MENGATASI KEGAGALAN KOPENHAGEN
Joseph E. Stiglitz
GURU BESAR PADA COLUMBIA UNIVERSITY. PEMENANG HADIAH NOBEL EKONOMI 2001
Pidato yang muluk-muluk cuma enak di telinga. Sebulan setelah berakhirnya konferensi mengenai perubahan iklim di Kopenhagen, jelas bahwa para pemimpin di dunia tidak mampu menerjemahkan retorika yang mereka ucapkan mengenai pemanasan global ke dalam tindakan nyata.
Sudah tentu enak mendengar bahwa para pemimpin dunia bisa sepakat mengenai risiko terjadinya bencana dengan meningkatnya suhu global lebih dari 2 derajat Celsius. Setidaknya, mereka menaruh perhatian terhadap bukti-bukti ilmiah yang semakin meningkat mengenai risiko terjadinya bencana ini. Dan ditugaskan kembali prinsip-prinsip tertentu yang tercantum dalam Konvensi Kerangka Rio 1992, termasuk ""tanggung jawab bersama serta kemampuan masing-masing"". Begitu juga kesepakatan negara-negara maju untuk ""menyediakan sumber daya keuangan, teknologi, dan capacity building yang memadai, yang dapat diprediksi, dan yang berkesinambungan"", untuk negara-negara berkembang.
Kegagalan Kopenhagen bukan terletak pada tidak adanya kesepakatan yang mengikat secara hukum. Kegagalan sebenarnya terletak pada tidak adanya kesepakatan bagaimana mencapai tujuan mulia menyelamatkan planet ini, tidak adanya kesepakatan mengenai pengurangan emisi karbon, tidak adanya kesepakatan soal bagaimana memikul beban bersama, dan tidak adanya kesepakatan bagaimana membantu negara-negara berkembang.
Bahkan komitmen yang disepakati untuk menyediakan dana hampir US$ 30 miliar untuk jangka waktu 2010-2012 guna adaptasi dan mitigasi, penyesuaian dan peredaan pemanasan global, tidak sepadan dengan ratusan miliar dolar yang telah dikucurkan untuk menyelamatkan perbankan pada 2008-2009. Jika kita mampu mengucurkan uang begitu banyak untuk bailout bank, kita pasti bisa berbuat lebih banyak untuk menyelamatkan planet ini.
Konsekuensi kegagalan ini sudah tampak hak mengeluarkan emisi yang tercantum dalam Sistem Perdagangan Emisi Uni Eropa jatuh harganya, artinya industri-industri bakal merasa tidak perlu mengurangi emisi sekarang, apalagi untuk berinvestasi dalam pengembangan inovasi-inovasi yang dapat mengurangi emisi di masa depan. Industri yang ingin berbuat yang benar, yang mau membelanjakan uang guna mengurangi emisi, sekarang khawatir bahwa berbuat demikian bakal menempatkan mereka dalam posisi bersaing yang tidak menguntungkan.
Sedangkan industri-industri di negara-negara lain terus membuang emisi tanpa kekangan. Industri di Eropa akan terus berada dalam posisi bersaing yang tidak menguntungkan dibanding industri di Amerika, yang tidak ikut menanggung beban biaya pengurangan gas emisi yang mereka buang ke atmosfer.
Yang mendasari kegagalan Kopenhagen ini adalah beberapa masalah yang mendalam. Pendekatan Protokol Kyoto menetapkan hak emisi sebagai aset yang sangat berharga. Jika emisi dibatasi dengan selayaknya, nilai hak emisi itu bakal mencapai US$ 2 triliun setiap tahun- tidak mengherankan jika terjadi perselisihan mengenai siapa yang berhak memperoleh hak emisi itu.
Pendapat yang mengatakan bahwa mereka yang banyak mengeluarkan emisi pada misi lalu diberi hak emisi yang lebih besar pada masa depan jelas tidak dapat diterima. Alokasi yang ""minimal"" adil untuk negara-negara berkembang mengharuskan persamaan hak emisi per kapita. Sebagian besar dari prinsip etika menegaskan bahwa negara yang membagi-bagi ""uang""di mana-mana di dunia, seharusnya memberi lebih banyak (per kapita) kepada negarai miskin.
Begitu juga sebagian besar prinsip etika menegaskan, mereka yang telah banyak melakukan pencemaran pada masa lalu- terutama setelah kenyataan ini diakui pada 1992 - seharusnya dikurangi haknya untuk mencemari planet ini pada masa depan. Tapi alokasi semacam ini secara implisit berarti transfer ratusan miliar dolar Amerika dari negara-negara kaya ke negara-negara miskin.
Mengingat sulitnya memperoleh dana hingga US$ 10 miliar apalagi US$ 200 miliar setiap tahun, yang hanya dibutuhkan untuk upaya adaptasi dan mitigasi - mengharapkan adanya kesepakatan mengenai hal ini cuma wishful thinking.
Mungkin sudah waktunya mencoba pendekatan lain komitmen oleh setiap negara untuk menaikkan harga emisi (apakah melalui pajak karbon atau emissions cap) ke suatu level yang disepakati, katakan, US$ 80 per ton. Negara-negara bisa menggunakan sebagian dari pendapatan ini sebagai alternatif pajak-pajak lainnya-lebih pantas mengenakan pajak pada sesuatu yang buruk daripada sesuatu yang baik Negara-negara maju bisa menggunakan sebagian dari pendapatan yang dihasilkan ini untuk memenuhi kewajiban membantu negara-negara berkembang dalam upaya adaptasi yang mereka lakukan dan memberikan imbalan atas upaya mereka melestarikan hutan-hutannya yang membawa kebaikan global.
Kita sudah menyaksikan bagaimana kemauan baik saja tidak cukup. Kita sekarang harus menyatukan kepentingan-bersama dengan dengan niat baik, terutama karena para pemimpin di beberapa negara (terutama Amerika Serikat) tampaknya takut dengan persaingan dari negara-negara yang ekonominya sekarang berkembang pesat, bahkan tanpa keuntungan yang mungkin mereka peroleh dari tidak membayar pajak emisi karbon. Sebuah sistem pajak perbatasan antarnegara dikenakan atas impor dari negara-negara yang industri-industrinya tak sepantasnya membayai pajak atas emisi karbon yang dihasilkan- akan memberikan insentif ekonomi dan politik bagi negara-negara untuk mengadopsi pajak karbon atau emission rap. Langkah ini, pada gilirannya, akan memberikan insentif ekonomi kepada industri untuk mengurangi emisinya.
Waktu merupakan faktor yang penting. Sementara dunia membuang-buang waktu mengurusi hal-hal yang tidak penting, gas rumah kaca terus meningkat di atmosfer dan kemungkinan semakin menipis bahwa dunia bakal memenuhi target yang sudah disepakati untuk membatasi pemanasan global sampai 2 derajat saja. Kita telah memberikan kesempatan yang lebih dari cukup pada pendekatan melalui Protokol Kyoto dalam upaya mengatasi pemanasan global berdasarkan pemberian hak emisi. Mengingat masalah yang mendasari upaya ini, kegagalan Kopenhagen itu seharusnya tidak mengejutkan. Setidaknya alternatif ini juga patut diberi kesempatan.
Hak cipta: Project Syndicate, 2010.