DISKUSI KONSERVASI: ADA APA DENGAN PESUT MAHAKAM?
Oleh : Sani Firmansyah (Supporter Center Officer)
Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) sebagian besar habitatnya berada di Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Mamalia ini ditetapkan sebagai simbol dari Provinsi Kalimantan Timur. Namun, belum banyak publik yang mengenal mamalia ini. Karena itu, pada Minggu (21/05), WWF-Indonesia menggelar Diskusi Konservasi (DisKo) untuk pertama kali di Jakarta bertajuk “Ada Apa dengan Pesut Mahakam?”. Diskusi tersebut diikuti berbagai kalangan, mulai dari pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum. Sri Jimmy Kustini sebagai Communication and Stakeholder Relation Senior Officer, Upper Mahakam Landscape Project hadir sebagai narasumber.
Diskusi diawali dengan pemaparan tentang kondisi geografis di Mahakam, Kalimantan Timur. Peserta kemudian diajak memahami pentingnya keberadaan pesut. Sri Jimmy menuturkan bahwa pesut atau lumba-lumba air tawar merupakan jenis satwa yang dilindungi berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999. Badan Konservasi International IUCN (International United of Conservation Nature Resources) menetapkan Pesut Mahakam dalam kategori satwa kritis dan terancam punah (Critically Endangered Species), Cites Appendiks I. “Pesut Mahakam sebagai lambang Provinsi Kalimantan Timur diperkirakan tersisa 75-80 individu saja (2014, yayasan RASI). Saat ini (Pesut Mahakam) terancam punah karena penurunan kualitas habitat yang diakibatkan aktivitas manusia dan ketersediaan makanan yang berkurang,” tutur perempuan yang akrab dipanggil Kak Jimmy ini.
Secara biologis, Pesut Mahakam yang makanannya ikan dan udang ini, bernapas menggunakan paru-paru dan tergolong sebagai hewan mamalia bukan ikan. Tubuhnya berwarna abu-abu sampai biru tua. Pesut Mahakam hanya melahirkan satu anak pesut setiap tiga tahun sekali. Masa menyusuinya selama 1 - 1,5 tahun. “Hal ini tidak seimbang dengan angka kematian pesut. Berdasarkan pengamatan setiap tahunnya, pesut ditemukan mati sebanyak empat individu. Jika saat ini hanya tersisa 80 individu dan kita semua tidak berupaya menjaga keberadaan pesut, bisa dipastikan 20 tahun lagi Pesut Mahakam akan dinyatakan punah,” ujar Jimmy.
Satwa endemik dari Kalimantan Timur yang selalu hidup berkelompok ini memliki perbedaan antara individu pesut yang satu dengan lainnya, layaknya sidik jari pada manusia. Pesut memiliki perbedaan pada sirip dan bentuk tengkuk kepala. Keberadaan Pesut Mahakam sangat penting karena sebagai bioindikator kualitas air. Beberapa sungai di Mahakam yang masih terdapat Pesut, dipastikan kondisi airnya dalam keadaan yang baik, serta indikator keberadaan ikan dan udang yang masih berlimpah.
Informasi mengenai Pesut Mahakam yang jarang didapatkan ternyata menarik minat para peserta. Mereka melontarkan beberapa pertanyaan terkait pesut. “Apakah ada predator alami juga yang mengancam populasi Pesut Mahakam?” tanya Rayan, Mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang. “Di Sungai Mahakam terdapat buaya. Namun sepanjang penelitian kami sejak 2009, belum pernah ditemukan pesut yang mati oleh buaya. Mungkin karena wajahnya yang imut sehingga buaya enggan untuk memburunya,” canda Jimmy diikuti tawa para peserta DisKo.
Saat ini, WWF-Indonesia bersama berbagai komunitas berupaya untuk mendorong penetapan habitat pesut sebagai kawasan lindung oleh pemerintah setempat. Upaya lain dengan cara meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat sekitar Sungai Mahakam untuk bersama-sama melindungi Pesut Mahakam dari ancaman kepunahan, dengan menerapkan alat budidaya ikan yang ramah lingkungan karena banyak ditemukan pesut yang tersangkut jaring. Selain itu, publik juga diajak untuk tidak membuang sampah ke sungai. Sampah disinyalir menjadi salah satu ancaman lumba-lumba air tawar ini.
“Diskusi yang sangat edukatif dan informatif. Bagi saya yang sebelumnya tidak tahu (tentang Pesut Mahakam) menjadi tahu dan lebih aware. Semoga WWF-Indonesia lebih sering mengadakan DisKo dan NgoPi seperti ini dengan tema lainnya,” ujar Rani, salah satu Suporter WWF-Indonesia.