CERITA SAHABAT MONA- PERJALANAN KEJUTAN KE GUNUNG PRAU
Perjalanan dimulai dari Basecamp Dwarawati, di Krajan, Dieng Kulon, Banjarnegara, Jawa Tengah sekitar pukul 16.15, saat matahari mulai meredup di ufuk barat. Para peserta menyusuri perkebunan warga dengan langkah yang masih ringan, melintasi jalanan berbatu yang relatif landai. Udara pogamoggan yang segar menyambut, memberikan semangat pada setiap langkah yang diayunkan.
Memasuki gerbang hutan, jalur pendakian mulai menunjukkan tantangannya. Selepas Pos 1, para peserta semakin terhanyut dalam keheningan hutan belantara. Jalur menuju Pos 2 menjadi semakin menantang, dengan kemiringan yang mencapai hingga 60 derajat. Setiap langkah terasa berat, namun pemandangan sekitar yang dipenuhi oleh pepohonan pinus yang menjulang tinggi, dengan akar-akar yang menyebar di tanah, seolah menyuntikkan energi baru. Akar-akar yang dikenal sebagai “Akar Cinta” ini tidak hanya menjadi penopang pohon-pohon raksasa, tetapi juga menjadi simbol kekuatan cinta dalam setiap perjalanan. Dengan cinta, perjalanan yang berat pun terasa lebih ringan.
Menjelang Pos 3, matahari mulai tenggelam, menghamparkan semburat jingga di langit. Para peserta segera memasang headlamp sebagai penerang, sementara kabut dingin mulai menyelimuti jalur pendakian. Jalur menuju puncak relatif landai saat melintasi tepi perbukitan, namun mendekati puncak Prau, jalur kembali menanjak dengan trek berbatu yang semakin menantang. Meskipun terjal, para peserta terus melangkah dengan penuh semangat, karena mereka tahu bahwa puncak semakin dekat.
Setelah lebih dari dua jam mendaki, akhirnya para peserta tiba di puncak. “Ternyata setinggi apa pun, sesulit apa pun, kalau kita mulai pelan-pelan, pasti tercapai juga,” ujar Sahabat Mona, Mita, dengan senyum penuh kepuasan. Dari puncak, perjalanan dilanjutkan menuju Sunrise Camp. Meskipun jaraknya sekitar 1,5 km dari puncak, rasa lelah segera sirna saat mereka disambut oleh pemandangan langit malam yang dipenuhi bintang-bintang.
Selepas makan malam, kehangatan dilanjutkan dengan sesi ngobrol bersama. Masing-masing peserta berbagi kisah dan alasan mengapa mereka memilih untuk bergabung dalam perjalanan ini. Sahabat MoNa, Lilian Lie merasa tersentuh melihat betapa semua yang hadir di Mona Kelana memiliki passion dan cinta yang sama terhadap alam. Hal ini membuat mereka merasa terhubung dan saling mendukung satu sama lain. Malam itu diakhiri dengan pandangan penuh harap ke langit, menantikan bintang jatuh yang akan melintas.
Saat fajar menjelang, udara yang dingin perlahan menjadi hangat oleh sinar matahari pagi yang dinanti-nantikan. Setelah menikmati keindahan matahari terbit, acara dilanjutkan dengan sesi meditasi. Para peserta duduk di atas rumput dan tanah, merasakan kehangatan bumi dalam sesi grounding. Dengan teh hangat di tangan, mereka menutup mata, mendengarkan afirmasi yang dibacakan fasilitator, membiarkan energi positif meresap ke dalam diri. Suara gong meditasi menyertai mereka, membawa suasana keheningan yang lebih dalam, membantu peserta mencapai frekuensi yang lebih sadar. “Kita harus selalu positif, jangan semua dipendam. Kita harus bercerita dan berbagi dengan alam. Selain menjaga diri, kita juga harus menjaga alam,” kata Sahabat Mona, Rafif, menutup sesi meditasi dengan pesan yang dalam.
Perjalanan turun kembali menuju basecamp dilakukan dengan semangat menjaga alam, sambil memunguti sampah yang ditemui di sepanjang jalur. Sahabat Mona, Hennessy, menyampaikan, “Menurut saya memang perlu banyak kegiatan seperti ini karena it’s always good to be back in nature. Kadang-kadang memang sering sih ada open trip, tapi kalau yang MoNa ini dengan WWF, kita jadi tahu ada visi dan misinya, so it’s good.”