MELESTARIKAN ALAM, MENJALANKAN KEWAJIBAN KEPADA TUHAN
Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah umat Islam terbanyak di dunia. Islam menjadi salah satu agama di dunia yang memiliki jumlah pemeluk yang besar. Sebagai agama yang menjadi pedoman hidup manusia, Islam juga mengatur hal-hal yang menyangkut hubungan manusia dengan alam. Melestarikan alam tidak hanya melindungi hewan, tetapi juga membantu melindungi proses ekologi ,sehingga sistem alam dapat berjalan tanpa gangguan. Seorang pemerhati lingkungan modern bernama Mawli Y. Izzi Deen mengatakan bahwa melestarikan lingkungan sebagai bagian dari ekologi merupakan kewajiban dalam Islam. Seorang Asisten Profesor di Universitas King Abdul Aziz, Jeddah, Arab Saudi juga mengatakan dalam esainya “Etika Lingkungan Islam, Hukum dan Masyarakat,” bahwa pelestarian lingkungan harus dilakukan karena lingkungan dan semua makhluk diciptakan oleh Allah SWT yang dipercayakan kepada manusia di Bumi.
Selain itu Islam juga mengajarkan manusia untuk berbuat kebaikan bagi lingkungan. Nabi Muhammad pernah bersabda, siapa saja yang merawat alam dengan baik dengan hati yang tulus akan mendapat balasan dari Allah SWT berupa pahala. Bahkan pada masa Nabi Muhammad, Islam telah memperkenalkan konsep "Hima", yaitu penetapan zona-zona tertentu untuk pelestarian alam dan perlindungan tumbuhan dan satwa liar, di mana tidak diperbolehkan membuat bangunan, tidak membuat ladang, membuat lahan, atau berburu.
Dikutip dari Republika.co.id, ada lima jenis Hima yang berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW. Jenis Hima yang pertama adalah kawasan yang tidak boleh digunakan untuk menggembala ternak, tetapi di kawasan ini masih diperbolehkan menebang pohon asalkan pohon yang ditebang sudah tua dan sudah menghasilkan bunga dan buah. Tipe kedua adalah area dimana masyarakat diperbolehkan menggembalakan ternak dan menebang pohon yang telah berbunga dan berbuah, untuk membantu proses pembibitan secara alami pada musim berikutnya.
Tipe ketiga adalah area yang diperbolehkan menjadi area penggembalaan sepanjang tahun, namun terbatas pada jenis ternak dan diterapkan sistem kuota. Di wilayah ini, orang juga dapat memotong rumput. Tipe keempat adalah kawasan yang digunakan sebagai suaka lebah, di mana masyarakat hanya bisa menggembalakan ternak setelah musim bunga selesai. Tipe kelima berfungsi sebagai kawasan konservasi hutan. Di area ini pohon hanya boleh ditebang dalam keadaan darurat. Tipe terakhir adalah kawasan konservasi hutan untuk mencegah pembentukan padang pasir.
Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, pendekatan melalui kearifan agama dapat menjadi salah satu metode yang digunakan dalam melakukan upaya penyadaran terhadap pelestarian lingkungan dan satwa liar. Hal ini dapat dilakukan melalui tokoh masyarakat, seperti tokoh agama atau tokoh desa yang dihormati di tingkat akar rumput.
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI, KH. Muhyiddin Junaidi MA, menyatakan “Majelis Ulama Indonesia telah membentuk Lembaga Pemuliaan Lingkungan, yang bertugas mengeluarkan fatwa atau fatwa tentang perlunya melestarikan satwa dan ekosistem dalam rangka menjaga lingkungan Indonesia.”
Berdasarkan hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga keagamaan terkemuka di Indonesia menetapkan Fatwa Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem. Fatwa ini memerintahkan untuk melindungi dan melestarikan satwa langka, baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi, yang hidup di alam liar maupun di penangkaran, memiliki populasi kecil dan menurun populasinya di alam, serta memerlukan upaya konservasi untuk mencegah kepunahan. Fatwa No. 4 Tahun 2014 adalah untuk mencegah kepunahan spesies yang disebabkan oleh berbagai ancaman yang dialami hewan yang dapat menyebabkan kepunahan, yang akan mengganggu keseimbangan ekosistem.
Fatwa ini berisi rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah, legislatif, pemerintah daerah, pelaku usaha, tokoh agama, dan masyarakat luas. Rekomendasi tersebut menyarankan kita untuk mengambil langkah-langkah untuk melindungi dan melestarikan spesies langka dari kepunahan, salah satunya adalah upaya penegakan hukum untuk menghentikan perburuan dan perdagangan satwa liar, terutama spesies yang dilindungi.
Majelis Ulama Indonesia juga memiliki Da’i lingkungan, yaitu Da'i yang secara khusus menyebutkan pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan. MUI membentuk Da’i lingkungan karena lingkungan hidup merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Tidak hanya fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang), tetapi juga merupakan fardhu 'ain (harus dilakukan) bagi seluruh umat manusia untuk menjaga lingkungan dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Agama adalah pendekatan yang dapat dipilih sebagai metode sosialisasi dan pendidikan, mempengaruhi masyarakat untuk melestarikan hewan dan mencegah kepunahan spesies. Sebagaimana ajaran dalam setiap agama mengatakan bahwa manusia tidak hanya harus memiliki hubungan baik dengan Tuhan, tetapi juga dengan manusia lain yang hidup berdampingan secara harmonis dengan alam. Oleh karena itu, jika semua pihak dapat menjalankan fungsi dan perannya masing-masing, bukan tidak mungkin kita dapat melestarikan satwa dan ekosistem.