MENGEMBANGKAN BUDIDAYA ABALON YANG BERTANGGUNGJAWAB
oleh Nur Ahyani
Budidaya abalon di Indonesia memiliki potensi yang tinggi, meski sebenarnya masih dalam tahap pengembangan. Jenis abalon yang sudah berhasil untuk dibudidayakan adalah Haliotis squamata dan H. asinina. Keduanya merupakan abalon yang asli ditemukan di perairan Indonesia. Budidaya kedua jenis abalon ini merupakan salah satu cara untuk menyediakan produk abalon setelah hasil penangkapan abalon dari alam berkurang. Potensi pengembangan abalon di Indonesia sangat tinggi karena kebutuhan pakan abalon sebagai organisme herbivor dapat dipenuhi sepanjang tahun dari budidaya Gracilaria sp. di tambak. Budidaya abalon juga dapat diintegrasikan dengan budidaya ikan ataupun dengan budidaya rumput laut, sehingga dapat meningkatkan pendapatan pembudidaya.
Bertempat di Kantor WWF-Bali, 13 September 2014, WWF-Indonesia Program Akuakultur mengadakan kajian pertama mengenai panduan praktik perikanan berkelanjutan atau better management practices (BMP) untuk budidaya Abalon. Kajian ini merupakan bagian dari proses penyusunan BMP untuk mendapatkan masukan dari pihak luar yang terkait, yang terdiri dari para pakar budidaya abalon dan juga dari akademisi. Diantaranya adalah Prof. Dwi Eny Djoko Setyono, peneliti dari LIPI-Jakarta yang sudah lebih dari 10 tahun mendalami biologi dan reproduksi abalon serta teknik budidaya abalon di Indonesia. Hadir juga Ibnu Rusi dan I Gusti Ngurah Permana dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL)-Gondol, keduanya merupakan peneliti yang telah berhasil mengembangkan teknologi budidaya abalon, baik untuk pembenihan maupun pembesaran. Perwakilan dari Lembaga Riset Pemerintah dilengkapi dengan kehadiran Hery Setyabudhi dari BPBL-Lombok yang memiliki salah satu tugas untuk melakukan desiminasi teknologi pembudidayaan abalon kepada masyarakat. Perolehan masukan untuk perbaikan rancangan BMP yang disusun juga didapatkan dari Prof Ricky Gimin dari Universitas Cendana, Kupang sebagai ahli mollusca dan juga I Ketut Purianta dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali.
Meskipun potensi budidayanya tinggi, benih telah berhasil diproduksi, serta teknologi pembesaran sudah ada, tetapi produksi abalon terkendala dengan masalah administratif pemasaran. Pasar untuk abalon adalah pasar luar negeri seperti Cina, Jepang, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat dimana dokumen ekspor sangat diperlukan. Kendala lain yang masih dihadapi adalah masa pemeliharaan yang cukup lama, yaitu untuk H. squamata dibutuhkan sekitar 8 bulan sejak ukuran benih 2,5 cm untuk mencapai ukuran konsumsi (5,5-7 cm). Model budidaya yang terintegrasi dengan komoditi lain seperti disebutkan di atas, yaitu rumput laut kotoni, karamba ikan kerapu, merupakan salah satu cara untuk mengatasi masa budidaya yang cukup lama ini.
WWF-Indonesia menyusun BMP Budidaya abalon dengan tujuan dapat digunakan sebagai panduan untuk pembudidaya skala kecil maupun menengah untuk melakukan budidaya abalon yang bertanggungjawab. Pada saat permasalahan pemasaran telah terselesaikan dan budidaya abalon berkembang pesat di Indonesia, maka para pembudidaya dapat menggunakan panduan BMP yang tersedia sehingga budidaya yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan dan ramah lingkungan.