MITIGASI ANCAMAN JALAN TERHADAP SATWA LIAR, WWF DAN UNILA ADAKAN KULIAH UMUM
Oleh: Hijrah Nasir
Ada yang menarik dari pelaksanaan kuliah umum di Universitas Lampung, rabu, 15 Maret 2017 lalu. Kuliah umum bertajuk Ekologi Jalan Raya: Membangun Jalan di Kawasan Konservasi ini dilaksanakan dalam rangka memperingati Dies Natalies fakultas Teknik UNILA. Yang menarik, WWF juga ambil bagian dalam pelaksanaan kegiatan ini. Kuliah umum ini dihadiri oleh sedikitnya 200 orang yang terdiri dari dosen dan mahasiswa teknik. Bertindak sebagai keynote speaker, dosen Teknik Sipil UNILA, Ir. Anshori Djausal, M.T., dan Project Leader WWF Indonesia TNBBS Project, Job Charles.
Dalam pemaparannya, Pak Anshori menyebutkan bahwa jalan atau infrastruktur seringkali harus dibangun melintasi kawasan konservasi untuk tujuan ekonomi, sosial, politik bahkan ketahanan negara. Namun keberadaan jalan ini memberi dampak pada lingkungan. Namun sayangnya, pembangunan jalan ini jarang sekali mengakomodasi kepentingan lingkungan dan satwa liar yang terdampak.
Oleh karena itu, dalam ilmu teknik muncul dan berkembang sebuah kajian mengenai ekologi jalan raya sebagai upaya agar pembangunan jalan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya alam. Ekologi jalan raya adalah sebuah kajian keterkaitan antara jalan raya dan lingkungan yang mempelajari pengaruh jalan terhadap populasi satwa dan terhadap proses ekologi, termasuk dampak lingkungan baik positif maupun negatif akibat pembangunan jalan, misalnya polusi suara, polusi air, kerusakan lingkungan, kualitas udara, fragmentasi habitat, degradasi ekosistem, dan perubahan iklim dari emisi kendaraan.
Ia menjelaskan bahwa jalan adalah penyebab kerusakan yang signifikan terhadap hutan, sungai dan rawa. Selain itu, ada kehilangan habitat akibat jalan itu sendiri, roadkill satwa, suara, air, dan udara, adanya gangguan bagi species vegetasi yang berpengaruh terhadap penurunan habitat satwa asli setempat dan menjadi penghalang bagi pergerakan satwa, serta meningkatkan ancaman terhadap perburuan dan perambahan kawasan hutan karena dengan adanya jalan, para pelaku pembalakan liar lebih mudah mengangkut kayu dan pelaku perburuan lebih mudah mendapatkan akses untuk masuk ke dalam kawasan.
Ia mencontohkan bahwa 95% perambahan dan pembakaran hutan terjadi hingga sejauh 50 km dari jalan di hutan Amazon, Brazil. Selain itu, keberadaan jalan juga menghambat pergerakan dan mengubah komunitas satwa sebagaimana penelitian yang dilakukan di kawasan TNBBS oleh Dessy yang menemukan bahwa pergerakan burung berubah hingga 40 meter di tepi jalan Sanggi – Bengkunat.
Adapun penelitian lain dari pemaparan project leader WWF Indonesia, TNBBS Project, Job Charles menyebutkan bahwa sekitar 18.200 ha (5 km kanan kiri jalan) sudah tidak ada lagi kubangan badak aktif, dan berkurangnya jalur satwa (dari 9 jalur menjadi 3 jalur). Ditambahkan pula bahwa sampai saat ini ada sembilan ruas jalan di TNBBS namun baru 5 ruas jalan yang mendapatkan izin dari Dinas Kehutanan. Ada tiga ruas jalan nasional dan enam jalan provinsi, namun terdapat 375 titik jalan tikus yang biasa menjadi perlintasan masyarakat di dalam kawasan TNBBS. Berdasarkan hal itu, di tahun 2009 - 2010, WWF Indonesia mengadakan kajian infrastruktur jalan di kawasan konservasi, dimana WWF mendorong agar pemerintah tidak membuka jalan baru.
Pada tahun 2012, WWF melakukan pemasangan camera-trap sebanyak 45 unit di sepanjang jalan Sanggi – Bengkunat dimana hasil pemasangan menunjukkan 42 spesies termasuk harimau, badak, dan gajah sumatera. Selain itu, WWF juga melakukan pengukuran frekuensi kendaraan yang melintas. Hasil penelitian yang dilakukan tahun 2015 di kawasan Sanggi – Bengkunat, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ini menunjukkan bahwa total kendaraan yang melintas jalan di kawasan tersebut mencapai 1.439 kendaraan perhari dengan persentase terbanyak adalah motor dan mobil pengangkut barang berat yang mencapai 366 mobil perhari.
Pembangunan jalan yang membelah hutan telah menimbulkan berbagai ancaman bagi keberadaan satwa liar. Namun Pak Anshori menambahkan bahwa melalui desain, konstruksi, dan pengelolaan jalan dan fasilitas yang terkait termasuk pengaturan terhadap kendaraan dan lalu lintas dapat merubah dampak ini. Oleh karena itu, teknis jalan harus memenuhi ketentuan lingkungan, antara lain, dilengkapi dengan dokumen AMDAL dan didahului dengan feasibility study; Konstruksi jalan dibuat sesuai dengan kondisi setempat dengan seminimal mungkin cut and fill; konstruksi jalan tidak memotong jalur air sehingga tidak mempengarahui sistem tata air kawasan di sekitarnya; konstruksi jalan mengakomodasikan kepentingan perlintasan satwa sehingga membantu perpindahan atau pergerakan satwa; konstruksi jalan tidak memotong wilayah inti kawasan konservasi; konstruksi jalan menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan; dan tidak adanya genangan air yang disebabkan oleh pembangunan jalan atau persimpangan jalan.
Oleh karena itu upaya yang perlu dilakukan antara lain perencanaan terpadu konservasi, upaya mitigasi untuk mengurangi dampak jalan terhadap satwa liar, membangun kembali jalur habitat (habitat corridor) serta perubahan cara pandang pengguna jalan terhadap satwa liar. Oleh karena itu, penyeberangan satwa liar yang memungkinkan hewan aman melintasi hambatan buatan manusia seperti jalan, dimaksudkan tidak hanya untuk mengurangi roadkill, tetapi idealnya untuk menyediakan konektivitas daerah habitat, termasuk memerangi fragmentasi habitat, misalnya pembuatan penyeberangan satwa liar, seperti terowongan underpass, viaduk, dan jalan layang.
Di TNBBS, upaya mitigasi jalan sepanjang 11.5 km yang melintas TNBBS bisa dilakukan dengan membangun canopy crossing, jalur perlintasan satwa baik overpass maupun underpass, tersedianya rambu-rambu, serta perbaikan kontur jalan agar kembali ke kontur alami. Dengan upaya mitigasi seperti itu diharapkan dapat menjamin terpeliharanya fungsi ekosistem alam di dalam kawasan. Job Charles dalam presentasinya juga menambahkan bahwa perlu mengembangkan pendekatan transektoral antar kementerian terkait dan menutup jalan illegal akses mobil dan motor, serta perlu adanya regulasi dan infrastruktur (jalur penyeberangan satwa) di jalan yang sudah ada untuk mengurangi dampak negatif jalan dan mengurangi ancaman terhadap satwa liar.