MENAMI BERHENTI BERLAYAR
Oleh: Nisa Syahidah (WWF-Indonesia)
Semalam, selesai pengambilan data terakhir di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Menami bergerak kembali ke Teluk Kendari. Pengalaman liveaboard paling lama saya selama dua belas hari akhirnya selesai sudah. Menami sandar dan berhenti berlayar.
Tidak seperti saat berangkat, kali ini Menami benar-benar merapat ke dermaga. Pagi itu, tepat di samping kami, kapal ferry menuju Pulau Wawonii sibuk menaikkan penumpang. Beberapa anggota berseragam Angkatan Laut singgah di geladak kapal menemani kami sarapan, sambil menyeruput segelas kopi.
Hari ini, kami semua bekerja di atas kapal untuk finalisasi data – hasil pengamatan, foto, dan tulisan. Saya juga membuka kelas curhat menulis – alias menagih tulisan dari tema-tema yang sudah diajukan oleh teman-teman. Kebanyakan dari kami melipat wajah di depan laptop hari ini – diselangi tidur siang, sesuatu yang tidak bisa dilakukan di hari-hari sebelumnya.
Di Instagram, penggunaan tagar #XPDCSULTRA hari ini juga meningkat. Soalnya, usai penutupan, kami akan mengumumkan pemenang kompetisi foto yang memang digelar sejak hari pertama ekspedisi. Foto-foto yang diunggah bermacam-macam, mulai dari matahari senja di Laut Banda, sampai Om Jon, koki kami yang asli Ambon.
Pukul empat sore hari itu, Pak Ikhsan (WWF-Indonesia), perwakilan dari Lesser Sunda Sub-seascape, secara resmi menutup rangkaian kegiatan ekspedisi. Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Tenggara juga hadir, menyampaikan apresiasi dan harapan kolaborasi yang tidak putus ke depannya.
“Terima kasih sudah melibatkan saya dalam XPDCSULTRA ini,” begitu rata-rata kami menyampaikan kesan selama ekspedisi, satu persatu. Kadang terharu, kadang jadi lucu kalau giliran Om Rais (Universitas Muhammadiyah Kendari) atau Pak Putu (Balai Taman Nasional Wakatobi) yang ngomong.
Saya sendiri, merasa bersyukur sekali berada di sini, dikelilingi ilmuwan-ilmuwan yang nggak hanya hebat di bidangnya, tapi juga jago membuat orang ketawa. Mereka yang biasa menyelam, paham betul bahwa saat berada di air, pikiran harus dalam keadaan tenang, tanpa beban. Beban-beban ini yang diangkat melalui tertawa – mekanisme relaksasi alami yang rata-rata para pelaut punya.
Selain belajar penempatan imbuhan “ji”, “mi”, dan “di” dari orang-orang asli Sulawesi, saya juga mempelajari semangat konservasi yang kental sekali dari orang-orang ini. Mereka adalah yang terbaik di bidangnya masing-masing. Saya? Lebih dari sekedar bangga bisa mengenal mereka.
Sore itu, Sasi (Universitas Halu Oleo), Om Rais (Universitas Muhammadiyah Kendari), Angga dan Jibriel (Reef Check Indonesia), jadi pemenang kompetisi foto #XPDCSULTRA di Instagram dan menerima bingkisan kecil dari kami. Foto-foto mereka tentang #XPDCSULTRA di Instagram punya ribuan likes (ceritanya).
Sebelum hari gelap, kami berfoto sama-sama. Bisa dilihat dalam foto di samping, selain karena cahaya, ada penggelapan warna kulit yang bisa diamati dengan kasat mata. Sosoito – itu sudah, cocok.