PASAR SEKOLAH, JALAN KECIL BERDAULAT DENGAN PANGAN LOKAL
Lima anak laki-laki dan perempuan beriringan melompat ke kanan dan ke kiri seolah-olah mengikuti hentakan musik. Mereka mengenakan kain panjang yang dililit di tubuh, dan sehelai kain yang dikalungkan di lehernya. Anak-anak Suku Anak Dalam ini bersekolah di Kelas Jauh Mandelang, bagian dari SD Satu Atap dengan SDN 067/VII Muara Sekalo yang terletak di Desa Muara Sekalo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Suara gemericik air dan kicauan burung menggema dari pengeras suara yang terpasang, menghadirkan suasana yang menyatu dengan alam. Tarian yang mereka tampilkan dalam pembukaan Pasar Sekolah merupakan tari kreasi tradisional Suku Anak Dalam yang menceritakan kehidupan sehari-hari mereka—bermain di alam, bergotong royong, serta berinteraksi dengan hutan sebagai sumber kehidupan.
Anak-anak yang tinggal di desa sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Provinsi Jamb dan Riau, punya beberapa kesamaan. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang erat dengan alam khususnya hutan. Alam menjadi ruang dan sumber permainan. Sungguh mereka berkelindan dengan sungai yang mengalir jernih dan suara hutan. Pasar Sekolah menjadi wadah bagi anak-anak untuk mengenali budaya dan pangan lokal yang diwariskan turun-temurun. Di Desa Muaro Sekalo Kecamatan Sumay Kabupaten Tebo Provinsi Jambi beberapa permainan tradisional sudah mulai hilang dan terlupakan. Namun, keberagaman dan persatuan menjadi identitas budaya yang tak terpisahkan.
Sarjoni, Kepala Sekolah SDN 067/VII Desa Muara Sekalo, menuturkan bahwa Pasar Sekolah bukan sekedar kegiatan ekonomi sederhana, tetapi juga bentuk dukungan terhadap ketahanan pangan dan pelestarian budaya. “Sekolah harus menjadi basis yang mendukung ketahanan pangan sesuai dengan kurikulum. Dalam mekanisme pasar ini, anak-anak belajar bekerja sama, memahami strategi literasi berhitung, serta mengasah keterampilan berjualan dan menawar,” ujar Sarjoni.
Selain itu, kegiatan ini juga mengenalkan berbagai budaya dan kearifan lokal yang masih lestari di Desa Muara Sekalo, seperti seni bela diri silat pangian, alat musik tradisional klentang, serta budaya menganyam. Untuk menanamkan nilai-nilai budaya ini, pihak sekolah bekerja sama dengan para orang tua agar anak-anak tetap terhubung dengan tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Antusiasme orang tua dalam mendukung kegiatan ini sangat tinggi. Azizah, salah satu orang tua siswa kelas 1, mengungkapkan kebanggaannya karena anak-anak dapat terlibat dalam aktivitas yang mendidik dan berbasis budaya lokal. “Anak-anak belajar banyak hal, bukan hanya menjual barang, tetapi juga bagaimana menghargai hasil bumi yang mereka tanam sendiri”, katanya.
Dari Kebun Sekolah ke Pasar Sekolah
Di Pasar Sekolah, berbagai hasil kebun sekolah dijajakan, seperti jahe, kunyit, dan kencur. Putri Wira Agustin dan Karisa, siswa kelas 4, dengan semangat menjelaskan hasil panen mereka yang diolah menjadi berbagai produk siap jual. “Kami menanam jahe dan kunyit di kebun sekolah, lalu mengolahnya menjadi minuman herbal dengan gula merah,” tutur mereka.
Helen, salah satu guru kelas 4 dari SDN 067 Muara Sekalo menambahkan bahwa kegiatan ini terintegrasi dengan mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH). “Sekolah memiliki apotek hidup, jadi sebelum ada Pasar Sekolah, anak-anak sudah terbiasa menanam dan merawat tanaman obat. Mereka belajar tentang manfaatnya bagi kesehatan dan cara mengolahnya agar lebih bernilai ekonomi,” jelasnya.
Selain menjual hasil kebun sekolah, banyak siswa juga membawa hasil kebun dari rumah mereka. Misalnya, kunyit yang sering digunakan dalam pengobatan tradisional”. Di sini kunyit dikenal sebagai obat temasan, Obat temasan adalah sebuah istilah untuk kunyit yang diparut dan kemudian dibacakan doa oleh dukun sebelum dibalur ke orang yang sedang sakit. Temasan juga digunakan untuk ibu yang mengalami keguguran atau sebagai minuman untukibu yang baru saja melahirkan. “Kunyit diparut, lalu air patinya diminum dengan campuran gula merah”, ungkap Helen.
Ada pula kepercayaan turun-temurun mengenai kunyit yang diyakini berasal dari tali pusat Siti Fatimah, putri Nabi Muhammd SAW. Mitos ini menambah nilai historis dan spiritual bagi masyarakat dalam memanfaatkan kunyit sebagai obat alami.
Selain rempah-rempah, berbagai jenis tanaman lokal seperti daun rumbai, dan pandan hutan juga dikenalkan kepada siswa. Tanaman-tanaman ini banyak ditemukan di lingkungan desa, terutama di sekitar sungai dan rawa-rawa. Pandan-pandan ini akan dianyam para perempuan untuk dijadikan tikar, dan menjadi penanda jika mereka sudah siap menikah. Anyaman tidak hanya sebagai sebuah kerajinan tradisional, tetapi juga simbol budaya pernikahan di desa-desa sepanjang bentang Bukit Tigapuluh.
Menularkan Perubahan ke Desa
Riuh suara murid-murid kelas 4 memenuhi kebun sekolah. Mereka memanen tanaman obat yang telah mereka rawat selama enam bulan terakhir. Permintaan dari warga Desa Muara Sekalo terus meningkat. Mereka membeli hasil panen kebun sekolah untuk ditanam kembali di halaman rumah mereka.
Semangat bercocok tanam ini pun menular, yang awalnya hanya dilakukan oleh para murid-murid di kebun sekolah, kemudian warga pun turut menanam di pekarangannya. Helen, salah seorang guru di SDN 067/VIII Muara Sekalo, melihat perubahan ini berdampak pada kesadaran masyarakat akan pemanfaatan lahan pekarangan untuk menanam sayur dan obat-obatan.
"Sebelumnya, masyarakat belum memanfaatkan lahan pekarangan secara maksimal. Mereka berpikir bahwa menanam hanya bisa dilakukan di kebun. Namun, setelah melihat antusiasme penjualan jahe, kencur, dan kunyit, orang tua murid mulai membelinya bukan hanya untuk dikonsumsi, tetapi juga untuk ditanam kembali di pekarangan rumah mereka”, ujarnya.
Kerja sama antara sekolah dan orang tua dalam mengenalkan manfaat tanaman ini semakin memperkuat keterikatan anak-anak dengan budaya daerah mereka. Kepala Desa Muara Sekalo, Suherman, mendukung penuh program ini sebagai bentuk kolaborasi berbagai pihak dalam mengatasi permasalahan ketahanan pangan di desa. "Kita berterima kasih kepada WWF-Indonesia yang telah membentuk Forum Komunitas Berbasis Sekolah Bersama. Program ini membuktikan bahwa sekolah bisa menjadi tempat belajar yang tidak hanya mengajarkan ilmu akademik, tetapi juga memberikan edukasi kepada para siswa untuk bercocok tanam, sehingga siswa memahami proses tumbuhnya tanaman sehingga dapat menumbuhkan rasa memiliki terhadap alam, di mana alam juga sebagai sumber pangan.”, ungkapnya. Menurut Sarjoni, sekolah harus mempersiapkan anak-anak sedini mungkin untuk menjadi generasi penerus yang mandiri dan mampu melestarikan budaya lokal. "Kami ingin anak-anak tidak hanya memiliki keterampilan akademik, tetapi juga memiliki pengetahuan budaya dan keterampilan hidup yang akan berguna bagi mereka di masa depan. Dengan begitu, mereka bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi dan membantu memutus rantai putus sekolah yang masih menjadi tantangan di desa ini”, paparnya.
Kegiatan Pasar Sekolah juga menjadi momen bagi anak-anak untuk memperdalam pemahaman mereka mengenai pelajaran Muatan Lokal (Mulok) dan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH), yang telah diajarkan sejak 2019. Program ini mengajak siswa memahami bahwa pangan lokal bukan sekadar sumber gizi, tetapi juga bagian dari identitas budaya yang harus dijaga.
WWF-Indonesia menyebutkan bahwa inisiasi Pasar Sekolah berawal dari terbentuknya Forum Komunitas Berbasis Sekolah Bersama di Muara Sekalo. Forum ini bertujuan meningkatkan kesadaran kolektif akan tanggung jawab bersama dalam mendukung perkembangan pendidikan di sekolah serta menghadapi tantangan, khususnya isu lingkungan yang dapat memengaruhi proses belajar-mengajar anak usia dini. Forum ini melibatkan partisipasi aktif Pemerintah Desa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan, orang tua peserta didik, serta pihak sekolah, termasuk kepala sekolah dan guru.
Nazli Herimsyah, Koordinator dan Project Executant Landscape Bukit Tigapuluh WWF-Indonesia, mengatakan bahwa inisiatif ini menjadi langkah baik dalam menemukan solusi bersama atas kendala dan tantangan yang dihadapi desa dengan pendekatan sekolah berbasis solusi.
"Latar belakang inisiasi Pasar Sekolah ini adalah untuk mencapai ketahanan pangan sebagai salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan. Fenomena kebocoran rumah tangga juga menjadi dasar terbentuknya kegiatan ini. Masyarakat Desa Muara Sekalo seharusnya bisa memproduksi sendiri bahan pangan seperti sayur-mayur, buah-buahan, bahkan protein seperti ikan dan ayam. Namun, saat ini, hampir semua bahan pangan tersebut disuplai dari luar dengan harga tinggi akibat biaya transportasi, yang pada akhirnya meningkatkan pengeluaran masyarakat secara signifikan”, jelasnya.
Melalui Pasar Sekolah, anak-anak di Desa Muara Sekalo tidak hanya belajar berdagang, tetapi juga memahami arti penting kemandirian pangan, kerja sama, dan pelestarian budaya. Kegiatan ini menjadi contoh nyata bagaimana sekolah dapat menjadi pusat pembelajaran yang tidak hanya mengajarkan ilmu akademik, tetapi juga membangun kesadaran akan pentingnya menjaga warisan leluhur. Sebuah langkah kecil menuju kedaulatan pangan yang berakar pada nilai-nilai budaya dan kebersamaan.