MENGAMATI PERILAKU BURUNG CENDERAWASIH DI LABORATORIUM ALAM SEJATI
Manusia dan satwa liar tidak dapat bertahan hidup di Bumi tanpa adanya pohon. Dibanding ekosistem lainnya, komposisi jenis pohon lebih banyak dijumpai dalam ekosistem hutan. Nilai penting inilah menjadi salah satu alasan pelestarian hutan. Tetapi, apakah ini menjadi satu-satunya alasan pelestarian hutan?
Di Papua terdapat lebih dari 250 suku yang hidup di dalam maupun di sekitar kawasan hutan, dan melakukan pengelolaan hutan secara arif berdasarkan pengetahuan mereka secara turun temurun. Salah satu kelompok masyarakat yang mengelola hutan berdasarkan norma adat adalah masyarakat adat di Kampung Rhepang Muaif. Adapun salah satu bentuk pengelolaan yaitu dengan menjadikan wilayah adatnya sebagai kawasan ekowisata pengamatan burung cenderawasih. Keberadaan kawasan ekowisata tersebut dimaksudkan agar kehidupan burung cenderawasih di alam dapat terjaga, dan sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat adat di sekitarnya.
Menurut survei yang dilakukan oleh WWF tahun 2016, di hutan Rhepang Muaif terdapat sekitar 84 jenis burung, dan enam di antaranya adalah jenis cenderawasih. Keenam jenis cenderawasih tersebut adalah Cicinnurus regius, Manucodia ater, Paradisaea minor, Ptiloris magnificus, Seleucidis melanoleuca dan Drepanornis bruijnii. Keragaman jenis burung serta keindahan tarian burung cenderawasih menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke lokasi ekowisata ini. Pada periode tahun 2019 tercatat terdapat 400 kunjungan wisatawan yang tentu saja juga berdampak signifikan pada peningkatan perekonomian kelompok pengelola dan masyarakat sekitar.
Dari hasil penelitian dan survey keanekaragaman jenis burung oleh Tim peneliti Universitas Cenderawasih dan WWF di Rhepang Muaif tahun 2016, juga penelitian serupa di Kepulauan Yapen pada tahun yang sama, diperoleh informasi terkait hubungan burung cenderawasih dengan habitatnya juga interaksi burung yang mempengaruhi perilakunya.
Kaitannya dengan habitat, secara ekologi, hilangnya spesies burung dari habitatnya sangat berdampak pada regenerasi hutan. Berbagai jenis burung sejatinya berperan sebagai agen penyebar biji. Burung akan mengeluarkan biji-bijian melalui kotorannya dari buah yang dimakan, kemudian biji tersebut menjadi bibit-bibit pohon baru. Burung cenderawasih kuning-besar (Paradiseae minor jobiensis) misalnya, merupakan penyebar biji pohon “semang” atau Jabon (Anthocephalus sp.) dan Sengon (Paraserianthes falcataria). Kedua jenis tumbuhan tersebut merupakan bahan utama pembuatan perahu yang menjadi transportasi utama masyarakat di kampung Sawendui. Dengan kata lain, lebih luas dari faktor ekologi, hilangnya spesies burung juga berdampak pada kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat adat di Papua, dikarenakan kehidupan mereka sangat bergantung pada kondisi sumber daya alam di sekitarnya.
Dari perilakunya saat melakukan perkawinan (nesting), pada burung cenderawasih jenis minor lebih sering terlihat berkelompok, sementara jenis mati kawat (Seleucidis melanoleucus) lebih soliter. Di alam liar, jenis mati kawat bersifat poligini, seekor jantan dapat kawin dengan beberapa betina sekaligus. Jantan dari spesies ini dikenal karena bulu kepala dan sayap berwarna hitam-zaitun mencolok serta bulu kuning cerah di dada dan panggul. Dua belas filamen seperti kawat kehitaman muncul di bagian ekor dan dapat digerakkan secara independen untuk memikat betina. Selain itu untuk menarik perhatian betina, burung jantan memilih bagian pohon berupa batang vertikal (pucuk) yang sudah kering. Jika masih ada daun yang menghalangi, sang jantan akan membersihkannya dengan maksud agar mudah terlihat betina. Jenis mati kawat juga dikenal dengan perilaku agonistik teritorial yakni perilaku mempertahankan batang vertikal sebagai “panggungnya” dari invasi pejantan lain.
Burung jantan akan mendatangi “panggungnya” terlebih dahulu dan mulai bernyanyi. Saat kedatangan seekor betina, jantan menggerakkan sayapnya, bulu kuning di sisi tubuhnya, dan dua belas bulu ekornya memanjang sambil melompat-lompat dan bernyanyi untuk mengesankan betina. Bagi jenis burung cenderawasih, bulu dan tarian merupakan pesona untuk memikat betina. Aktifitas menari untuk memikat betina dilakukan burung jantan setiap hari hingga burung betina menghampirinya. BIla intensitas kehadiran burung betina rendah, maka dapat memicu stres bagi pejantan. Jika kondisi ini berlangsung lama, maka akan mempengaruhi morfologinya terutama bulu dan dua belas filamennya akan rontok. Kondisi ini sempat teramati oleh beberapa peneliti di kampung Rhepang Muaif. Pengamatan dua minggu, betina hanya datang tiga kali. Belum ada penelitian lanjutan terkait alasan mengapa betina tidak datang setiap kali jantan menari di batang yang menjadi “panggung” tersebut. Sementara itu, Anne Hoppman dalam publikasinya yang berjudul Breeding the Twelve-wired Bird of Paradise in Weltvogelpark Walsrode (2014) mengemukakan bahwa rentang waktu untuk molting—perubahan dari fase juvenile, immature hingga dewasa—dan siap secara seksual-burung jenis ini memakan waktu lima tahun. Apakah lambatnya pertumbuhan populasi jenis burung ini berpangaruh pada populasi betina? ataukah ada faktor lain yang menyebabkan ketidakseimbangan populasi antara jantan dan betina di alam? Untuk memperoleh jawaban yang tepat, diperlukan penelitian-penelitan lanjutan. Tidak terbatas pada jenis mati kawat saja tapi 27 jenis cenderawasih lainnya di Papua.
Kembali ke hutan, pelestarian dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan membantu menjaga ekosistem hutan, sekolah dan laboratorium (alam) yang sesungguhnya.