MENINGKATKAN HARGA LOIN TUNA NELAYAN WAKATOBI DAN ALOR MELALUI PELATIHAN
Oleh: Nina Samidi
WWF Indonesia melaksanakan pelatihan penanganan ikan tuna pasca tangkap sebagai bagian dari program kelautan. Pelatihan ini sangat penting artinya bagi nelayan untuk dapat memperoleh kualitas loin (daging tuna) yang baik serta mendapatkan harga yang tinggi. Selain itu, pelatihan ini merupakan salah satu strategi agar nelayan tidak terlalu mengejar hasil tangkapan yang banyak untuk mendapatkan harga tinggi, tetapi lebih memperhatikan kualitas.
Dengan tangkapan yang berkualitas, meskipun hasil tangkapan hanya satu ekor setiap hari, tekanan terhadap sumberdaya akibat penangkapan yang terlalu tinggi pun dapat dikurangi. Dengan begitu, kesejahteraan nelayan terperhatikan dengan tetap menjalankan program konservasi.
Di awal tahun ini, pelatihan penanganan ikan tuna telah dilaksanakan dua kali, masing-masing di Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, dan Kabupaten Alor, NTT. Pelatihan di Wakatobi dilakukan di empat desa selama empat hari, yaitu satu hari di tiap lokasi/desa. Pelatihan pertama dilakukan di Desa Mola Selatan pada 21 Januari 2011, pelatihan kedua dilakukan di Desa Mola Bahari pada 22 Januari 2011, ketiga di Desa Wapia Pia pada 23 Januari 2011 dan terakhir di Desa Wae Lumu pada 24 Januari 2011. Kemudian, pelatihan di Alor dilaksanakan selama 3 hari, yaitu 16-18 Februari 2011 di Kelurahan Adang, Kecamatan Alor Barat Laut.
Sebagian besar peserta pelatihan adalah nelayan, dan peserta lain adalah pengumpul. Semua peserta nelayan dan pengumpul ini telah didampingi dalam program pemberdayaan masyarakat WWF serta diwadahi dalam kelompok-kelompok masyarakat. Di Wakatobi, pelatihan diikuti oleh 93 orang, sedangkan di Alor diikuti oleh 23 orang.
Pelatihan yang berlangsung cukup interaktif ini terdiri dari presentasi materi dan diskusi, serta praktek langsung menggunakan ikan sampel dan juga diselingi dengan diskusi. Materi dimulai dengan ‘Perikanan Tuna Lestari’, kemudian dilanjutkan dengan materi mengenai tahapan-tahapan penanganan ikan tuna di atas perahu (onboard handling) yang akan dijual secara gelondongan atau bentuk loin. Tidak ketinggalan, disampaikan juga wawasan mengenai penanganan di mini plan pengumpul, yaitu proses tuna dalam bentuk loin dan cara packing.Selain hal-hal di atas, pelatihan ini juga dilaksanakan berlandaskan kebutuhan nelayan untuk meningkatkan kualitas daging loin tuna sesuai permintaan pembeli, khususnya dalam tahap penanganan ikan tuna, mulai saat diangkat ke atas perahu setelah tertangkap pancing sampai ke pengumpul, baik dalam bentuk gelondongan maupun sudah diproses menjadi loin.
Tahapan ini merupakan tahapan kritis dalam proses penanganan tuna karena masih berada di atas perahu dengan kondisi alam yang tidak dapat dikontrol. Penanganan yang salah bisa membuat loin tuna rusak dan tidak memiliki harga. Sebaliknya, penanganan yang benar akan membuat nelayan mendapatkan kualitas loin tuna terbaik dengan harga tertinggi.
Target pelatihan ini adalah peserta dapat menguasai penanganan tuna menjadi loin secara terampil dengan kualitas terbaik atau Grade A. Prinsip pertama yang harus dilakukan adalah menjaga kebersihan dan rantai dingin tidak putus.
Nelayan dilatih untuk berpakaian bersih serta memperhatikan sterilisasi peralatan dan tempat. Nelayan juga dilatih membuat es jelly karena lebih efisien dan suhu dingin terjaga lebih lama, khususnya untuk pengiriman dengan kargo pesawat. Kebersihan dan rantai dingin adalah dua hal yang sering dilupakan sehingga kualitas tuna drop dan harganya hanya masuk Grade D dan Reject, yaitu hanya sekitar Rp7.000 per kg. Tetapi jika kebersihan dan rantai dingin ini dapat dijaga, nelayan dapat menjual loin tuna ke pengumpul dengan harga Rp42.000 per kg atau masuk Grade A.
Prinsip berikutnya adalah memperlakukan ikan tuna dan loin secara hati-hati, tidak mengangkatnya dalam posisi bengkok karena dapat merusak struktur daging atau daging pecah (atau mengangkatnya seperti menggendong bayi).
Hal lainnya yang tak kalah penting adalah memastikan ukuran ikan tuna yang ditangkap lebih dari 20 kg. Hal ini disebabkan oleh kualitas loin Grade A juga mempertimbangkan ukuran loin, yaitu 2,5 Kg ke atas setiap loin.
Ukuran ikan tuna di atas 20 Kg yang boleh ditangkap untuk mendapatkan loin Grade A, khususnya Yellow Fin Tuna (Sirip Kuning/Madidahang), Thunnus albacores yang ditangkap di Wakatobi dan Alor, juga sangat relevan dengan aspek biologis dan ekologis ikan tuna.
Secara biologis, tuna di atas 20 Kg sudah layak tangkap dan telah mencapai umur dewasa. Sementara jika ditinjau dari aspek ekologi, ikan dewasa telah melakukan pemijahan dan bisa menjaga keberlanjutan stok ikan tuna sirip kuning di alam. Menangkap ikan tuna di bawah bobot 20 kg, hanya akan merugikan nelayan karena tidak dapat harga yang layak disamping memberikan efek buruk secara ekologis.
Melihat banyaknya keuntungan yang bisa didapatkan, baik secara ekologis maupun ekonomi, pelatihan peningkatan keterampilan nelayan akan terus dilakukan dalam rangka menunjang kesejahteraan nelayan serta memberikan informasi mengenai pentingnya aspek konservasi lingkungan. Semua ini bertujuan agar ekosistem laut tetap dapat menjalankan fungsi ekologi dan ekonominya secara berkelanjutan.