MEMBANGUN RUANG DIALOG PUBLIK MENGAWAL SUAKA ALAM PERAIRAN SELAT PANTAR DI ALOR
Penulis : Amkieltiela (Marine Science and Knowledge Management Officer)
Kabupaten Alor merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang kaya akan sumber daya laut dan pesisir. Namun kekayaan tersebut terancam oleh aktivitas manusia yang bersifat merusak dan eksploitatif. Hasil survei Manta Tow WWF-Indonesia tahun 2013 menunjukkan adanya penurunan kualitas kesehatan karang sebesar 14,9% (WWF-Indonesia, n.d.). Sejak tahun 2006, WWF-Indonesia membantu Pemkab Alor dalam pengelolaan kawasan konservasinya. Tiga tahun kemudian, Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Alor seluas 400.083 hektar resmi dicadangkan melalui Peraturan Bupati Alor No. 6 Tahun 2009 Tentang Pencadangan KKPD Alor (WWF-Indonesia, 2013). Tahun 2009, KKPD Alor dicadangkan menjadi Suaka Alam Perairan Alor dan saat ini sedang menunggu penetapan kawasan seluas 276.693,38 ha oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
Pulau Lapang yang terletak di Kecamatan Pantar Barat merupakan salah satu area yang masuk ke dalam Zona Inti KKPD Alor. Proses konsultasi dan sosialisasi yang dilakukan sejak tahun 2008 terhambat akibat penolakan dari warga setempat. Aksi penolakan ini disebabkan oleh masyarakat yang belum memahami bahwa lokasi Zona Inti sehingga khawatir akan mengancam kegiatan budidaya rumput laut yang menjadi mata pencaharian utama mereka. Untuk menengahi permasalahan tersebut, WWF-Indonesia, DKP Alor, dan mitra lainnya, membuka ruang diskusi secara langsung dengan masyarakat Pulau Lapang yang membahas status dan letak Zona Inti.
Dari hasil diskusi ini, masyarakat Pulau Lapang menjadi paham bahwa Zona Inti tidak bersinggungan dengan lokasi budidaya rumput laut, yang mana merupakan sumber mata pencaharian utama mereka. Namun beberapa minggu setelah diskusi tersebut, diketahui bahwa informasi terbaru mengenai Zona Inti tersebut belum tersebarluas sehingga masih ditemukan beberapa penolakan dari masyakarat Pulau Lapang.
WWF-Indonesia bersama mitra-mitranya kembali melakukan kegiatan sosialisasi sekaligus mengembangkan gagasan mengenai peranan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam Suaka Alam Perairan (SAP) Selat Pantar. Gagasan tersebut adalah mekanisme ‘buka-tutup’ kawasan SAP Selat Pantar dengan menggunaan pendekatan kearifan lokal yang dinamakan Hadingmulung.
Ruang publik selalu dibuka untuk dialog mengenai penerapan konservasi. Melalui komunikasi yang intensif, saling menghargai dan memadukan pengetahuan dari masing-masing pihak diharapkan bisa muncul sinergi pengelolalaan oleh adat dan pengelolaan oleh pemerintah dapat berjalan dengan baik dan memberikan kontribusi terhadap efek rembesan (spil over zona inti/wilayah larang ambil) ke wilayah pemanfaatan.