petani di Desa Tanah Beru telah menerapkan alam hijau, dengan rata-rata dua sampai tiga siklus.
Dampak positifnya dapat mereka rasa adalah peningkatan berat produksi, rumput laut lebih banyak cabang, lebih mengkilat dan bersih, tahan dihantam ombak, tidak ditumbuhi lumut dan tidak dijangkiti ice-ice. Subair bercerita dengan bersemangat, kami pun dibuat deg-degan olehnya.
Namun ada hal yang mengganjal, ketika saya menanyakan isi kandungan pupuk cair yang dijual secara eceran untuk satu botol isi satu liter sekitar Rp110.000 itu ke sang leader melalui telepon, Bapak Jokowiyanto, hanya bisa menjawab bahwa itu rahasia perusahaan, sesuai dengan HaKI. Ia akui, bahannya organik, namun indikasi organiknya belum diketahui.
Saya kemudian menanyakan kembali, apa sudah ada peneliti yang meneliti kandungan pupuk tersebut? Ia hanya bilang, sudah pernah diteliti oleh Dosen Universitas Mataram dan sampel pupuk cair sudah dikirim ke Balai Penelitian dan Pengembangan Rumput Laut Gorontalo.
Sebuah pertanyaan besar, kenapa Pak Joko tidak ingin mengungkapkan kandungan dalam pupuk cair tersebut? Apakah ada kode etik dalam menyembunyikan kandungan dan bahan dasar pupuk bagi petani dan masyarakat umum? Apakah itu dilindungi oleh HaKI? Kemudian, bagaimana sisa air perendaman pupuk itu (dalam kolam terpal) dibuang? Apa pengaruhnya terhadap tanah atau air setelah pembuangan sisa pupuk tersebut?
Di rumah dan kios sang ketua kelompok tani, Subair, pun banyak tersedia Pupuk Alam Hijau. Iya, ia menjadi distributor utama pupuk tersebut untuk kawasan Tanah Beru. Menurut Subair, sudah banyak orang di luar Bulukumba yang datang ke sana untuk membeli pupuk dan membawanya ke luar Bulukumba.
***
Awal tahun 2015 ketika saya berkunjung kembali, Pak Subair serta Kelompok Tani Juku Ejaya masih menggunakan pupuk tersebut. Berarti penggunaan pupuk sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Padahal, Pak Sulkap S. Latief, Kepala Bidang Budidaya Sulawesi Selatan, resmi melakukan pelarangan terhadap penggunaan pupuk tersebut, karena pupuk tersebut tidak memperoleh ijin dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Saya mendengar hal tersebut pada Mei 2014 lalu, saat kegiatan Sarasehan Pembahasan Badan Koordinasi Minapolitan Kab. Pinrang.
Menghadapi rangkaian tanda tanya dalam benak saya, semangat Subair dan Jokowiyanto, serta pelarangan yang dilakukan, lantas, apa yang akan kita lakukan terhadap pupuk hijau ini ke depannya?
Sepertinya masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan aman tidaknya penggunaan Pupuk Alam Hijau ini khusus untuk budi daya rumput laut. Karena jika digunakan di perairan, dampaknya bisa sangat tinggi dibandingkan dengan tanah di daratan.
Penulis: Idham Malik (Aquaculture Fisheries Officer WWF-Indonesia)