KISAH PENYELAMATAN SALAWAKU, PENYU BELIMBING DI PULAU BURU
Oleh: Syarif Yulius Hadinata – Marine Species Assistant WWF-Indonesia Inner Banda Arc Subseascape
Debur ombak dan guruh gelombang pagi itu masih sama seperti beberapa hari lalu. Tenang, teduh dan sejuk dengan semilir anginnya. Gesekan nyiur yang melambai seakan mengalun mengiringi aktivitas para nelayan di kala mulai mencari rezeki. Namun di balik hening, jika masuk musim angin Barat dan Utara sang ombak seakan murka hingga meruntuhkan pertahanan pepohonan tepian Sungai Waenibe. Itulah gejala awal abrasi yang mulai terlihat di salah satu titik Pantai Peneluran Penyu Pulau Buru Utara.
Tepian muara Sungai Waenibe menjadi lokasi favorit para nelayan melepaskan ikan dari jaring sebelum kemudian kembali lagi menjaring. Alex Kesaulya salah satunya. Pria 46 tahun yang akrab disapa Om Alex ini berprofesi sebagai petani dan nelayan. Hampir setiap hari ia pergi ke laut atau ke kebun demi menafkahi istri dan 4 anaknya. Seperti biasa, hari itu ia mengajak temannya, Lukas Nikiyolu pergi ke laut untuk memasang jaring. Perlahan dayung menggaris laut menuju lokasi ikan berkumpul. Setibanya, jaring dilepas di permukaan laut dengan harapan banyak ikan akan terjaring. Belum habis jaring ditebar, mendadak teriakan Semi Tomhisa terdengar. Rekan sejawat mereka terlihat bergegas mendayung perahu untuk mendekat sembari memanggil. Ternyata Semi menyampaikan bahwa ada yang membunuh penyu di dekat Sungai Waenibe. Spontan saja Om Alex dan Lukas bergegas menarik kembali jaring untuk memastikan kebenaran yang disampaikan Semi.
Dayung dikayuh lebih cepat dibanding ketika Alex berangkat menjaring. Pantai semakin dekat, penyu hitam pekat dengan bintik putih itu mulai terlihat dan dapat dipastikan tidak ada orang lain sekitarnya. Setelah mendaratkan perahu, Alex dan Lukas mendekat. Ternyata reptil laut raksasa itu tersangkut di tunggul yang patah akibat tergerus ombak, bukan dalam kondisi mati diburu. Penyu berjenis penyu belimbing (Dermochelys coriacea) itu disebut Salawaku oleh masyarakat Pulau Buru. Si penyu tampak tak berdaya dan hampir tanpa tenaga akibat terjerat hampir semalaman. Hanya ada sedikit sisa tenaga yang membuat flipper tetap mengayuh pelan demi meloloskan diri. Pada bagian leher bercak merah darah terlihat jelas muncul dari gesekan salawaku yang berontak ingin melepaskan diri. Beruntung ia masih hidup. Setelah di cek pantai sekitar, dapat disimpulkan salawaku naik ke pantai namun tak jadi bertelur karena kondisi sarang yang berbatu. Perjalanan kembali ke laut membuatnya tersangkut.
“Melihat kondisi itu beta langsung berlari pulang untuk ambil parang dan HP untuk foto, pergi berlari dan pulangnya berlari juga biar cepat,” ujar Om Alex sembari memperagakan dirinya lari. Sementara Lukas membersihkan kayu-kayu lainnya. Parang yang dibawa Om Alex untuk memotong tunggul tidak cukup baik untuk usaha penyelamatan, karena terlalu dekat dengan bagian kepala dan jika salah akan menambah cidera. Segala cara dilakukan, mulai dari menggoyangkan tunggul agar tercabut atau bengkok agar salawaku dapat melewatinya, namun tak memberikan hasil. Hingga terpikir untuk mengangkat dan membalikkan salawaku yang bobotnya dapat mencapai 1 ton, namun karena hanya mereka berdua usaha itu pun sia-sia.
Setelah setengah jam berpikir dan berusaha, mereka akhirnya mengungkit tubuh salawaku menggunakan kayu. Usaha tak sia-sia, tubuh gempal salawaku betina tersebut terangkat dan bergeser sedikit demi sedikit. Berulang-ulang pengungkit dicoba dan akhirnya mereka berhasil melepaskan salawaku dari jerat tunggul, lepas dan bebas untuk kembali menjelajah samudera. Ini kejadian pertama salawaku tersangkut di pantai Waenibe dan kali pertama Alex dan Lukas menyelamatkan penyu sebelum paham mengenai perlindungan penyu. Selama ini mereka hanya tahu penyu adalah satwa dilindungi, namun belum paham bagaimana langkah-langkah menyelamatkan penyu dan arti penting penyu bagi ekosistem.
Sepenggal kisah penyelamatan salawaku Pulau Buru yang terjadi pada Desember 2017 lalu menunjukkan sudah adanya kesadaran masyarakat Desa Waenibe yang dulunya mengonsumsi penyu. Dulu tahun 1980-1990an penyu dari Pulau Buru sempat dijual hingga ke Kota Ambon, namun seiring waktu semakin berkurang masyarakat yang mengonsumsi penyu. Masyarakat pun perlahan menyadari pentingnya konservasi penyu. Secercah cahaya konservasi penyu Pulau Buru Utara mulai menyala. Tugas lainnya yang menunggu adalah menjaga nyala cahaya itu tetap berada pada alur konservasi, kemudian menularkannya ke masyarakat lain.