MENAKAR IMPLIKASI PENERAPAN SERTIFIKASI RSPO: PROSES PEMBELAJARAN DARI PEKEBUN KELAPA SAWIT SWADAYA DI PROVINSI RIAU
Meningkatnya perhatian pada isu lingkungan dan tekanan pasar global pada perusahaan dan pemerintah, telah memunculkan standar dan skema sertifikasi kelapa sawit untuk memastikan “keberlanjutan” dan meminimalkan dampak-dampak sosial dan lingkungan. Pada 2004, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), sertifikasi yang bersifat sukarela telah ditetapkan sebagai standar global rantai pasok dan bisnis kelapa sawit. Pada awalnya, skema sertifikasi RSPO berorientasi pada produsen skala besar (perusahaan), namun kini standar yang lebih spesifik untuk produsen kecil seperti pekebun swadaya telah dikembangkan. Pelibatan pekebun swadaya dalam skema RSPO ini penting karena faktanya perkebunan kelapa sawit rakyat di Indonesia saja luasnya mencapai 5,82 juta hektar atau sebesar 40,5% dari total luas perkebunan kelapa sawit nasional.
WWF Indonesia bersama Asosiasi Petani Sawit Swadaya Amanah di Kab.Pelalawan, dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Swadaya Mandiri di Kab.Kuantan Singingi, Provinsi Riau dan para pihak yang terkait telah bekerja dan mengalami lika-liku proses serta tahapan penerapan sertifikasi RSPO sejak 2011 sampai 2019. Menyadari minimnya dokumentasi pembelajaran (lesson-learned) tentang sertifikasi RSPO untuk pekebun swadaya baik itu proses dan tahapan mendapatkan sertifikasi serta manfaat dan dampak yang diperoleh pekebun swadaya “sebelum” dan “sesudah” sertifikasi RSPO. Maka catatan dalam proses sertifikasi RSPO bagi pekebun swadaya perlu dibuat sebagai bahan pembelajaran mengenai keberhasilan ataupun kendala yang dihadapi oleh pekebun swadaya atau pendamping dalam mengikuti proses sertifikasi RSPO bagi pekebun swadaya.