JEJARING PENANGGAP PERTAMA UNTUK PENANGANAN MAMALIA LAUT TERDAMPAR DI MALUKU TELAH DIBENTUK
Oleh: Sheyka Nugrahani Fadela (Marine Species Assistant WWF-Indonesia) dan Kanyadibya Cendana Prasetyo (Communication Officer WWF-Indonesia Inner Banda Arc Subseascape)
Di Indonesia ada 35 jenis mamalia laut (34 jenis cetacean dan satu jenis sirenian) yang merupakan satwa dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999. Mamalia laut mendapat status perlindungan penuh karena jumlah mereka semakin menurun akibat berbagai ancaman dan status mereka yang penting dalam rantai makanan maupun ekosistem laut. Selain itu, perairan Indonesia, khususnya Indonesia Timur, merupakan jalur migrasi yang penting bagi mamalia laut. Lebih dari sepertiga dari seluruh spesies paus dan lumba-lumba dapat dijumpai di laut Indonesia, termasuk paus biru (Balaenoptera musculus) yang langka. Walaupun Indonesia jelas memiliki tanggung jawab untuk melindungi spesies mamalia laut dari kepunahan, masyarakat umum tidak banyak mengetahui status perlindungan dan belum memahami pentingnya melindungi mamalia laut. Hal itu tercermin dalam diskusi peserta “Lokakarya Inisiasi Penanggap Pertama untuk Penanganan Mamalia Laut Terdampar” di Maluku Resort and Spa, Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah pada 7-9 Mei 2018 lalu.
Hampir semua peserta lokakarya pernah mendengar atau melihat langsung mamalia laut terdampar. Bahkan ada peserta yang mengaku pernah menyelamatkan duyung yang terjerat jaring nelayan dan melepaskannya kembali ke laut lepas. Dari penuturan para peserta, periode tahun 1970-an hingga 1990-an merupakan waktu di mana sebagian besar masyarakat masih menangkap dan memakan daging mamalia laut yang terdampar. Walaupun sejak tahun 2000-an kebiasaan ini semakin lama semakin hilang, mamalia laut yang terdampar belum mampu ditangani masyarakat secara tepat. Menurut data yang dikumpulkan oleh WWF-Indonesia, Whale Stranding Indonesia, dan Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (LPSPL) Sorong, sebagian besar dari 13 kejadian mamalia laut terdampar di wilayah Maluku sejak tahun 2003 pun tidak ditindaklanjuti secara lebih jauh.
Terlebih lagi, adanya kebiasaan masyarakat Maluku memanfaatkan daging mamalia laut menjadi tantangan bagi para pemateri selama lokakarya. Namun, Dwi Suprapti selaku Koordinator Konservasi Spesies Laut WWF-Indonesia dan salah satu pemateri dalam lokakarya, mengaku berusaha mencari jalan terbaik untuk memberikan pemahaman ke masyarakat. “Beberapa materi lokakarya disampaikan layaknya melakukan sosialisasi, misalnya jika mengkonsumsi mamalia laut maka kita akan terpapar risiko beberapa penyakit. Kita juga menyampaikan tentang kabar terbaru terkait peraturan perlindungan mamalia laut sebagai penegasan dari sisi hukum,” tutur Dwi.
Hasil diskusi dengan semua peserta di hari pertama lokakarya menjadi landasan bagi para pemateri untuk menjelaskan tentang mamalia laut dan kejadian terdamparnya secara umum, prosedur penanganan mamalia laut terdampar, serta mempraktikkan simulasi penanganan mamalia laut terdampar. Para peserta pun tampak antusias dengan penjelasan pemateri dan bersemangat dalam berpartisipasi di simulasi yang dilakukan di kolam renang hotel dan pantai di area Natsepa. Bahkan, menurut sebagian peserta, praktik langsung merupakan bagian yang paling seru karena mereka dapat mempraktikkan langsung teori-teori yang telah diajarkan. Mereka juga belajar berkoordinasi dengan para peserta lainnya supaya mereka siap dan tanggap dalam menghadapi kejadian mamalia laut terdampar di daerahnya.
Sony Sipasulta, anggota Pramuka Saka Bahari Ambon yang terpilih menjadi salah satu peserta terbaik berkomentar tentang praktik penanganan mamalia laut terdampar. “Praktik memang harus dilakukan secara serius, tapi setidaknya saya mencoba menetralisirnya dengan suasana yang santai. Sebagai orang muda saya bersyukur jika orang lain merasa nyaman akan hal itu,” terangnya. Rekan Sony, Ratna Radjaloa, juga berpendapat “Selama ini hanya tahu kejadian mamalia laut terdampar dari media sosial. Dengan adanya pelatihan ini kami jadi tahu bagaimana cara mengatasinya. Mungkin kami bisa berbagi ilmunya ke adik-adik kita karena kami Pramuka.”
Lokakarya ditutup hari ini ditutup dengan diskusi pembentukan Jejaring Penanggap Pertama (First Responder Network) untuk penanganan mamalia laut terdampar untuk wilayah Maluku. Walaupun masih belum resmi, jejaring tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk dukungan WWF-Indonesia sebagai mitra pelaksana Proyek USAID Sustainable Ecosystems Advanced (USAID SEA) pada upaya konservasi mamalia laut oleh Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (LPSPL) Sorong yang wilayah kerjanya juga mencakup Maluku.
Semoga kali ini tidak ada lagi mamalia laut terdampar yang terlantar!