MANGROVE, TAK SEKADAR PENJAGA SERANGAN ABRASI
Oleh: Natalia Trita Agnika
Keberadaan hutan mangrove di pesisir memberikan manfaat yang luar biasa. Mangrove yang tumbuh berjajar menjadi ‘benteng’ pencegah abrasi atau pengikisan pantai oleh gelombang air laut. Abrasi merupakan momok yang cukup menakutkan bagi sebagian warga pesisir. Berdasarkan data pengamatan WWF-Indonesia pada 2009, setidaknya 193 km pesisir utara Kalimantan Barat pernah terancam abrasi. Setiap akhir tahun, warga Desa Sungai Duri, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Bengkayang, kerap kali harus mengungsi akibat pasang air laut yang menggenangi rumah. Sejumlah warga bahkan kehilangan tempat tinggal karena lahan pemukiman mereka tergerus oleh gelombang air laut.
Namun, sesungguhnya mangrove tak sekadar penjaga batas pantai dari abrasi air laut. Masih banyak lagi peran pentingnya sehingga setiap tahun di tanggal 26 Juli masyarakat dunia memperingati Hari Mangrove Se-dunia (World Mangrove Day). Apa saja manfaat dan potensi vegetasi penyambung antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan ini?
Hutan mangrove merupakan tegakan yang mampu menyimpan karbon dalam kuantitas tinggi, bahkan lebih tinggi dibanding hutan di daratan. Luasan satu hektar hutan mangrove mampu menyimpan 1,5 metrik ton karbon per tahun. Substrat lumpur di ekosistem mangrove dapat menyimpan 20-25% karbon (sumber: mangroveactionproject.org). Itulah sebabnya ekosistem ini memiliki produktivitas dan keanekaragaman hayati yang tinggi. Kemampuan hutan mangrove menyerap karbondioksida sangat berguna dalam usaha mengurangi pemanasan global.
Ekosistem mangrove juga merupakan tempat tinggal, tempat mencari makan, dan tempat berpijah bagi banyak spesies. Biawak, kura-kura, ular, monyet, dan burung menjadikan hutan mangrove sebagai rumah. Demikian pula dengan beberapa jenis ikan, udang, dan kepiting. Hutan mangrove yang sehat merupakan kunci bagi kondisi ekologi laut yang sehat pula. Ranting dan cabang mangrove yang jatuh dan terurai akan menghasilkan unsur hara bagi lingkungan laut.
Sayangnya, hutan mangrove menghadapi berbagai masalah sehingga luasannya makin berkurang. Perkembangan pariwisata, konversi hutan mangrove menjadi perikanan air tawar, polusi dari perkotaan, penebangan ilegal, dan laju pembangunan merupakan sejumlah hal yang mengancam keberadaan hutan mangrove.
WWF-Indonesia menginisiasi program penanaman pohon mangrove sebagai bagian dari program NEWtrees. Program ini berorientasi pada perbaikan fungsi ekosistem prioritas di tingkat bentang alam. Program NEWtrees turut mendukung dan berkontribusi mewujudkan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada 2020 melalui perbanyakan penanaman pohon dan reforestasi.
Kepedulian terhadap kelestarian mangrove juga bermunculan dari individu dan komunitas. Sebut saja Kadek Surasmini, seorang perempuan Bali yang tinggal di kawasan dekat hutan mangrove. Ia melakukan sebuah aksi nyata dengan mengajak Pokhlasar (Kelompok Pengolahan dan Pemasaran) Wanalestari yang beranggotakan istri-istri nelayan untuk melakukan konservasi tanpa eksploitasi yang menyejahterakan bagi mereka. Buah mangrove yang telah jatuh dari pohon diolah menjadi aneka produk. Dengan mengolah buah yang ada dan mendapatkan manfaat ekonomis, masyarakat sekitar khususnya anggota Pokhlasar semakin antusias menjaga hutan mangrove, melakukan penanaman kembali, dan rajin menjaga lingkungan sehingga tak ada lagi lingkungan yang terbengkalai.
Berbagai komunitas juga bahu-membahu melakukan gerakan untuk pemulihan kawasan mangrove seperti yang pernah dilakukan oleh komunitas Earth Hour di beberapa daerah. Individu sebagai bagian dari masyarakat dapat pula menghijaukan kembali hutan mangrove di Indonesia dengan berdonasi melalui www.mybabytree.org. Program penanaman mangrove ini memberikan wacana baru bagi masyarakat guna membantu proses reforestasi untuk melindungi taman nasional atau hutan lindung dan mengawasi pertumbuhan mangrove melalui Geotags (pelabelan pohon dengan garis lintang dan garis bujur/koordinat lokasi yang tepat).