MENUJU CENTER OF EXCELLENCE PEMANFAATAN GEOTHERMAL SUMATRA
Oleh: Hijrah Nasir
Bertempat di Hotel Whiz Prime kota Bandar Lampung, Selasa (20/12/2016), Rumah Kolaborasi dan WWF-Indonesia mengadakan lokakarya bertajuk, “Semiloka Hasil Kegiatan RUKO (Baseline) dan Launching Lampung Menuju Center of Excellence Pemanfaatan Geothermal Sumatra (Membangun Koalisi untuk Direct Use).” Hadir dalam kegiatan ini, perwakilan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Kabid Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Lampung, Manager Climate and Energy dari WWF Indonesia, Perwakilan dari Pertamina Geothermal Energy (PGE), PKH Batutegi, dinas terkait, dan beberapa CSO di Lampung. Lokakarya ini bertujuan untuk mendorong Peraturan Daerah terkait pemanfaatan langsung panas bumi di daerah Ulubelu Tanggamus. Dalam salah satu sesi, peserta seminar juga melakukan teleconference dengan masyarakat Ulubelu dengan pendampingan dari kelompok DEDEMIT (Desa-Desa Melek IT).
“Arti penting pelaksanaan kegiatan ini adalah sebagai bentuk komitmen pemerintah, swasta, dan NGO dalam mendorong pemanfaatan langsung energi panas bumi demi kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan. Pemanfaatan langsung di sini adalah semua pemanfaatan non-listrik dari energi panas bumi.” Terang Pak Warsito dalam sambutannya selaku Ketua RUKO.
Indonesia ditempatkan sebagai salah satu pemilik potensi energi panas bumi terbesar di dunia yang mencapai 28.617 megawatt (MW) atau sekitar 40 persen dari total potensi dunia yang tersebar di 299 lokasi. Secara geografis sumber panas bumi terbanyak terdapat di Sumatera (12.760 MW), Jawa (9.717 MW), Sulawesi (3.044 MW), Nusa Tenggara (1.451 MW), Maluku (1.071 MW), Bali (354 MW) serta di daerah lain (220 MW).
Provinsi Lampung sendiri, khususnya Ulubelu merupakan salah satu wilayah dengan potensi panas bumi terbesar di Indonesia dengan total 2.580 MW yang teridentifikasi di 13 Titik Potensi Panas Bumi. Oleh karena itu sejak 1996, Pertamina Geothermal Energy mulai beroperasi di daerah ini. Meski begitu hingga saat ini baru 165 MW yang bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik.
Karakteristik energi panas bumi, antara lain bersih, ramah lingkungan, terbarukan, tidak dapat diekspor, bebas dari resiko kenaikan harga bahan bakar fosil, tidak tergantung cuaca, supplier, ketersediaan fasilitas pengangkutan dan bongkar muat dalam pasokan bahan bakar, dan tidak memerlukan lahan yang luas adalah beberapa keuntungan dari pengembangan energi panas bumi.
Oleh karena itu, WWF mendukung dan mendorong pengelolaan energi panas bumi sebagai energi terbarukan dengan mengusung visi global sektor energi WWF 100% energi terbarukan yang berkelanjutan pada 2050 melalui program “Ring of Fire” yang bertujuan mempercepat pengembangan dan pemanfaatan energi panas bumi yang berkelanjutan di Indonesia dan Filipina.
Namun, pengelolaan energi panas bumi ini bukan tanpa masalah. Salah satunya karena lokasi potensi panas bumi pada wilayah vulkanik biasanya berasosiasi dengan hutan. Data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) tahun 2010 menyebutkan, potensi panas bumi yang berada dalam kawasan hutan konservasi sebanyak 41 titik dengan kapasitas 5.935 MW, dalam kawasan hutan lindung (46 titik) dengan potensi 6.623 MW, dan dalam kawasan hutan produksi (37 titik) dengan potensi 3.670 MW.
Hingga kini, pengembangan panas bumi di kawasan hutan masih menghadapi banyak hambatan, terutama ketidaksinkronan regulasi pemerintah di sektor energi dan kehutanan. Pihak KESDM masih berupaya merevisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, sedangkan Kementerian Kehutanan masih berupaya merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE).
Dalam diskusi tersebut, pihak Direktorat Panas Bumi, Kementerian ESDM menjelaskan bahwa diharapkan sebelum Semester II tahun 2017, RPP tentang pemanfaatan langsung sudah disahkan yang selanjutnya akan menjadi dasar penerbitan peraturan pemerintah dan Perda. Pemerintah berharap pemanfaatan energi panas bumi ini tetap memperhatikan lingkungan. Untuk masyarakat di sekitar kawasan eksplorasi panas bumi ini, pihak pemerintah terus mendorong PGE agar realisasi CSR dari PGE memprioritaskan kebutuhan masyarakat. Untuk tahun 2017 CSR dari PGE sebesar 1,3 M dengan realisasi 744 juta.
Sementara WWF Indonesia yang diwakili oleh Climate and Energy Manager, Indra Sari Wardhani mengatakan bahwa panas bumi menjadi concern WWF karena yg menjadi goals program WWF Indonesia dan global adalah mendorong adanya energi terbarukan yang cukup ambisius yakni 100% energi terbarukan 2050.
“Dari sisi ketahanan energi, ketergantungan pada fosil mempunyai dampak buruk terhadap lingkungan karena menghasilkan emisi yang tinggi. Di sisi lain, pemanfaatan energi panas bumi lebih rendah emisi. Namun sangat disayangkan potensi panas bumi di Indonesia yang sangat besar tidak begitu berkembang karena secara alami kawasannya berada di dalam hutan. ada keterbatasan karena factor regulasi yang belum sinkron. Tantangan yang lain adalah adanya resistensi masyarakat terhadap energi panas bumi ini karena ketidaktahuan mereka. Sehingga direct use dari energi panas bumi ini dapat dijadikan sebagai potensi untuk meningkatkan social acceptance dari masyarakat. Ada 2 kemungkinan direct use, yaitu peningkatan produktivitas masyarakat terutama yang tinggal di sekitar pembangkit listrik panas bumi, misalnya untuk pengeringan kopi dan manifestasi panas bumi bisa dimanfaatkan sebagai lokasi wisata. Seharusnya PEMDA menyusun suatu RAPERDA untuk direct use. Oleh karena itu, sejak 2016 WWF Indonesia bekerjasama dengan RUKO untuk mendorong peningkatan kapasitas CSO dan masyarakat di sekitar wilayah pembangkit listrik panas bumi. Saat ini WWF dan RUKO melakukan pengembangan catchment untuk ketahanan pangan, energi, dan wisata Lampung.”