MENGUAK POTENSI PERIKANAN KERANG TANGKAP LESTARI MELALUI PENILAIAN AWAL MSC DI KABUPATEN SIDOARJO
Faridz Rizal Fachri (Capture Fisheries Officer)
Kerang merupakan salah satu komoditas perikanan penting yang menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat Sidoarjo. Biota yang hidup pada kondisi perairan berlumpur dan berpasir ini berdasarkan informasi dari salah satu nelayan dari paguyuban “Sari Laut”, sudah ditangkap sejak tahun 1960-an, bermula dari handpicking hingga berkembang menggunakan alat tangkap penggaruk (dredges). Banyaknya delta sungai yang bermuara ke laut mendukung suplai nutrien dan kesuburan perairan sehingga menjadikan wilayah ini kaya akan kerang. Menurut data statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sidoarjo Tahun 2015, produksi kerang mencapai 2.285,3 ton.
Melihat potensi tersebut, WWF-Indonesia bersama Koalisi Perempuan Indonesia Jawa Timur - anggota Jaring Nusantara (JARNUS), serta auditor pihak ketiga untuk sertifikasi MSC di Indonesia, Dr. Mukhlis Kamal, melakukan penilaian awal MSC di Desa Banjar Kemuning sebagai lokasi percontohan pengelolaan perikanan tangkap yang memiliki perkembangan program Fisheries Improvement Program (FIP) yang cukup baik. Kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas local auditor sertifikasi MSC serta mengetahui kesenjangan praktik perikanan kerang hasil tangkapan nelayan tersebut telah dilaksanakan pada tanggal 12 - 15 Desember 2016. Pada penilaian awal MSC yang berlandaskan pada tiga prinsip lestari yaitu keberlanjutan stok (P1), meminimalisir dampak perikanan terhadap lingkungan (P2), serta tata kelola yang efektif (P3) tersebut penggalian data dan informasi dilakukan dengan metode wawancara mendalam ke beberapa pihak yang berperan dalam pengelolaan perikanan kerang di lokasi tersebut seperti DKP Sidoarjo, penyuluh perikanan, pemerintah desa, komunitas nelayan, dan akademisi dari Universitas Airlanggal, Universitas 17 Agustus Surabaya serta Institut Teknologi 10 Nopember.
Berdasarkan hasil penilaian awal MSC, Unit of Assessment (UoA) kerang bulu dan alat tangkap garit menjadi konsentrasi program yang akan dilakukan perbaikan, terutama pada pemenuhan status stok kerang (P1) yang masih belum diketahui, maka perlu segera dilakukan analisis Harvest Control Rule (HCR) sebagai rekomendasi dalam penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan Kerang yang kontributif pada prinsip pengelolaan yang efektif (P3). Selain itu, garit memiliki celah kelolosan yang lebih tinggi untuk kerang bulu berukuran kecil dan cukup selektif dalam penangkapan ikan sehingga dampak terhadap kerusakan habitat diketahui lebih sedikit (P2).
Hasil analisis juga menyebutkan, bahwa spesies kerang bulu (Anadara ovalis) mendominasi hasil tangkap perikanan kerang hingga mencapai 90%. Produktivitas yang dihasilkan dari penangkapan kerang bulu ini cukup tinggi. Jika efektifitas tiap alat tangkap rata-rata menghasilkan 90 kg/hari dengan jumlah alat tangkap yang beroperasi adalah 80 buah, maka hasilnya bisa mencapai 2285.3 ton/tahun. Dan biasanya para nelayan menggunakan dua macam dredges untuk menangkap kerang, yakni model garit (87,5%) dan penggaruk atau rake (12,5%).
“Informasi dan pengetahuan terkait dengan habitat kerang, terutama dinamika delta Sungai Brantas dan Sungai Porong, serta Selat Madura sangat berpengaruh pada sumberdaya kerang, sehingga perlu kolaborasi semua pihak untuk pemenuhan informasi ilmiah tersebut dalam mendukung pengelolaan efektif di masa yang akan datang”, ucap Dr. Mukhlis Kamal.
Seluruh stakeholder yang terlibat sepakat untuk menjalankan rencana kerja akselerasi perbaikan perikanan kerang yang telah disusun bersama sebelumnya. Komitmen ini tertuang dalam nota kesepahaman antar stakeholder dan kegiatan akandimulai pada bulan Januari 2017 . WWF-Indonesia bersama KPI Jawa Timur, akan mengawal pelaksanaan rencana program dengan memaksimalkan koordinasi yang efektif melalui kelompok komunikasi yang telah terbentuk dalam upaya pencapaian standar MSC untuk komoditas perikanan kerang tangkap pertama di Indonesia