MARAKNYA KONFLIK MANUSIA-GAJAH DI RIAU DI AWAL TAHUN 2010
Oleh: Syamsidar
Riau (22/01)-Penghujung tahun 2009 diwarnai dengan terjadinya konflik manusia-gajah di Riau di dua tempat yaitu Kecamatan Kepenuhan-Kabupaten Rokan Hulu dan di Kecamatan Peranap-Kabupaten Indragiri Hulu. Hingga akhir Januari 2010 konflik tersebut masih terjadi dan telah merusak kebun sawit dan pondok masyarakat.
Hal ini disebabkan karena Riau masih memiliki sembilan kantong gajah yang tersebar di enam kabupaten. Kecamatan Kepenuhan termasuk dalam wilayah kantong habitat gajah Koto Tengah sedangkan Kecamatan Peranap termasuk dalam wilayah kantong habitat gajah Serangge. Konflik memang sering kali terjadi di dua kawasan ini. Alih fungsi lahan menjadi perkebunan akasia dan sawit telah menyebabkan kedua kantong gajah ini terfragmentasi sehingga daerah jelajahnya tumpang tindih dengan aktifitas manusia. Dengan kondisi ini, konflik akan terus terjadi jika penanganan yang komprehensif tidak dilaksanakan.
Dalam dua puluh tahun terakhir, tutupan hutan alam di Riau telah berkurang sekitar 75 %. Hingga akhir 2007, hutan alam tersisa di provinsi Riau adalah sekitar 2.254.188 ha atau 25 % dari jumlah luas daratan Riau. Dari 25 % ini hanya sekitar 10% saja yang merupakan habitat yang layak bagi gajah sumatera, selebihnya adalah areal gambut yang tidak disukai oleh gajah. Musim penghujan bisa menjadi salah satu sinyal terjadinya konflik gajah karena habitat mereka terendam air sehingga gajah mencari wilayah yang kering seperti kebun. Kemungkinan ini seperti ini bisa terjadi di kantong habitat gajah yang berada di sekitar daerah rawa atau gambut seperti kantong gajah Koto Tengah.
Kantong gajah Serangge merupakan habitat gajah yang potensial selain kantong gajah Tesso Nilo. Menurut survei yang dilakukan oleh WWF bersama dengan BBKSDA Riau dan instansi terkait lainnya pada 2009, diperkirakan terdapat sekitar 50 ekor gajah di wilayah ini. Jumlah populasi yang cukup besar dan kondisi habitat yang relatif baik menjadikan kawasan ini potensial untuk dipertahankan. Namun potensi ini dalam keterancaman karena habitat gajah di wilayah ini telah terdegradasi akibat aktifitas penebangan hutan dan pembukaan kebun sawit.
Untuk penanganan konflik, Departemen Kehutanan telah menetapkan Permenhut no. 48 tahun 2008. Peraturan ini bertujuan sebagai pedoman penanggulangan konflik satwa liar–manusia sehingga penanganan dapat dilaksanakan dengan tepat. Permenhut ini mengedapankan prinsip bahwa manusia dan satwa liar terutama gajah sama-sama penting, penyelesaian masalahnya dilakukan secara terpadu, mitigasi konflik dilakukan dalam skala lansekap dengan memasukkan wilayah jelajah gajah dan habitat penting gajah. Penanganan konflik tidak dilakukan oleh satu institusi saja tetapi menjadi tanggung jawab multipihak.
Namun Permenhut ini sepertinya belum berjalan karena di Riau sepanjang tahun 2009 tercatat sembilan ekor gajah mati. Lima ekor gajah ditemukan mati di konsesi PT. Rimba Peranap Indah di sekitar kawasan hutan Tesso Nilo pada pertengahan tahun 2009. Gajah-gajah ini diduga mati karena diracun setelah merusak kebun sawit yang terdapat di dalam konsesi tersebut. Sementara itu, tiga gajah mati lainnya merupakan gajah jinak; dua diantaranya adalah gajah Pusat Latihan Gajah dan satu ekor lainnya adalah gajah milik PT. Arara Abadi. Dan menutup tahun 2009, seekor bangkai gajah ditemukan di konsesi PT. Riau Andalan Pulp and Paper pada awal Desember 2009.
Lemahnya penegakan hukum terhadap kasus kematian gajah baik akibat konflik atau perburuan diyakini menjadi salah satu faktor penyebab terus meningkatnya angka kematian gajah. Dari catatan WWF paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir, belum ada tindakan hukum yang tegas terhadap kematian gajah di Riau kecuali yang terjadi pada Agustus 2005 di Kabupaten Rokan Hulu. Satu dari empat orang pemburu gajah yang masih hidup divonis 13,5 tahun penjara. Vonis sebesar ini dijatuhkan karena selain pelaku telah melakukan perburuan satwa yang dilindungi, ia juga terlibat tindak kekerasan terhadap petugas kepolisian dan kepemilikan senjata api.
Konflik manusia-gajah tidak hanya menimbulkan kerugian materil namun juga memakan korban jiwa. Bila konflik terjadi, penanganan hanya dilakukan sementara sehingga konflik sudah pasti akan terjadi kembali. Tersedianya rencana strategis konservasi gajah di Riau yang dapat memberikan penanganan konflik manusia-gajah untuk jangka panjang menjadi satu kebutuhan dalam menghadapi kondisi ini.
Pada Oktober 2007, Departemen Kehutanan telah mengeluarkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan 2007-2017. Strategi ini ditujukan untuk menjadi kerangka kerja terhadap berbagai program dan kegiatan konservasi gajah dan pedoman dalam melakukan konservasi gajah. Dalam rencana strategi yang disusun bersama beberapa LSM di Indonesia termasuk WWF memuat rekomendasi antara lain menegaskan perlunya dilakukan studi status populasi dan distribusi gajah Sumatera di masing-masing provinsi. Populasi dan distribusi gajah diperlukan dalam merencanakan pembangunan untuk dapat menghindari dan meminimalkan konflik dengan keperluan lahan dan habitat gajah. Data ini diperlukan oleh pengelola konservasi dan ilmuwan untuk memberi saran dan rekomendasi dalam mengambil suatu keputusan terhadap suatu masalah antara konservasi gajah dan pembangunan.
Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah nasional ini perlu diterjemahkan pada level provinsi sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Implementasi dari strategi dan rencana aksi ini akan menjadi solusi terhadap permasalahan konflik manusia-gajah di Riau yang hingga kini belum dapat diatasi. Dalam rangka membangun strategi konservasi gajah di Riau, WWF bersama dengan BBKSDA Riau dan didukung oleh pemerintah daerah melakukan sosialisasi ke kabupaten-kabupaten yang terdapat habitat gajah mulai penghujung tahun 2009 hingga awal tahun 2010. Masukan-masukan dari sosialisasi ini akan menjadi bahan dalam penyusunan Strategi Konservasi Gajah Riau. Dengan tersedianya strategi ini diharapkan konflik manusia- gajah di Riau akan dapat ditangani dengan lebih baik.