NELAYAN PERBATASAN PALOH PELAJARI CARA TANGANI BYCATCH PENYU (2)
Oleh: Handayani (Pendamping Nelayan Program Bycatch Penyu di Paloh)
“Di satu sisi, penyu dilindungi, tetapi di sisi lain, penyu bisa dibilang musuh nelayan karena merusak jaring,” keluh salah satu nelayan Paloh pada kami, tim pendampingan kepatuhan (compliance) penerapan Better Management Practices (BMP) – Panduan Penanganan Bycatch Penyu di atas kapal bagi nelayan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Pendampingan oleh WWF-Indonesia selama tiga bulan pada nelayan Paloh ini diawali dengan observasi pada Maret 2017 lalu. Ditemukan, bahwa penyu banyak tersangkut pada alat tangkap jaring dengan mata jaring berukuran 5–8 inci. Mata jaring seukuran ini biasa digunakan nelayan untuk menangkap ikan bawal sebagai target utama.
Data observer yang melakukan uji coba LED sebagai upaya mitigasi bycatch penyu di atas kapal, mengungkap bahwa setidaknya 500 penyu tersangkut di jaring nelayan Paloh dalam satu tahun. Angka ini menunjukkan masih tingginya tingkat bycatch penyu di sini.
Dalam satu trip, nelayan memerlukan waktu 4 hari 3 malam.“Selalu ada penyu yang tersangkut, pada setiap trip,” ungkap mereka. Jaring ini biasa mereka tebar pada sore hari, dan diangkat delapan jam setelahnya.
Kondisi penyu yang tersangkut kebanyakan masih hidup. Namun, baik berukuran kecil atau besar, nelayan lebih memilih untuk memotong pukat atau mengoyakkan pukat daripada mengangkat penyu ke atas kapal.
Keengganan “mengusik” bycatch penyu ini sedikit banyak ikut dipengaruhi oleh kepercayaan nelayan Paloh terhadap satwa laut satu ini. “Kalau menurut kepercayaan nenek moyang kami, penyu tidak boleh diganggu,” ungkap salah satu nelayan Tiong Hoa pemilik toke (kapal) di Pelabuhan Liku.
“Jangan sekali-kali mengambil telur, menangkap, apalagi memukul penyu. Kata nenek kami, penyu dahulu pernah menyelamatkan manusia,” lanjut ia.
Kepercayaan lainnya juga diungkapkan nelayan beretnis Melayu di Paloh. “Penyu itu teman hantu laut, jadi kalau misalnya penyu tersebut diganggu pasti cuaca buruk. Tapi ini tergantung kepercayaan masing-masing.”
Memang, sebagian besar nelayan Paloh telah memahami bahwa penyu dilindungi dari segala bentuk pemanfaatan. Namun, ketidaktahuan mereka mengenai cara memperlakukan penyu hasil tangkapan sampingan, sebenarnya dapat berakibat fatal pada harapan hidup penyu yang tertangkap tidak sengaja. Ditambah, kepercayaan masing-masing nelayan sering kali membuat mereka tidak berani mengangkat penyu di atas kapal ketika penyu tersangkut di jaring, dan lebih memilih untuk merusak jaring.
Padahal, hal ini dapat berujung kematian jika penyu tidak ditangani dengan tepat. Karena itu lah, pendampingan langsung pada nelayan di atas kapal penting untuk memastikan nelayan melakukan penanganan tepat pada bycatch penyu, dan mengurangi tingkat kematian penyu.
Selama tiga bulan ini, kami melihat sendiri bahwa nelayan Paloh telah banyak belajar. Pelan-pelan, mereka memahami bagaimana menangani dan memastikan bycatch penyu yang dilepas kelautan, berada dalam kondisi yang baik.
Meski demikian, nelayan Paloh masih harus meningkatkan kepatuhan dan konsistensi terhadap praktik penanganan bycatch penyu ketika berada di atas kapal. Rendahnya hasil penilaian tingkat kepatuhan nelayan ini menjadi catatan bahwa nelayan masih membutuhkan motivasi kuat untuk menjadikan jaring dan kapal mereka tempat yang lebih ramah, bagi penyu Paloh yang terancam punah.