LEBIH DEKAT DENGAN MASYARAKAT WAB ARSO LEWAT RUMPUT LAUT
Penulis: Hery Davidson P. Siahaan (Mahasiswa UNDIP jurusan Perikanan yang melakukan penelitian skripsi di Kei)
Tersebut lah Ohoi—bahasa Kei untuk desa—Wab Arso, salah satu desa penghasil rumput laut yang cukup besar di Maluku Tenggara. Budidaya rumput laut di Ohoi Wab Arso termasuk unik karena dapat dilakukan sepanjang tahun dengan wilayah budidaya yang terlindung, yaitu di dalam perairan Teluk Hoat Soarbay.
Memang, Kabupaten Maluku Tenggara merupakan salah satu daerah penghasil rumput laut jenis Eucheuma cottonii. Kegiatan budidaya rumput laut di Wab Arso sendiri saja sudah berlangsung sejak tahun 2009 menggunakan bibit lokal yang telah dilakukan percobaan dari bibit kultur jaringan selama 3 bulan adaptasi (Maret-Mei 2015), yang akhirnya cocok untuk dapat ditumbuhkan di wilayah perairan Teluk Hoat Soarbay dengan metode tanam long-line.
Pada bulan Maret 2015, petani rumput laut di Wab Arso dikenalkan dengan bibit kultur jaringan yang berasal dari Lampung. Awalnya pembudidaya mengkhawatirkan bibit kultur jaringan tersebut karena tidak ada perubahan bobot dan pertumbuhan selama dua minggu penanaman. Namun, pada minggu ketiga pertumbuhan bibit rumput laut tersebut sangat cepat sehingga semua petani rumput laut di Wab Arso beralih menggunakan bibit kultur jaringan. Bibit hasil pengembangan kultur jaringan Lampung ini terbukti lebih tahan terhadap perubahan kondisi alam yang memicu gejala penyakit ice-ice sehingga menguntungkan bagi para pembudidaya untuk melakukan praktik budidaya sepanjang tahun. Saat ini Wab Arso pun menjadi daerah penghasil bibit rumput laut untuk daerah Maluku dan sekitarnya.
Sore itu tepatnya tanggal 15 Mei 2016 saya, sebagai mahasiswa yang sedang melakukan penelitian, dan tim WWF-Indonesia Program Inner Banda Arc Subseascape/IBAS melakukan kunjungan ke rumah Kepala Ohoi (Kepala Desa) Bapak Karo, yang kesehariannya sebagai pentani rumput laut. Kedatangan kami disambut hangat oleh Bapak Karo dan warga di sekitar desa itu. Tidak lupa di sela-sela silaturahmi, kami diskusikan terkait kegiatan penelitian yang akan kami lakukan sambil menikmati sajian khas Maluku Tenggara, Embal dan secangkir teh yang menambah kehangatan suasana sore itu.
Petani rumput laut umumnya melakukan kegiatan pada pagi dan sore hari. Petani rumput laut terdiri dari kelompok laki-laki dan perempuan. Uniknya dalam satu keluarga rumput laut milik istri berbeda dengan milik suaminya. Kegiatan yang kami lakukan sehari-hari adalah membersihkan rumput laut dari hama yang menempel dan pengamatan kondisi konstruksi budidaya.
Bibit rumput laut yang digunakan biasanya berusia 21-25 hari Untuk sampai pada tahap pemanenan petani rumput laut membutuhkan waktu selama 45-50 hari. Hasil panen rumput laut kemudian dijemur hingga kering dan kemudian dijual kepada pengepul yang berada di Desa Debut. Sejauh ini petani rumput laut di Wab Arso masih menjual rumput dalam bentuk kering (belum dalam bentuk produk akhir yang bisa langsung dikonsumsi). Kendala yang dihadapi petani rumput laut saat ini adalah harga rumput laut yang cukup murah dan terus menurun. Petani rumput laut mengharapkan pemerintah dapat memberikan patokan harga yang lebih menjanjikan karena budidaya rumput laut merupakan mata pencaharian utama penduduk Wab Arso.
“Harga rumput laut beberapa tahun lalu itu Rp18.000,- per kilogram kering, kalau sekarang hanya Rp6.500,- per kilogram kering,” cerita Bapak Karo, Kepala Ohoi Wab Arso.
Pada tanggal 14 Juni 2016, saya mendapatkan salah satu pengalaman menarik, yaitu mengikuti kegiatan pemanenan bibit. Bibit yang sudah siap panen adalah yang berusia 21-25 hari. Kali ini pemanenan yang kami lakukan dalam jumlah besar, yaitu sebanyak 4.691 kg. Bibit rumput laut ini dihargai dengan Rp7.000,- per kilogram. Kegiatan pemanenan dilakukan pada sore hingga malam hari. Harapan ke depannya semoga Ohoi Wab Arso dapat dijadikan sebagai pusat pembibitan rumput laut untuk daerah Maluku dan sekitarnya