SINTANG: BERKELANJUTAN BERSAMA PETANI SAWIT
Oleh: Siti Sadida Hafsyah
Perkembangan kelapa sawit terus berjalan hingga menjangkau petani, pelaku usaha dari kalangan masyarakat. Perlu diketahui, ada dua jenis petani untuk komoditas kelapa sawit. Pertama, petani plasma kelapa sawit, yang muncul karena perusahaan melibatkan masyarakat lokal dalam perkebunan yang dibangunnya dan menerapkan pola pembagian hasil di dalamnya. Petani plasma muncul berdasarkan UU no 98 tahun 2013, yang mewajibkan perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat seluas 20% dari izin usaha yang diberikan. Yang kedua adalah petani kelapa sawit swadaya atau mandiri, yang umumnya tidak melibatan pihak lain selain dari petani itu sendiri.
WWF Indonesia cukup menaruh perhatian pada petani kelapa sawit swadaya. Ketika petani swadaya memiliki keterbatasan akan pengetahuan mengenai praktik budidaya yang berkelanjutan, sistem manajemen, serta akses terhadap modal dan pasar, WWF Indonesia melakukan beberapa upaya untuk meningkatkannya. Salah satunya di Sintang, Kalimantan Barat, sejak tahun 2014. Diawali dengan terbentuknya Koperasi Rimba Harapan sebagai wadah kelembagaan petani kelapa sawit swadaya.
PENGUATAN KAPASITAS
Berkaca pada Asosiasi Petani Sawit Swadaya Amanah (Riau) dampingan WWF Indonesia terdahulu yang memperoleh sertifikat Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO), Koperasi Rimba Harapan mengadopsi hal yang sama dalam usaha perkebunannya. Tiga tahap awal yang diupayakan yaitu tata kelola kelembagaan, tata kelola kebun, dan tata kelola usaha, di mana dalam prosesnya melibatkan pemerintah lokal melalui Fasilitator Daerah (Fasda) Sawit Lestari. Dengan melakukan pemetaan petani kelapa sawit di tingkat kabupaten, koperasi ini kemudian terbentuk hingga terancang tata kelola kelembagaan terutama Standar Operation Procedure (SOP) untuk berbagai aktifitasnya.
Poin penting yang tertuang dalam SOP keanggotaan koperasi misalnya pelarangan pembukaan kebun sawit di area Nilai Konservasi Tinggi (NKT/ High Conservation Value) serta pembukaan lahan dengan cara dibakar untuk memenuhi prasyarat keberlanjutan. Suratno Warsito, ketua Koperasi Rimba Harapan bahkan menyisihkan lahannya untuk habitat satwa liar di sekitar Tebelian.
Selanjutnya, hal teknis seperti tata kelola kebun, dilakukan dengan menerapkan praktik perkebunan yang baik (good agricultural practice). Sebagai contoh, sistem tumpang sari terbukti menghasilkan keuntungan tambahan untuk petani serta melindungi keanekaragaman hayati. Sedangkan keterjaminan pasar untuk hasil dari kebun kelapa sawit itu sendiri dilakukan dengan mengaudiensi beberapa pabrik di kabupaten Sintang. Tidak hanya itu, adanya dukungan sistem pengawasan internal (Internal Control System/ ICS) memperkuat konsep keberlanjutan dalam usaha perkebunan kelapa sawit.
TIGA PILAR PENDEKATAN: EKOLOGI, SOSIAL, DAN EKONOMI
Pembangunan kelapa sawit berkelanjutan akan terus ditopang oleh tiga pilar yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu ekologi, sosial dan ekonomi. WWF Indonesia terus melakukan pendampingan pada petani kelapa sawit swadaya dengan menekankan tiga pilar ini. Aspek sosial berhubungan dengan ekonomi untuk melihat potensi konflik penggunaan lahan masyarakat sehingga selanjutnya dapat membantu mengurangi laju deforestasi. Identifikasi perkebunan petani kelapa sawit swadaya dan pemetaan kondisi di masa yang akan datang, dapat dinilai dari keterkaitan aspek ekonomi dan ekologi. Sedangkan aspek ekologi dan sosial berguna untuk meningkatkan kapasitas petani terhadap perlindungan kawasan penting seperti NKT.
PERKUAT TATA KELOLA USAHA DAN EKONOMI PETANI SAWIT SWADAYA
Pada tanggal 12 Januari 2017 di Pontianak, Putra Agung, Sustainable Palm Oil Manager WWF-Indonesia menjelaskan tiga komponen yang selanjutnya menjadi capaian target adalah meningkatkan ketahanan ekonomi dan kesejahteraan anggota koperasi, memperkuat dukungan dan kontribusi pemerintah lokal dalam praktik perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, serta memperbesar dampak program kepada para pihak. Desa yang disasar yaitu desa Merarai Satu, desa Merarai Dua, dan desa Suka Jaya di kabupaten Sintang dengan berkoordinasi dengan beberapa pihak terkait. Secara teknis, WWF-Indonesia menggali potensi komoditas alternatif yang dapat dikembangkan oleh petani, disertai dengan pendampingan. Kapasitas petani kembali ditingkatkan terutama dalam tata kelola kelembagaan ICS sawit. Termasuk didalamnya, mendorong petani memiliki Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya (STD-B) untuk meningkatkan nilai tawar petani kelapa sawit swadaya.
Rangkaian kegiatan yang dilakukan di tahun 2017, di antaranya terlaksana pada tanggal 6-9 April 2017, di mana WWF Indonesia mengadakan Training of Trainer (TOT) mengenai pertanian organik dan studi banding ICS di desa Sepandan, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu dari kelompok ICS Sawit Swadaya Sintang, Sentra Kerajinan Banuaka, Sentra Beras Banuaka, Sentra Karet Barese, dan Sentra Ikan Asin. Dilanjutkan dengan perumusan masalah yang melibatkan berbagai pihak. Serta studi kultur teknis pembibitan kelapa sawit ke Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) yang diikuti oleh 15 anggota koperasi pada tanggal 20 April 2017. Masih terkait upaya peningkatan ekonomi petani, beberapa pertemuan dilakukan hingga dapat disepakati bahwa komoditas alternatif yang akan dikembangkan di antaranya jambu kristal, ayam petelur, ayam UB, pisang, dan karet. Dimensi kegiatan yang selanjutkan akan dilaksanakan bersama dengan petani meliputi studi pengembangan komoditas, perencanaan bisnis, hingga tools manajemen administrasi (keuangan dan non keuangan).