PEMULIHAN FUNGSI EKOSISTEM DI DALAM KAWASAN RESORT ULUBELU TNBBS
Oleh: Hijrah Nasir
Pak Supar bercerita ketika ia pertama kali menanami lahan kopi yang berada di dalam kawasan TNBBS 22 tahun yang lalu. Ia menjelaskan bahwa ia membeli tanah tersebut dari orang lain dan tidak tahu bahwa kawasan tersebut merupakan bagian dari TNBBS. Pak Supar hanya satu dari ribuan masyarakat yang melakukan perambahan di dalam kawasan TNBBS selama puluhan tahun. Massifnya konversi lahan menjadi ancaman terbesar bagi konservasi TNBBS. Percepatan pengrusakan kawasan TNBBS terjadi pada kurun waktu tahun 1998 – 2004 sebagai hasil perubahan politik lokal dan nasional serta meningkatnya pasar global untuk banyak komoditas, seperti kopi, cokelat, dan tanaman ekspor lainnya. Analisis dari foto udara oleh WWF dan WCS (imagery dari periode 1999-2004) memperlihatkan sekitar 89.224 ha hutan alam di TNBBS telah hilang atau sekitar 28% dari keseluruhan luas kawasan TNBBS. Seluas 55.402 ha dari total lahan yang telah dikonversi ini (17% dari total luas TNBBS) diklasifikasikan sebagai kebun yang masih aktif, yang didominasi oleh tanaman kopi dan sekitar 6.828 ha atau 12% dari luas kebun yang masih aktif, merupakan kebun kopi yang masih baru. Kemudian seluas 33.882 ha (11% dari luas TNBBS) telah menjadi belukar karena ditinggalkan oleh perambah.
Namun, berdasarkan data BBTNBBS tahun 2010, luas kawasan TNBBS yang dirambah secara aktif menjadi seluas 61.786 ha dengan jumlah 16.214 Kepala Keluarga. Hal ini menunjukan adanya peningkatan laju perambahan setiap tahunnya. Peningkatan perambahan ini disebabkan karena kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar TNBBS. Data dari Balai TNBBS menunjukkan bahwa ada 127 desa (2007) yang berbatasan langsung dengan TNBBS dengan mata pencaharian utama adalah petani.
Salah satu wilayah dengan perambahan hutan yang dijadikan kebun kopi yang cukup massif adalah kawasan Ulubelu. Oleh karena itu, sejak tahun 2012, TNI bekerjasama dengan Balai TNBBS dan masyarakat mengadakan program penanaman pohon di dalam kawasan Ulubelu. Sejak saat itu, warga yang menanam kopi di dalam kawasan TNBBS mulai menanam dan merawat pohon berkayu keras seperti Cempaka, Mentru, Pulai, dan Medang di sela-sela kebun kopi mereka. Namun karena kurangnya informasi dan pengetahuan mengenai teknik budidaya pertanian berkelanjutan yang dimiliki, masih ada petani yang mencabuti pohon tersebut karena menganggap tanaman itu akan mengganggu pertumbuhan kopi.
WWF dan petugas Balai TNBBS secara berkala mengadakan patroli pengamanan di dalam kawasan Ulubelu. Pendekatan persuasif pun dibangun dengan masyarakat untuk memberikan pemahaman tentang aturan dan arti penting memulihkan ekosistem di dalam kawasan TNBBS. Sejak 2016 lalu, pihak resort Ulubelu dan WWF sudah sudah melakukan sosialisasi dengan mendatangi pemilik gubuk di dalam kawasan TNBBS, memberikan sosialisasi kepada kepala dusun atau kepala RT setempat, serta memberikan surat edaran ke tokoh masyarakat setempat. Diharapkan himbauan untuk merobohkan gubuk yang mereka bangun di dalam kawasan dapat dilaksanakan dengan kesadaran penuh dari masyarakat.
Enam gubuk di Talang RCTI, Resort Ulubelu dibangun antara tahun 1986 – 1990. Mereka berasal dari daerah lain di luar kawasan. Berdasarkan keterangan dari Kepala Resort Ulubelu, Balai Besar TNBBS, sejak Mei hingga Juli 2017, total 33 gubuk berhasil dirobohkan oleh masyarakat pengelola kebun kopi di dalam kawasan resort Ulubelu. Di Talang Hadi sebanyak 12 gubuk, Talang RCTI sebanyak 6 gubuk, dan Sukomoro sebanyak 15 gubuk.
Sementara menurut data yang berhasil dikumpulkan oleh petugas Resort Ulubelu, Balai Besar TNBBS, dari 10.000 Ha wilayah TNBBS di Ulubelu sedikitnya ada 1.117 kepala keluarga pemilik gubuk dan petani penggarap yang terdiri dari 8 dusun yakni, Pagar Bukit, Sukomoro, Payung Makmur, Way Haru, Marga Jaya, Palang Merah, Talang Lobang, dan Camp Plastik yang berada di Desa Bandar Agung, Bandar Negeri Suoh, Lampung Barat.
“Kami masih menunggu instruksi berikutnya dari Balai TNBBS. Selama ini pengamanan wilayah aktif dilakukan. Kita harus memastikan bahwa tidak ada pembukaan lahan baru di dalam kawasan TNBBS. Pembukaan lahan besar-besaran terjadi sampai 1998 – 1999 di desa Bandar Agung. Kami dari Balai TNBBS meminta dukungan dari mitra untuk mengadakan patroli bersama untuk menurunkan semua perambah di dalam kawasan resort Ulubelu.” Terang Pak Sukirno, Kepala Resort Ulubelu, Balai TNBBS.
WWF Indonesia selanjutnya akan melakukan program NEWTrees di dalam kawasan ini dengan melibatkan masyarakat sekitar. Tujuan dari program ini adalah untuk memulihkan fungsi ekosistem di dalam kawasan. Untuk tahap pertama, petani akan menanam 4.000 bibit di lahan seluas 10 Ha. Tanaman seperti jengkol, pete, duren, pinang dan pala dipilih untuk memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat. Masyarakat yang tinggal berbatasan dengan TNBBS juga diwajibkan menanam aren dan pinang serta menanam bambu bagi warga yang bermukim di dekat sungai. Diharapkan pelibatan masyarakat ini akan meningkatkan kesadaran mereka tentang arti penting kawasan taman nasional. WWF percaya bahwa upaya konservasi hanya bisa diwujudkan melalui partisipasi dan kesadaran masyarakat.