MENYOAL SUMBER PANGAN LOKAL UNTUK SUKU MALIND, MERAUKE, PAPUA
Hamparan padang sabana yang luas dan hijau di tanah Malind Anim yang terletak di Kabupaten Merauke, Ibu Kota Provinsi Papua Selatan, merupakan jalinan kisah dan kearifan masyarakat adatnya. Masyarakat uku Malind Anim telah mengabdikan diri kepada generasi yang tak terhitung jumlahnya untuk menjaga, melindungi, dan melestarikan lokasi-lokasi yang mereka cintai, memandang tempat-tempat ini sebagai ungkapan sakral dari rasa hormat mereka yang mendalam terhadap alam semesta dan dunia kosmik yang mengelilinginya. Komitmen yang langgeng ini mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang keterkaitan semua makhluk hidup dan pentingnya menjaga hubungan yang harmonis dengan alam.
Setiap bukit, sungai, dan hutan di dalam sabana menyimpan narasi, sepotong sejarah yang berkontribusi pada identitas budaya masyarakat Malind Anim, yang menunjukkan rasa hormat mereka terhadap tanah dan upaya mereka untuk melestarikannya bagi generasi mendatang. Memori dan praktik kolektif mereka terus mengilhami rasa memiliki dan pengelolaan, yang menekankan pentingnya menjaga hubungan penting ini dengan warisan leluhur dan kosmo mereka.
Bagi masyarakat adat Malind Anim, alam beserta segala isinya tidak hanya berfungsi sebagai habitat, tetapi juga sebagai tempat mereka dapat terlibat dalam kegiatan sehari-hari dan mengejar aspirasi mereka sebagai kelompok adat yang berlandaskan pada prinsip-prinsip ekosentris. Perspektif mereka terhadap alam semesta menekankan kesetaraan, yang mencerminkan pemahaman mendalam tentang keterkaitan sumber daya alam dan layanan lingkungan penting yang disediakannya.
Pandangan dunia ini semakin diperkaya oleh kepercayaan totemik mereka, yang menyoroti peran penting berbagai tumbuhan dan hewan dalam struktur klan suku Malind. Hubungan yang mendalam antara manusia dan alam memungkinkan masyarakat Adat Malind Anim untuk mewujudkan esensi ekosistem yang kohesif dan harmonis, yang menggambarkan komitmen mereka terhadap integritas lingkungan dan keterkaitan semua makhluk hidup.
Akhir-akhir ini, fluktuasi musiman yang kita kenali sebagai akibat dari perubahan iklim telah secara signifikan menghambat masyarakat adat dalam mengakses sumber daya alam mereka, yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan domestik mereka, khususnya dalam hal ketahanan pangan.
Masyarakat adat Malind Anim terutama terlibat dalam meramu dan bercocok tanam, sangat bergantung pada pengetahuan leluhur mereka untuk mengelola sumber daya pangan sesuai dengan aturan dan praktik tradisional yang mengatur masyarakat mereka. Dalam konteks ini, peran perempuan dan laki-laki didefinisikan secara jelas, khususnya dalam bidang pengelolaan pangan. Kelompok perempuan memainkan peran penting dalam mengawasi kawasan hutan sagu, yang melibatkan segala hal mulai dari ekstraksi pati sagu hingga persiapan berbagai hidangan lezat dan bergizi. Salah satu makanan yang paling disukai di kalangan masyarakat Malind disebut sebagai "sago sep." Hidangan ini menyajikan sagu yang dipadukan dengan daging tikus giling atau ikan yang bersumber dari sungai atau rawa, bersama dengan bahan-bahan lainnya, dan biasanya dipanggang hingga sempurna. Sagu ini berfungsi sebagai makanan pokok selama upacara adat dan juga dinikmati sebagai makanan sehari-hari.
Data Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2024 sampai 2030 menunjukan Merauke telah resmi ditetapkan sebagai salah satu wilayah utama dalam Program Strategis Nasional (PSN), yang bertujuan untuk mengubahnya menjadi pusat pertanian atau lumbung pangan yang signifikan. Inisiatif ambisius ini mengonversi sekitar 2 juta hektar, atau bahkan lebih, menjadi berbagai perkebunan pertanian. Ini akan mencakup tanaman seperti tebu dan padi, serta budidaya kelapa sawit dan produk pertanian penting lainnya. Pengembangan Merauke dengan cara ini diharapkan dapat memainkan peran penting dalam memperkuat ketahanan pangan dan meningkatkan produktivitas pertanian di wilayah tersebut, yang pada akhirnya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan wilayah secara keseluruhan.
Dengan berfokus pada usaha pertanian skala besar ini, pemerintah bertujuan untuk memanfaatkan potensi besar sumber daya lahan Merauke, sehingga mendorong pembangunan pertanian lokal dan nasional. Transformasi besar-besaran ini kemungkinan akan berdampak besar pada ekosistem alam, terutama di wilayah yang dihuni oleh dusun-dusun sagu dan berbagai tanaman umbi-umbian yang menjadi makanan pokok masyarakat adat Malind. Selain itu, pembangunan ini diperkirakan akan mengganggu habitat satwa liar setempat, termasuk tuban (istilah lokal untuk tikus tanah), walabi, dan burung migran yang dilindungi, yang merupakan sumber protein penting bagi penduduk asli.
Dampak yang mungkin terjadi dari perluasan pertanian ini menimbulkan kekhawatiran serius, terutama jika kita gagal memprioritaskan pertimbangan lingkungan selama tahap perencanaan dan implementasi. Jika kita tidak melakukan evaluasi ilmiah menyeluruh terhadap dampak lingkungan, kita berisiko besar menyebabkan kerusakan ekologi yang cukup besar. Degradasi ini pada gilirannya dapat memperburuk krisis iklim yang sedang berlangsung, yang berpotensi menyebabkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan pada ekosistem kita. Lebih jauh lagi, perubahan besar ini dapat menimbulkan sejumlah tantangan sosial, yang berasal dari terganggunya gaya hidup tradisional yang telah berlangsung selama beberapa generasi.
Masyarakat lokal, yang sangat bergantung pada sumber daya alam akan menghadapi kesulitan yang signifikan. Hilangnya sumber daya ini dapat merusak mata pencaharian, budaya, dan identitas mereka, menciptakan efek berantai yang tidak hanya memengaruhi keluarga individu tetapi juga tatanan sosial seluruh masyarakat. Pada akhirnya, persimpangan antara pertumbuhan pertanian dan pengelolaan lingkungan harus dinavigasi dengan hati-hati untuk menghindari dampak kerusakan ekologi yang dihasilkan.
Berdasarkan hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2024 sampai dengan tahun 2030, Kawasan PSN yang ditetapkan mencakup wilayah daratan yang sangat luas dan signifikan. Wilayah yang sangat luas ini sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat adat, karena mencakup sedikitnya 200.000 hektare yang menyediakan sumber daya dan habitat penting bagi kelompok masyarakat tersebut. Selain itu, di wilayah ini terdapat lahan gambut yang cukup luas, seluas sedikitnya 60.000 hektare, yang berperan penting dalam penyimpanan karbon dan mendukung ekosistem yang unik. Selain itu, Kawasan PSN memiliki sekitar 500.000 hektare sabana, bentang alam yang tidak hanya memukau keindahan alamnya tetapi juga berfungsi sebagai habitat penting bagi berbagai spesies endemik. Pelestarian dan perlindungan ekosistem yang beragam ini sangat penting untuk menjaga keanekaragaman hayati dan warisan budaya masyarakat adat yang bergantung padanya untuk mata pencaharian dan tradisi mereka.
Perlu dicatat bahwa lebih dari separuh alokasi yang ditujukan untuk kawasan pangan berada di wilayah penting ini, yang memiliki signifikansi lingkungan, sosial, dan budaya yang cukup besar. Situasi ini menyoroti tren yang meresahkan dan semakin lazim mengenai menurunnya pengakuan atas hak-hak dan kebutuhan esensial masyarakat adat. Hal ini berfungsi sebagai pengingat yang gamblang tentang pentingnya memastikan bahwa komunitas-komunitas ini mempertahankan akses ke sumber daya pangan lokal tradisional mereka. Akses tersebut bukan sekadar masalah penghidupan; hal itu mendasar bagi kelangsungan hidup, identitas budaya, dan kelanjutan praktik-praktik tradisional mereka. Pelestarian sumber daya ini sangat penting bagi masyarakat adat untuk menjalankan hak-hak mereka sepenuhnya, sebagaimana diakui dalam berbagai kerangka kerja internasional. Tanpa pengakuan dan dukungan yang tepat, ada risiko signifikan bahwa komunitas-komunitas ini mungkin menghadapi marginalisasi dan erosi lebih lanjut dari warisan budaya mereka, yang terkait erat dengan hubungan mereka dengan tanah dan sistem pangan mereka. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengatasi masalah ini dengan urgensi dan komitmen, memastikan bahwa suara-suara masyarakat adat didengar dan dihormati dalam diskusi-diskusi tentang hak-hak dan sumber daya mereka.