KAMPOENG BATIK LAWEYAN: TITIK TEMU ANTARA SEJARAH, BUDAYA DAN LINGKUNGAN
Sebagai salah satu rangkaian kegiatan menuju Gelaran Ramah Bumi sebuah kampanye publik yang diinisiasi oleh WWF-Indonesia untuk memperkenalkan prinsip konsumsi yang bertanggung jawab. Sebagai bagian dari upaya dalam mendorong komoditas berkelanjutan terutama turunan produk kelapa sawit ini, WWF-Indonesia bersama para anggota Members of Nature WWF-Indonesia mengunjungi Kampoeng Batik Laweyan, salah satu ikon budaya di Kota Solo yang memiliki banyak cerita tentang warisan tradisi budaya yang ternyata juga berkaitan dengan lingkungan.
Dimulai sejak tahun 1546 nama "Laweyan" diambil dari kata "Lawe," yang berarti benang. Pada masa itu, penduduk Laweyan dikenal sebagai orang yang membuat benang, sehingga kawasan ini menjadi pusat pengolahan benang.
Seiring berjalannya waktu produksi masyarakat Laweyan terus berkembang dari sekadar benang menjadi kain, termasuk batik. Berjaya melalui produk-produk batik dalam pasar lokal hingga internasional, Batik Laweyan bisa dikatakan sebagai salah satu simbol budaya yang berhasil bertahan hingga saat ini. Dalam perjalanannya, Batik Laweyan juga menghadapi pasang surut yang berpengaruh pada terciptanya Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FBKPL) satu wadah yang mengelola dan mengembangkan batik di Laweyan yang berfokus pada pelestarian budaya dan lingkungan.
Dukungan WWF-Indonesia dalam mendorong Inisiatif Lingkungan di Kampoeng Batik Laweyan
WWF-Indonesia telah banyak melakukan kerja sama dengan Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan. Sejalan dengan tujuan WWF-Indonesia dalam mendukung produk-produk komoditas berkelanjutan, WWF-Indonesia melakukan pendampingan dalam pengembangan Rencana Aksi Berkelanjutan dan juga memberikan pelatihan-pelatihan terkait produk berkelanjutan yang berlangsung pada periode Juli-Oktober 2024 kepada beberapa anggota dari Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan, yaitu Batik Isma Laweyan, Batik Mahkota Laweyan, Batik Tjap Tiga Negeri, dan Batik Tumaruntun Laweyan. Selain itu WWF-Indonesia juga memesan batik yang sudah menggunakan bahan baku kelapa sawit berkelanjutan dari Kampoeng Batik Laweyan.
Menuju Kampung Batik Ramah Lingkungan
Salah satu aspek penting yang menjadi perhatian di Kampoeng Batik Laweyan adalah kelestarian lingkungan. Sesuai yang dikatakan Pak Setiawan Muhammad yang merupakan Ketua Harian dari Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan yang menngatakan “Kita sudah sangat concern dengan lingkungan, dengan adanya IPAL komunal jadi limbah di lingkungan kampung ini sudah dikelola secara bersama”. Forum ini berkomitmen untuk mengintegrasikan praktik ramah lingkungan dalam setiap aspek produksi batik.
Dengan berbagai inisiatif tersebut, Kampoeng Batik Laweyan memiliki visi menjadi pusat produksi batik ramah lingkungan atau yang disebut Solo EcoBatik. Langkah-langkah ini tidak hanya menjadikan Laweyan sebagai pelopor dalam inovasi lingkungan, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai ikon budaya yang mampu beradaptasi dengan tuntutan zaman.
Melalui pengolahan limbah yang baik, penggunaan bahan alami, hingga pemanfaatan energi terbarukan, Kampoeng Batik Laweyan telah menunjukkan bahwa tradisi dan keberlanjutan dapat berjalan beriringan. Dengan semangat inovasi dan pelestarian lingkungan, Laweyan menjadi bukti nyata bagaimana komunitas lokal dapat memberikan kontribusi besar bagi budaya dan ekosistem. Semoga semakin banyak komunitas lokal di Indonesia yang tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga berperan aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Program FPKBL terkait Keberlanjutan (Sustainability)
1. Penggunaan Lilin Sawit Berkelanjutan (Sustainable Palm Oil Batik Wax)
WWF Indonesia, bersama Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), mendampingi FPKBL untuk menggunakan malam batik yang terbuat dari minyak sawit berkelanjutan. Inisiatif ini bertujuan mengurangi dampak lingkungan dari proses produksi batik dan mendukung praktik industri yang ramah lingkungan. Salah satu inovasi yang dikembangkan adalah penggunaan lilin sawit dari bahan HPS (Hydrogenated Palm Stearin) sebagai bahan baku untuk membuat batik. Lilin sawit lebih ramah lingkungan dibandingkan lilin konvensional, sehingga menjadi bagian penting dalam produksi eco-batik. Kampoeng Batik Laweyan bekerja sama dengan para penyuplai bahan baku untuk memastikan ketersediaan lilin sawit yang berkualitas.
2. Pembangunan IPAL Komunal
Merujuk pada konsep “Green Eco Batik” yang sedang dikembangkan oleh FPKBL sebagai upaya mengurangi pencemaran lingkungan terutama di sungai-sungai sekitar, masyarakat Kampoeng Batik Laweyan membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal sebagai upaya untuk mengurangi dampak limbah dari proses produksi batik. Proyek ini merupakan hasil kerja sama dengan pemerintah pusat dan NGO. IPAL ini memungkinkan pengolahan limbah secara kolektif dari berbagai pengrajin di kampung, sehingga air yang dibuang ke sungai sudah bersih dan aman.
3. Penggunaan Pewarna Alami
FPKBL juga berkomitmen untuk mengganti pewarna sintetis dengan pewarna alami. Penduduk menanam berbagai jenis pohon di bantaran sungai dan lahan-lahan kosong yang menghasilkan bahan pewarna alami untuk batik. Langkah ini tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga membantu menjaga kualitas tanah dan lingkungan sekitar.
4. Pemanfaatan Energi Matahari
Kampoeng Batik Laweyan mulai menerapkan energi terbarukan dengan memasang panel surya di beberapa UKM. Energi matahari dimanfaatkan untuk mendukung produksi batik, sekaligus mengurangi ketergantungan pada listrik konvensional. Langkah ini merupakan bagian dari visi kampung untuk menjadi penggerak utama dalam penggunaan energi berkelanjutan di sektor batik.