HARIMAU SUMATERA, JANGAN SAMPAI PUNAH!
Oleh: Natalia T. Agnika dan Ciptanti Putri
Jika ditanya tentang harimau, kita pasti teringat pada kucing besar yang sosoknya kharismatik dan kuat. Sebagai predator puncak, keberadaan harimau mengindikasikan ekosistem hutan yang sehat dan ketersediaan sumber air yang cukup bagi seluruh makhluk hidup di kawasan tersebut.
Indonesia pernah memiliki tiga jenis harimau; Harimau Bali, Harimau Jawa, dan Harimau Sumatera. Sayangnya, Harimau Bali dan Harimau Jawa telah dinyatakan punah pada 1960-an akibat aktivitas perburuan dan penganiayaan terhadap satwa ini yang sudah kerap terjadi di zaman kolonial. Kini hanya tersisa Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), yang di habitat alaminya di Pulau Sumatera jumlahnya saat ini kurang dari 400 individu.
Karena itulah, perasaan senang menyeruak tatkala tim peneliti harimau WWF-Indonesia di Rimbang Baling, Riau, melihat gambar Harimau Sumatera tertangkap kamera jebak (camera trap). “Pola belang unik yang dimiliki oleh masing-masing individu harimau berfungsi layaknya sidik jari. Pola tersebut membantu kami memperkirakan jumlah populasi dan mengamati tingkah laku harimau yang tertangkap kamera pengawas,” jelas Sunarto, Species Specialist WWF-Indonesia.
Namun, hari demi hari kondisi Harimau Sumatera kian memprihatinkan. Faktanya tak hanya datang dari tim WWF-Indonesia di lapangan, tetapi juga dari peneliti lain yang berada di Sumatera yang mengungkapkan bahwa kamera jebak mereka sudah jarang sekali menangkap gambar satwa itu. Sebaliknya, yang makin sering ditemukan beberapa tahun terakhir ini adalah jerat harimau. Hal itu mengindikasikan tingginya tingkat perburuan Harimau Sumatera akibat maraknya permintaan atas seluruh bagian tubuh spesies ini di pasar ilegal.
Selain perburuan, hal utama yang menjadi ancaman bagi Harimau Sumatera adalah hilangnya habitat secara tak terkendali. “Kurang dari 25 tahun, lebih dari 12 juta hektare hutan hilang. Sekarang 40% dari luasan hutan yang tersisa juga terancam. Bahkan kawasan yang dilindungi pun tak aman lagi,” ungkap Sunarto. Laju perkembangan hutan industri, terutama untuk perkebunan kelapa sawit, ditengarai menjadi penyebab utama hilangnya hutan alami di Sumatera.
Akibat berkurangnya habitat salah satu satwa payung ini, kasus-kasus konflik harimau dan manusia pun meningkat. Harimau Sumatera yang dulunya hidup nyaman dan tenteram di kawasan-kawasan hutan lindung, kini dilaporkan terlihat di permukiman penduduk. Sejumlah kasus, seperti kasus harimau menyerang ternak, menyerang lahan pertanian dan perkebunan, melukai masyarakat, atau harimau terperangkap jerat hewan buruan, menunjukkan bahwa kehidupan satwa ini di habitat aslinya sudah terganggu.
Untuk memulihkan jumlah harimau di dunia, di Konferensi Tingkat Tinggi Harimau di St. Petersburg pada 2010 lalu, Indonesia dan 12 negara lainnya berkomitmen untuk menggandakan angka harimau. Program yang tercetus bernama “TX2” (Tiger X2), dengan target konservasi ambisius dan visioner: menambah kelipatan jumlah harimau sampai akhir 2022, tahun Harimau mendatang.
“Saat ini kami melakukan terobosan penelitian tentang Harimau Sumatera di Sumatera Tengah dengan menggunakan kamera jebak (camera trap) dalam memperkirakan jumlah populasi, habitat dan distribusi untuk mengidentifikasi koridor satwa liar yang membutuhkan perlindungan,” tutur Sunarto. Bekerja sama dengan pemerintah lokal, industri yang mengancam habitat harimau, organisasi konservasi lain, serta masyarakat lokal, tim WWF-Indonesia di lapangan tak lelah melakukan upaya-upaya penyelamatan Harimau Sumatera dari kepunahan. WWF juga menurunkan tim patroli anti-perburuan dan unit yang bekerja untuk mengurangi konflik manusia-harimau di masyarakat lokal.
“Selain melalui penegakan hukum yang tegas, hal pertama yang menjadi prioritas di Sumatera adalah mengamankan wilayah hutan alam dan kawasan lindung sebagai habitat Harimau Sumatera. Kita harus memastikan area yang lebih luas dengan cara manajemen pemanfaatan lahan secara berkelanjutan,” tutup Sunarto.
Masyarakat perkotaan dapat pula berperan aktif dalam upaya konservasi Harimau Sumatera. Salah satunya, dengan penerapan gaya hidup hijau yang terbukti ramah lingkungan dan mampu mencegah berkurangnya luasan hutan yang dialihfungsikan sebagai lahan industri dan produksi. Pastikan produk yang kita konsumsi merupakan produk ramah lingkungan, yang memiliki manajemen pemanfaatan hutan secara berkelanjutan dan sudah bersertifikat Forest Stewardship Council (FSC). Berhematlah dalam penggunaan kertas dan tisu. Contoh-contoh lain dari gaya hidup hijau dapat dipelajari dengan cara yang menyenangkan lewat seri stiker “Green Lifestyle WWF” yang dapat diunggah di Blackberry Messenger Shop.
Berbagai program konservasi Harimau Sumatera yang dilakukan WWF-Indonesia pun dapat Anda dukung. Salah satunya, dengan menjadi Tiger Warrior di program ""WWF Warrior”. Mari kita wujudkan bertambahnya kelipatan jumlah harimau sampai akhir 2022 mendatang, demi keseimbangan ekosistem dan bumi yang lebih baik.