PAGELARAN GPOL, ENERGI CINTA UNTUK IBU PERTIWI
Penyelenggaraan pagelaran “Golden Path of Love-Persembahan Cinta Untuk Bumi” (GPOL) ulang tahun emas WWF-Indonesia kian dekat. Persiapan pra-produksi sudah mencapai tahap akhir. Pertunjukan yang digelar 22-23 Desember ini konon menampilkan lebih dari 200 seniman, artis, penyanyi, model, dan public figure. Aksi panggungnya tak sekadar perpaduan akting dan nyanyian dalam sebuah jalinan narasi teaterikal tentang perjalanan WWF-Indonesia menorehkan sejarahnya dalam aksi-aksi konservasi selama 50 tahun, namun juga diisi beragam pertunjukan yang menampilkan keindahan seni budaya Indonesia. Konsep musik dibuat dan diarahkan oleh Viky Sianipar, seniman musik etnik modern yang sukses dengan album “Toba Dream”. Ia juga dikenal piawai mengelola musik pertunjukan—terutama dengan tema-tema budaya tradisional Indonesia—dengan skala kolosal.
Di sela-sela sesi take vocal di Studio Vsi di bilangan Manggarai, Jakarta Selatan, pria Batak ini menyempatkan diri berbincang dengan Ciptanti Putri dari WWF-Indonesia.
Apa konsep musik GPOL?
Aku tidak membuat sesuatu yang macam-macam, aku sekadar menjadi diriku sendiri. Basically musikku sangat terinspirasi dari Bumi, dari alam. Maka, ketika diajak WWF dalam event untuk Bumi, aku siap. Dengan begitu aku bisa menjadi diriku sendiri dan itu sangat menyenangkan. Musikku melebur dengan arahan Bang Rani (Rani Badri, Art Director GPOL) dan konsep ethnic dari Bang Raden (Raden Sirait, Fashion Director GPOL). Kebetulan kami sudah sering bekerja sama.
Bagaimana musik ala Viky Sianipar?
Menurutku, musikku berasal dari hatiku yang terdalam sehingga hanya bisa diterima dengan hati, tidak dengan otak atau pikiran. Seperti apa, sulit untuk menjelaskannya. Aku mengambil elemen-elemennya dari ibu pertiwi. Orang-orang zaman dahulu menciptakan musik dengan inspirasi dari alam. Komponen alat musik alam, seperti seruling dan alat biola, jika dimainkan bersamaan secara kolosal menciptakan rasa seperti bunyi angin. Komponen-komponen alam itu yang aku gabungkan dalam konsep musik di pagelaran GPOL nanti sehingga pemirsa akan merasa berada di tengah alam, bukan di sebuah gedung pertunjukan.
Apakah ada musik etnik tertentu yang diangkat?
Aku tidak akan spesifik membawa etnis mana pun kecuali itu berhubungan dengan kegiatan WWF-Indonesia di daerah-daerah tertentu. Misalnya, kegiatan konservasi di Papua, maka aku akan memberi warna musik tradisional Papua sehingga seolah-olah penonton berada di Papua. Demikian juga dengan daerah-daerah tempat kegiatan WWF-Indonesia lainnya. Misalnya, duet Edo Kondologit dengan Jamaica Cafe yang membawakan lagu ""Yamko Rambe Yamko"", otomatis aku selaraskan dengan musik khas Papua.
Apakah Anda sudah akrab dengan kegiatan WWF-Indonesia?
Sebelum pagelaran ini, terus terang belum. Sejak persiapan dan pra-produksi pagelaran baru aku kenal WWF-Indonesia karena sering mengikuti sesi presentasi program-programnya. Aku cukup kagum, ada sebuah organisasi yang berbuat sesuatu untuk binatang, tumbuhan, dan untuk Bumi secara umum. Hal ini yang sering dilupakan oleh banyak pihak, termasuk para pemuka agama yang hanya membahas cinta kepada Tuhan dan manusia. Padahal tanpa Bumi, manusia tidak akan ada. Aku mendapatkannya di program-program WWF-Indonesia. WWF-Indonesia seperti mengingatkan kepada orang-orang bahwa Bumi merupakan unsur terpenting dalam kehidupan.
Kini sedang berkembang 'gaya hidup hijau'. Apa komentar Anda?
Correct me if I’m wrong, menurutku green lifestyle ini sebuah gaya hidup yang berdekatan dengan Bumi. Tidak hanya terkait tumbuhan, tetapi Bumi secara utuh. Jika dilihat dari tumbuhan, sekarang ini jumlahnya jauh lebih sedikit dari manusianya. Hal itu mencerminkan bahwa kondisi energi Bumi sekarang sudah tidak imbang.
Adakah aktivitas Anda yang terkait pelestarian alam?
Aslinya aku hanya anak muda Jakarta yang terbiasa dengan gaya hidup metropolis. Tetapi karena aku memilih mendalami jalur musik etnis modern, atau world music, aku jadi sering pergi ke daerah untuk mengeksplorasi musik-musik tradisional mereka. Aku menemukan bahwa musik mereka berasal dari kepercayaan lokal. Mau tidak mau aku pun mempelajari kepercayaan-kepercayaan itu untuk mengerti esensi musiknya, supaya tidak salah ketika menggabungkannya dengan musik modern. Rupanya 60% isi dari kepercayaan tersebut adalah ajaran mengenai alam, karena musik-musik daerah mulanya diciptakan para pendahulu dengan referensi dari alam di sekitar mereka. Akhirnya aku pun mencipta dan mengaransemen saat berada di alam. Di Pulau Samosir, aku punya tempat-tempat khusus yang menginspirasi. Ada sebatang pohon atau batu di tepian danau Toba, dan banyak lagi. Sampai suatu waktu tempat-tempat istimewa itu menghilang karena aktivitas ekonomi masyarakat setempat. Aku kecewa dan marah, mulailah aku mengkampanyekan upaya pelestarian alam. Lewat Komunitas Toba Dream yang terbentuk dari kesuksesan album Toba Dream 1, Toba Dream 2, Toba Dream 3, kami menyusun 3 visi, yakni save the music, save the culture, save the nature. Aktivitas kami berlangsung dari 2006-2009. Namun, aku memutuskan untuk berhenti berkampanye karena gerakan kami seperti mencoba membuat air laut menjadi tawar. Tantangan dari tidak kooperatifnya masyarakat dan pemerintah daerah sungguh luar biasa. Aku merasa hanya seorang seniman dari Jakarta yang tak berdaya. Oleh karena itu aku merasa mendapat teman, semangat baru, dan dukungan kuat untuk kembali bergiat melestarikan alam ketika bertemu WWF-Indonesia. Aku sekarang siap.
Apa harapan Anda terhadap WWF-Indonesia?
Aku berharap WWF-Indonesia tidak terlena dengan capaiannya selama 50 tahun ini, namun terus mawas diri dan mengevaluasi setiap programnya. Parameternya, apakah selama 50 tahun bergiat kemudian kondisi Bumi Indonesia semakin baik atau buruk? Harus terus dikaji kegiatan-kegiatannya, apakah cukup efektif dalam misi dan visi kelestarian alam Indonesia.
Terakhir, mengapa masyarakat harus hadir di pagelaran GPOL, 22-23 Desember 2012 nanti?
Ini pertunjukan yang unik. Satu tahun ini banyak pertunjukan bagus digelar. Tapi satu hal yang berbeda, kami di tim produksi pagelaran total bekerja dengan dasar rasa cinta. Cinta terhadap Bumi. Kami terkumpul bukan suatu kebetulan. Kami orang-orang yang memiliki kepedulian dan kecemasan terhadap Bumi ini, ibu kita. Energi cinta kami terhadap ibu pertiwi bertemu dan terkumpul di sini, dan kami bekerja dari hati, bukan pikiran. Hasilnya pasti berbeda.
Berminat menonton pagelaran seni kolosal ini? Dapatkan tiketnya dengan menghubungi Contact Center WWF-Indonesia di 021-5761076 pada hari dan jam kerja, atau dengan membeli secara online di wwfindonesia.multiply.com.
Informasi lengkap mengenai acara ini, silakan baca di www.wwf.or.id/50