FASDA DAN MEMBANGUN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT RAKYAT LESTARI
Pulau Kalimantan mengalami perkembangan dalam industri perkebunan kelapa sawit. Di kawasan Heart of Borneo (HoB) Indonesia, pihak-pihak terkait terus mendorong adanya pengelolaan industri perkebunanan kelapa sawit yang berkelanjutan sesuai dengan prinsip inisiatif HoB yaitu pembangunan berkelanjutan. Dalam proses implementasi program pembangunan berkelanjutan ini, penguatan terhadap petani kelapa sawit lokal diperlukan sebagai dukungan pengelolaan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Adapun industri kelapa sawit di Indonesia dibagi menjadi dua tipe kepemilikan (1) perusahaan besar (pemerintah atau swasta) yang mengontrol lahan sampai dengan sepuluh ribu hektar atau lebih, pembangunan kebun perusahaan dikenal dengan pembangunan kebun “inti”. (2) Smallholder (petani kelapa sawit) adalah petani yang mengembangkan kebun kelapa sawit umumnya dibawaah 10 hektar. Smallholder ini dibagi menjadi (a) Scheme smallholder atau dikenal dengan petani plasma, adalah petani yang pengelolaan kebunnya terkait dengan management perusahaan dan (b) Independent smallholder atau dikenal dengan petani kelapa sawit swadaya dimana kebun petani swadaya biasa dibangun disekitar kebun inti dan plasma. Independent smallholder diartikan sebagai petani yang menanam kelapa sawit dicirikan dengan dengan produksi bersama tumbuhan subsisten lainnya, keluarga menyediakan sebagian besar tenaga kerja dan area yang ditanami kelapa sawit bisanya berukuran di bawah 25 hektar.
Dalam konteks Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO), petani independen dengan beragam situasinya dicirikan oleh: kebebasan untuk memilih dan menggunakan lahannya, atau tumbuhan apa yang ditanam dan bagaimana mengelolanya, mengatur mengelola dan mendanai kebunnya sendiri dan tidak terikat kontrak dengan pabrik mana pun atau asosiasi mana pun.
Nilai Konservasi Tinggi (HCVF) dalan skema sertifikasi RSPO tidak dapat dirubah/konversi menjadi kebun sawit. Dengan partner seperti Badan Penyuluh, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Badan Lingkungan Hidup Daerah, NGO seperti Sawit Watch/SPKS, FASDA telah berhasil mendorong proses percepatan diterapkannya Surat Tanda Daftar Budidaya Perkebunan (STD-B)iii , pembentukan kelompok tani sawit swadaya di Kabupaten Sintang dan penyusunan buku pedoman teknis budidaya untuk petani. Saat ini fokus kegiatan berada di Kabupaten Sintang dan kedepan program akan diperluas ke Kabupaten Kapuas Hulu dan Melawi yang merupakan wilayah HoB.
Menindak lanjuti wacana diatas, selanjutnya di Sintang dilakukan Penguatan petani kelapa sawit swadaya oleh Forum Fasilitator Daerah (FASDA) kelapa sawit secara kolaboratif yang dilakukan oleh para pihak melalui forum dialog bulan Mei 2013 lalu, di Desa Binjai Hilir, Kecamatan Binjai Hulu, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Dalam dialog petani kelapa sawit swadaya, hadir berbagai pemangku kepentingan yang terdiri dari FASDA Sawit Lestari, WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sintang, Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian, Perikanan, Kehutanan, dan Ketahanan Pangan Kabupaten Sintang, PT. CIMB Niaga, serta masyarakat petani kelapa sawit swadaya dari 7 desa.
Dari hasil inventarisasi yang dilakukan WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat bersama dengan FASDA selama kurun waktu 2012 – 2013, petani kelapa sawit swadaya di Kabupaten Sintang semakin tahun menunjukkan trend kenaikan. Setidaknya berdasarkan hasil studi bulan Januari – Maret tahun 2013 oleh FASDA Sawit Lestari di dua kecamatan di Kabupaten Sintang, yakni Kecamatan Sungai Tebelian dan Kecamatan Binjai Hulu, tercatat sebanyak 235 petani sawit swadaya dengan luasan sebesar 1.014,45 hektar.
Secara umum petani swadaya ini belum mendapatkan perhatian dari para pihak. Hal ini tergambar dari banyaknya persoalan yang dihadapi oleh para petani tersebut, misalnya manajemen kebun yang tidak teratur, bibit yang tidak jelas asal usulnya, dan lain-lain. Dan yang krusial adalah rendahnya pemahaman pada pengelolaan aspek lingkungan.
“Perkembangan petani sawit swadaya yang tidak didampingi ini dikhawatirkan akan membuka kawasan lindung dan atau kawasan yang bernilai konservasi tinggi. Maka dari itu, perlu untuk dilakukan pendampingan terhadap keberadaan petani swadaya. Salah satu upaya yang coba dilakukan saat ini adalah melalui penguatan terhadap fasilitator daerah yang sudah dibentuk dan ditunjuk itu sendiri”, papar Haryono, MTI for Sustainable Palm Oil Officer, WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat.
Sebelumnya kegiatan serupa juga telah dilaksanakan di Desa Merarai Satu, Kecamatan Sungai Tebelian Kabupaten Sintang pada tanggal 11 Mei 2013 dan dihadiri sekitar 50 orang petani sawit swadaya dari 6 desa. Dua kegiatan tersebut merupakan realisasi dari proses penentuan destinasi pilot project (proyek percontohan) pendampingan petani sawit swadaya dari salah satu program kerja FASDA Sawit Lestari.
“FASDA Sawit Lestari ini merupakan suatu perkumpulan individu-individu yang berkolaborasi untuk memperjuangkan kemandirian petani sawit swadaya di Kabupaten Sintang. FASDA sendiri merupakan organisasi yang bersifat non profit, sosial kemasyarakatan dan independen yang berdiri berdasarkan Akta Notaris No. 02 pada tanggal 05 Desember 2012”, jelas Subarjo, Ketua FASDA Sawit Lestari.
Beberapa kegiatan lain dari FASDA yang telah dilaksanakan antara lain, identifikasi petani sawit swadaya di dua kecamatan Kabupaten Sintang, studi banding untuk anggota FASDA tentang proses sertifikasi RSPO bagi petani swadaya di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau, dialog teknis implementasi STD-B di Kabupaten Sintang, ToT sistem sertifikasi kelompok tani dalam skema RSPO, serta pembuatan buku pedoman “Teknis Budidaya Kelapa Sawit Untuk Petani”.
Disampaikan oleh Mintew, Camat Binjai Hulu bahwa pihak kecamatan mendukung sepenuhnya program FASDA Sawit Lestari. “Kami berharap petani kelapa sawit swadaya di Kecamatan Binjai Hulu dapat mengelola kebunnya dengan sistematis, sehingga meningkat kemakmurannya”, kata Mintew.
(Field Officer Sintang-Melawi/Dedi Wahyudy)