BERBAGI CERITA, BERBAGI RASA TENTANG GAJAH SUMATERA
Oleh: Natalia Trita Agnika
"Saat berbicara tentang gajah, apa yang terbersit di pikiran Anda?" tanya Sunarto, Ekolog Satwa Liar WWF-Indonesia, ketika mengawali presentasinya dalam Diskusi Publik “Konservasi Gajah pada Bentang Alam yang Terus Berubah: Teknik Molekuler untuk Studi Ekologi, Mitigasi Konflik, dan Mengungkap Perdagangan Ilegal Satwa Liar” pada Kamis (11/08) di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta Pusat. Satu jawaban yang nyaris diserukan oleh semua yang hadir dalam diskusi tersebut adalah badan gajah yang besar.
Sunarto kemudian menjelaskan bahwa gajah memiliki badan yang sangat besar karena makannya yang sangat banyak. Hampir 300 kg makanan disantap gajah per harinya. Namun porsi makannya yang besar itu memberikan manfaat bagi ekosistem di sekitarnya. Karena makannya yang banyak, kotoran yang dihasilkan gajah pun sangat banyak. Kotoran tersebut dapat menjadi pupuk yang menyuburkan area jelajahnya serta membantu penyebaran benih tanaman. Bahkan ada beberapa biji tanaman yang hanya bisa dibantu penyebarannya melalui kotoran gajah dan tidak oleh kotoran satwa lain.
Cerita spesial tentang gajah itu merupakan salah satu dari sekian banyak cerita tentang gajah yang dibagikan dalam rangka Hari Gajah Sedunia yang selalu dirayakan setiap tanggal 12 Agustus. Lebih lanjut, Sunarto juga memaparkan tentang kondisi terkini gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang makin terdesak karena habitatnya yang makin sempit akibat konversi hutan. “Kini, ada gajah makan pohon akasia karena hutan ditanami akasia. Padahal sebelumnya, gajah belum pernah makan akasia. Pergerakan jelajah gajah pun sudah sampai ke luar kawasan konservasi sehingga berpotensi menimbulkan konflik antara gajah dan manusia,” terang Sunarto.
Cerita tentang kondisi gajah yang makin terancam kelestariannya akibat berkurangnya habitat, perburuan, perdagangan ilegal, konflik antara gajah dan manusia merupakan kisah yang sering kita dengar. Namun dalam diskusi tentang gajah tersebut, ada hal baru yang dapat membangkitkan optimisme kita dalam upaya konservasi gajah, yaitu pemanfaatan studi DNA. Prof. Dr. Herawati Sudoyo, Wakil Kepala untuk Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekuler Eijkman membagikan informasi bahwa lembaga riset ini telah melakukan studi DNA terhadap gajah Sumatera yang diambil dari sampel kotoran gajah di beberapa kantong habitat gajah di Sumatera, khususnya di Tesso Nilo. “Kami mendapatkan bermacam informasi populasi, seperti ukuran populasi, profil genetik individu, keragaman genetik, rasio seks, serta distribusi,” terang Herawati.
Dari sampel DNA kotoran gajah yang telah dikumpulkan di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo dan sekitarnya, tim dari Lembaga Eijkman berhasil mengidentifikasi 113 individu yang berbeda dan dapat memperkirakan jumlah minimal populasi gajah Sumatera di kantong habitat Tesso Nilo pada saat sampel diambil sekitar 154 individu. Selain untuk studi populasi dan kekerabatan, studi DNA ini juga dapat digunakan untuk keperluan forensik dalam penegakan hukum tindak pidana perdagangan ilegal satwa liar. Salah satu contohnya adalah kasus terbunuhnya gajah Yongki.
Sampai saat ini, penyebab kematian Yongki masih menyisakan misteri. Namun, lembaga Eijkman telah memiliki spesimen DNA gajah Yongki. “Bila nanti ada temuan barang bukti gading gajah, kita dapat mencocokkan apakah gading itu milik Yongki. Informasi ini dapat digunakan untuk melacak dan menindak pemilik, pedagang gading, maupun pelaku yang membunuh Yongki,” tambah Herawati.
Diskusi publik yang dimoderatori oleh Anwar Purwoto (Direktur Program Sumatera dan Kalimantan WWF-Indonesia) ini juga dihadiri oleh drh. Dedi Chandra dari Pusat Konservasi Gajah Way Kambas, Nyoman Iswarayoga (Direktur Komunikasi dan Advokasi WWF-Indonesia), Listya Kusuma Wardhani (perwakilan dari Dirjen Konservasi SDA & Ekosistem), Devy Suradji (Direktur Marketing WWF-Indonesia), Krismanko Padang (Ketua Forum Komunikasi Gajah Indonesia), serta musisi Tulus yang turut mengkampanyekan aksi #JanganBunuhGajah.
Tulus berbagi pengalaman dan kenangannya terhadap gajah Yongki. Meski memiliki lagu dan album berjudul “Gajah”, rupanya sejak kecil sampai karyanya itu dirilis, Tulus belum pernah berinteraksi secara langsung dengan gajah. Akhirnya kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan gajah muncul ketika pembuatan musik video lagu “Gajah”. Dengan dibantu tim dari WWF-Indonesia, Tulus melakukan syuting di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) pada Mei 2014 lalu.
“Hal yang pertama kali membuat saya jatuh cinta adalah ketika mahout (pawang gajah) menyuruh saya berkenalan dulu dengan Yongki. Katanya, gajah akan tahu niat kita baik atau tidak,” kenang Tulus. Kematian tragis Yongki yang bersamaan dengan kemenangan Tulus meraih penghargaan Anugerah Musik Indonesia membuatnya sedih, marah, dan terpukul. Melihat kenyataan itu, Tulus tidak bisa tinggal diam. Ia membuat sebuah program #JanganBunuhGajah . Salah satu bentuk aktivitasnya adalah dengan menjual produk merchandise edisi khusus. Keuntungan dari penjualan produk ini, dikumpulkan dan seluruhnya digunakan untuk pengadaan alat kalung pendeteksi keberadaan lokasi (GPS Collar Satellite) gajah Sumatera di kawasan konservasi.
Diskusi Publik di Lembaga Eijkman tersebut ditutup dengan penyerahan secara simbolis donasi untuk pengadaan GPS Collar Satellite dari Teman Tulus kepada WWF-Indonesia untuk konservasi gajah Sumatera.
Happy Global Elephant Day! #GEDay