ISU LINGKUNGAN DI MEDIA BANTU CEGAH KERUSAKAN ALAM
Oleh Idoputra Sitompul
WWF-Indonesia bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kupang kembali menggelar pelatihan kepada para jurnalis bertajuk “Better Journalism for Better Environment”. Kegiatan yang diikuti 15 jurnalis dari berbagai media di Kupang ini diadakan di Hotel Greenia, Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada 19-20 September 2014 lalu. Ini adalah kali kedua AJI Kupang bersama WWF-Indonesia, mengadakan pelatihan kepada para jurnalis, setelah kegiatan pertama pada bulan Juni 2014 lalu.
Selain dihadiri Ketua AJI Kota Kupang Simon Petrus Nilli, sejumlah narasumber yang hadir antara lain Small Island and Partnership Governance Leader WWF-Indonesia Muhammad Ridha Hakim, pakar hutan dan daerah aliran sungai (DAS) dari Universitas Nusa Cendana, Michael Riwu Kaho, dan kepala Dinas Kehutanan Nusa Tenggara Timur Ben Polo Maing.
Pada kesempatan ini, WWF-Indonesia menyajikan beberapa fakta dan materi terkait pengelolaan daerah aliran sungai dan hutan di Nusa Tenggara Timur, termasuk soal sampah, terumbu karang, dan tambang. WWF-Indonesia mengungkapkan, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk merehabilitasi hutan di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang kini dalam kondisi rusak.
"Terdapat 4 penyebab tidak langsung dari deforestasi dan degradasi hutan di Provinsi NTT yaitu perencanaan tata ruang tidak efektif, masalah-masalah terkait dengan tenurial, pengelolaan hutan belum efisien dan efektif, dan penegakan hukum yang lemah di sektor kehutanan dan lahan.," kata Ridha Hakim. Menurutnya, pada tahun 2013, jumlah lahan tidak kritis mencapai 830.999,88 hektare atau 17,15 persen. Sementara potensi kritis 1,237 juta lebih hektar atau 26,13 persen, agak kritis 1,701 juta lebih hektare atau 35,92 persen dan lahan kritis 947.763,68 hektare atau 20,02 persen. "Sedangkan lahan yang sangat kritis seluas 17.985,37 hektare atau 0,38 persen.Kemampuan pemerintah untuk merehabilitasi kawasan hutan baru mencapai 4.516 hektare atau rata-rata setiap tahun hanya seluas satu persen. Sementara lahan kritis dan sangat kritis jumlahnya sangat luas”, tambahnya. Untuk mengatasi luasan lahan yang kritis tersebut, dengan kebutuhan rata-rata tiap hektar, dibutuhkan dana Rp 7.582 triliun untuk reboisasi, dan komitmen penuh dari pemerintah daerah.
Dijelaskannya bahwa setiap satu hektare membutuhkan 400 pohon dengan jarak tanam empat kali lima meter dengan rata-rata dana yang dibutuhkan setiap hektare Rp 8 juta. "Dengan kemampuan pemerintah yang sangat terbatas, dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk merehabilitasi lahan kritis di NTT", kata Ridha Hakim.
Ridha Hakim menerangkan tata kelola hutan merupakan sistem yang bertumpuh pada tiga komponen utama yakni kerangka hukum, kebijakan dan kelembagaan, termasuk di dalamnya adalah proses pengambilan keputusan dan implementasi. Dia menyebutkan, sistem tata kelola kehutan harus mengacu pada enam prinsip, antara lain transparansi, partisipasi, akuntabilitas, kapasitas, dan efisiensi.
Sementara itu, Dr Michael Riwu Kaho menyampaikan, luas kawasan hutan yang berpohon di NTT sebesar 11,38 persen, dengan laju deforestasi 15.000 ha/tahun. "Sedangkan kemampuan untuk melakukan rehabilitasi hanya 3.000 ha/tahun. Karena itu, butuh komitmen dan peran serta seluruh masyarakat di provinsi kepuluan ini untuk kembali melihat hutan sebagai satu sistem kehidupan yang penting untuk dijaga dan dilestarikan," katanya.Dari luas kawasan hutan yang ada, sekitar 60 persen dari 1,8 juta hektare hutan di NTT bukan hutan budidaya tapi hutan ekosistem.
Diahrapkan dengan adanya pelatihan ini, media dapat membangun wacana terkait persoalan lingkungan agar masyarakat memahami pentingnya menjaga lingkungan, serta mendorong pemerintah melakukan respon terhadap persoalan-persoalan lingkungan.