PEMUDA: PENGGERAK AKSI KONSERVASI, AGEN PERUBAHAN KEBIJAKAN BERKELANJUTAN
Di masa depan, program kepemudaan diharapkan bisa menghasilkan generasi yang memiliki sikap dan keterampilan. Pemuda juga dapat menjadi poros penggerak aksi konservasi alam sehingga memengaruhi komunitas dan mendorong perubahan kebijakan yang lebih ramah lingkungan.
Kabut tebal di sore hari menyambut kedatangan saya dan para peserta Training of Trainers NatureXYouth for Biodiversity, Our Food and Nation Pride! di Saung Sarongge pada hari Jumat (7/02). Desa yang terletak di kaki Gunung Gede, Cianjur, Jawa Barat tersebut adalah sebuah kawasan yang dibangun untuk tujuan wisata dan edukasi sejak 2013. Sejuknya udara pegunungan, membuat pikiran saya menjadi tenang. Suasana tempat ini memang kondusif untuk sebuah acara pelatihan.
Tempat belajar kami selama empat hari ke depan adalah sebuah aula berbentuk panggung yang dibangun dari belasan jenis kayu. Menurut Mas Tosca Santoso, penulis sekaligus aktivis yang memperjuangkan hak-hak para petani, Saung Sarongge dulunya merupakan tempat untuk para petani yang ada di Desa Sarongge berkumpul dan berkegiatan. Sekarang, tempat ini dijadikan homestay dan aula untuk kegiatan masyarakat umum.
Di tempat ini, saya bersama rekan Volunteer Panda Mobile Rafika Rosmalida, dan fasilitator lain yang mewakili komunitas Earth Hour (EH) wilayah Jabodetabek, EH Bandung, EH Cimahi, EH Bandar Lampung, Marine Buddies, Pramuka, pesantren, hingga utusan dari Perguruan Tinggi merasa termotivasi untuk menjalankan aktivitas yang sudah dijadwalkan. Kami akan menjalani pelatihan dari Education for Sustainable Development (ESD) WWF-Indonesia. ESD mendorong gagasan tentang pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan agar Bumi ‘cukup untuk semua, selamanya’. Materi pertama yang kami pelajari adalah tentang keanekaragaman hayati.
Acara dimulai dengan sebuah pertanyaan yang unik. “Jika diberi kesempatan untuk reinkarnasi, kamu ingin menjadi apa?” Demikian pertanyaan pertama yang dilontarkan Koordinator Program ESD WWF-Indonesia Ibu Rini Andriani saat membuka sesi perkenalan. Peserta memberikan tanggapan yang beragam. Ada yang mengaku ingin menjadi cacing, kucing, elang, hingga pohon kelapa. Dari jawaban tersebut, kita sudah mulai mengetahui tentang keanekaragaman hayati yang ada di Bumi.
Usai sesi perkenalan beserta penjelasan singkat mengenai ESD, saya dan peserta lainnya dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk menginap di rumah warga. Hal ini merupakan bagian dari program live in selama lima hari empat malam di Saung Sarongge.
Pada hari berikutnya, kami mulai mendalami materi tentang pendidikan, pembangunan berkelanjutan, hingga peran pemuda untuk mewujudkannya. Kami mengawalinya dengan memahami Living Planet Report (LPR) 2016. Di tahun tersebut, WWF pernah mengeluarkan laporan berbasis analisis ilmiah tentang kesehatan planet Bumi serta dampaknya terhadap aktivitas manusia. Dalam dokumen itu, WWF mencatat perubahan yang terjadi pada keanekaragaman hayati, ekosistem dan konsumsi manusia terhadap sumber daya alam menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan. Jejak ekologis penduduk dunia telah melampaui kemampuan planet Bumi untuk memperbaiki diri secara alami (biokapasitas) sebesar 50 persen. Artinya, diperlukan 15 tahun bagi Bumi untuk memproduksi sumberdaya yang dikonsumsi oleh manusia dalam satu tahun.
Dari laporan WWF, kami menyadari bahwa kondisi Bumi memprihatinkan. Oleh karena itu, warga dunia mesti bergerak untuk menjaga dan melestarikan tempat tinggal kita satu-satunya. Dalam hal ini, kaum muda berperan penting untuk menyuarakan pentingnya isu pembangun berkelanjutan agar diangkat menjadi agenda publik. Pemuda juga dapat menjadi poros penggerak aksi-aksi berbagai program konservasi alam. Gerakan yang dimotori pemuda diharapkan dapat memengaruhi komunitas sekelilingnya untuk melakukan tindakan serupa sehingga mendorong perubahan kebijakan yang lebih ramah lingkungan. Oleh karena itu, program-program kepemudaan diarahkan untuk bisa menghasilkan bibit-bibit anak muda yang memiliki sikap, keterampilan, dan kepedulian terhadap lingkungan.
Salah satu materi pembekalan untuk peserta pelatihan yang diharapkan menjadi pemuda penggerak aksi lingkungan adalah seputar prinsip-prinsip pendidikan dan pembangunan berkelanjutan. Kami mendapatkan pelajaran ini dari Ibu Yayah Komariah. Beliau dalah seorang kepala sekolah yang mampu mengubah SDN Bantarjati 9, Kota Bogor yang nampak Panas, Gersang, Kumuh, dan Miskin (Pager Kumis) menjadi Rindang, Teduh, Asri, dan Cantik (Rindu Asti) dan mendapatkan penghargaan Adiwiyata. Inovasinya dalam melakukan perubahan tersebut cukup kreatif. Presentasi Ibu Yayah berhasil membuat saya terhipnotis dan mengamati setiap upaya perubahan.
Pemaparan Ibu Yayah dimulai dari gambaran SDN Bantarjati 9 pada 2006. Dinding sekolah penuh debu. tampak jejak telapak tangan di permukaannya. Udara sekitar kering. Tak ada satu pun tanaman yang terlihat sejauh mata memandang, gersang. Guru datang siang. Sepertinya, tiada orang yang merasa “memiliki” sekolah. “Pager Kumis. Panas, Gersang, Kumuh, dan Miskin,” demikian istilah yang dipakai Ibu Yayah untuk menggambarkan suasana tempat kerjanya saat itu.
Ibu Yayah tidak tinggal diam. Ia menyusun strategi untuk mengubah kondisi SDN Bantarjati 9 agar lebih baik. Ia mulai mewajibkan setiap siswa dan guru membawa satu pohon untuk ditanam di sekolah. Ibu Yayah menyebutnya “Sawa Sapo”, kependekan dari Satu Siswa Satu Pohon, serta “Sagu Sapo” yaitu singkatan dari Satu Guru Satu Pohon. Tak hanya itu, ia juga mempopulerkan jargon-jargon lainnya seperti “Semutlis” atau “Sepuluh Menit untuk Sekolah”, “Libra” yang berarti “Lihat Berantakan, Rapikan!” dan “Lisa” yang merupakan kependekan dari “Lihat Sampah, Ambil!”
Proses perubahan ini membutuhkan waktu yang panjang. Namun, Ibu Yayah tak pernah menyerah dan terus mempertahankan kebiasaan baik di lingkungan sekolah. Kerja kerasnya berhasil membuat sekolah tersebut menjadi “Rindu Asti” atau “Rindang, Teduh, Asri, dan Cantik”. Kesuksesannya tersebut mengangkat citra sekolah menjadi lebih baik. Kini, semakin banyak pejabat dan kalangan menengah ke atas yang menyekolahkan anaknya ke SDN Bantarjati 9. Strategi mengajar yang digunakan mengutamakan komunikasi ramah anak yang menyenangkan, melalui lagu, hingga praktikum di area sekolah yang asri.
Suatu hari, para siswa diajak belajar menggunakan buah mangga yang dipetik langsung dari pohon yang ada di sekolah. Ada satu orang tua wali murid yang tak setuju. ‘’Ibu, anak saya akan membawa mangga yang dibeli sendiri. Supaya rasanya terjamin manis. Kasihan dia jika mendapatkan rasa mangga yang asam, sedangkan di rumah selalu saya berikan yang terbaik,” protes wali murid tersebut.
Ibu Yayah lalu menjelaskan esensi pelajaran kepada orangtua murid. Menurut Ibu Yayah, dengan menggunakan mangga yang dipetik langsung dari sekolah, maka setiap anak belajar untuk berhati-hati ketika sedang mengupas. Saat melakukanya, kemampuan motorik anak terasah, dan melatih fokus. Setelahnya, anak-anak diberi pemahaman bahwa sampah kulit mangga bisa dijadikan pupuk organik.
Selain itu, siswa juga akan belajar sains melalui fungsi lidah sebagai indera pengecap karena setiap anak bisa mendapatkan rasa yang beragam. Lalu, siswa juga belajar agama dengan membiasakan berdoa sebelum makan. Mereka juga belajar kebersamaan karena setiap siswa yang mendapatkan mangga dengan rasa manis harus berbagi ke temannya.
Inovasi Ibu Yayah lainnya adalah membimbing anak didik untuk membuat jas hujan yang terbuat dari sampah plastik, seperti bekas kemasan detergen atau kopi sachet. Hal tersebut menarik perhatian beberapa media untuk meliput cara mengajar yang inspiratif.
Keberhasilan Ibu Yayah dalam mengubah sekolah ke arah yang lebih baik diganjar penghargaan Adiwiyata Mandiri. Prestasi ini membuatnya mendapat kesempatan untuk menyebarkan ilmu pendidikan lingkungan ke berbagai negara seperti Jepang dan Singapura.
Tak hanya materi presentasi berbasis kasus yang disampaikan oleh Ibu Yayah. Saya juga mendapat pelatihan soft skill dari tim Inspirasi Tanpa Batas (Inspirit). Mereka memberi bekal metode belajar dengan cara komunikasi yang dinamis dalam sisi ilmu pedagogi. Mereka menjelaskan trik menjadi fasilitator yang bertumpu pada kekuatan diri dan tim, cara bertutur dan menyampaikan pesan yang efektif agar dapat diterima oleh target audiens.
Sesi bersama Inspirit sangat menyenangkan. Saya bisa memetik pelajaran dan menjadikannya sebagai referensi, serta mengadopsinya ke dalam kegiatan Panda Mobile WWF-Indonesia. Kami dibekali elemen desain pertemuan dan berlatih dalam proses merancang sesi yang akan dipraktikkan ke sekolah. Mulai dari membuka kegiatan, mengajak peserta untuk mengalami, mengurai, dan menganalisa masalah, merangkum kegiatan, hingga menutup sesi. Sebuah tips dari Inspirit: jangan mengambil metode “ceramah duluan”. Seorang fasilitator harus mampu menarik perhatian peserta sejak pembuka. Seperti yang dikatakan penyair Amerika, Maya Angelou, “People will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel.”
Pembekalan materi lainnya juga disampaikan oleh pendongeng, Paman Gery. Ia menambah wawasan saya terkait cara berinteraksi dengan anak, hingga membangun relasi yang mampu membuat peserta cilik merasa nyaman tanpa tekanan selama kegiatan. Saya belajar bagaimana membangun suasana yang inklusif dan memosisikan sebagai teman bercerita tanpa sifat menggurui.
Lalu, ada pula materi yang disampaikan perwakilan dari Rimbawan Muda Indonesia, Mas Indra. Ia memberi materi melalui aneka games yang menekankan pada aspek kreatif dan inovatif dalam menyampaikan pesan konservasi dengan cara menyenangkan. Kami mempraktikkannya bersama sebagai bekal menjadi fasilitator.
Menyebarkan Pesan Konservasi di SDN Pasir Sarongge
Lagu Go Green dari boyband Super7 diputar di SDN Pasir Sarongge, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pada Senin (10/02). Musik inilah yang dipilih untuk mengiringi senam siswa-siswi sekolah dasar tersebut. Meski sinar matahari sudah muncul sejak upacara bendera, hawa Cianjur tetap sejuk. Anak-anak itu pun tetap bersemangat sampai terbawa suasana dan ikut bernyanyi sambil bergerak. Mereka bahkan meminta lagunya diputar berulang-ulang.
Hari itu adalah terakhir kalinya WWF-Indonesia mengadakan kegiatan bersama siswa kelas 5-6 SDN Pasir Sarongge. Namun, semangat anak-anak SDN Pasir Sarongge tak luntur sedikit pun. Energi positif yang terpancar dari para pelajar menular pada seluruh anggota tim yang mengemban tugas untuk mengenalkan tentang keanekaragaman hayati.
Bagi kami, inilah saatnya mempraktikkan metode edukasi masyarakat yang dipelajari selama pelatihan Training of Trainers NatureXYouth for Biodiversity, Our Food and Nation Pride! Ilmu dari para pemberi materi dari acara tersebut adalah bekal yang akan selalu kami bawa selama mengemban misi menyebarkan pesan konservasi.
Kali ini, kami mendapat kesempatan untuk mengajak siswa kelas 5-6 SDN Pasir Sarongge mengeksplorasi pengetahuan alam. Fasilitator akan mencoba melatih kepekaan para peserta tentang keanekaragaman di lingkungan sekitar.
Mulanya, kami membagi peserta menjadi delapan kelompok. Setiap tim terdiri dari 25 siswa dan didampingi empat orang fasilitator. “Sebelum berangkat sekolah, kalian makan apa saja?” pertanyaan tersebut mengawali kegiatan dalam kelompok yang saya dampingi. Jawabannya beragam. Dari sana, kami bisa mulai memberi contoh keanekaragaman hayati yang ada di lingkungan sekitar.
Selanjutnya, kami mengajak para siswa berkeliling sekolah untuk mengamati makhluk hidup agar bisa memperdalam pengetahuan tentang keanekaragaman hayati. Setelah lima belas menit berselang, seluruh peserta dan fasilitator kembali ke titik kumpul kelompok. Para siswa pun diminta menggambarkan hasil observasinya, lalu mengelompokkan jenis hewan sesuai dengan rantai makanan, ditambah dengan deskripsi gambar. Kemudian, fasilitator mendampingi peserta menganalisa hasil temuannya.
Kebetulan, aktivitas kelompok kami dilakukan di teras depan ruang kepala sekolah. Maka, fasilitator harus berusaha lebih keras untuk menjaga fokus anak-anak yang mudah teralihkan dengan orang-orang yang lalu lalang. Cara yang kami pilih untuk menarik kembali perhatian peserta adalah dengan menyanyikan lagu berjudul "Sampah" yang nada dan rimanya diadopsi dari nyanyian populer Naik-naik ke Puncak Gunung. “Sampah-sampah di mana-mana. Harus kita bersihkan. Sampah kering, sampah basah, harus kita pisahkan,” demikian sepenggal lirik lagu Sampah yang kami lantunkan bersama-sama.
Di sela kegiatan, fasilitator juga selalu menyisipkan pesan konservasi agar para siswa senantiasa menjaga lingkungan dengan aktivitas sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dengan membawa botol minum dan alat makan sendiri ke sekolah. Ternyata, kebnyakan siswa di SDN Pasir Sarongge tak biasa membawa minum dan bekal dari rumah. Saat waktu istirahat tiba, mereka membeli minuman dalam kemasan dengan kadar gula tinggi. Sampah plastik yang dihasilkan pun cukup banyak. Untuk membantu mengubahnya, kami berikan hadiah tumbler kepada beberapa siswa yang aktif berdiskusi dalam kelompok. Harapannya, siswa lain pun termotivasi, dan mulai peduli untuk mengurangi sampah plastik. Kami berharap kebiasaan baik untuk selalu menjaga lingkungan ini selalu melekat di diri para peserta.
Sebenarnya, ada puluhan cerita lainnya selama ToT bersama tim ESD WWF-Indonesia. Banyak hal yang bisa didapat dari setiap kegiatan seperti ini, mulai dari ilmu, teman, dan pengalaman. Saya beruntung mengikuti serangkaian pelatihan sebagai fasilitator dalam melestarikan keanekaragaman hayati untuk masa kini dan masa yang akan datang. Semoga Bumi cukup untuk semua, selamanya.