KEBERLANJUTAN, SOLUSI TANTANGAN PERKELAPASAWITAN
Oleh: Siti Sadida Hafsyah, Oil Palm Adaptive Landscape Consultant
WWF-Indonesia menyelenggarakan diskusi “Palm Oil Update” dengan mengundang publik, termasuk para pemangku kepentingan sektor kelapa sawit pada tanggal 15 Juni 2017 di Ruang Jawa dan Sumatera, Hotel Shangri-la Jakarta. Peran sektor kelapa sawit yang cukup besar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan hal yang melatarbelakangi terselanggaranya diskusi ini, selain dari isu-isu lingkungan dan sosial yang menjadi tantangan saat ini.
Berarah Dalam Kesamaan
Tentu sudah ada upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan Global untuk menghadapi tantangan tersebut. Salah satunya adalah sistem sertifikasi ISPO dan RSPO yang merupakan pedoman perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
Diskusi ini membahas informasi terkini terkait isu dan tantangan yang dihadapi sektor perkebunan kelapa sawit serta inovasi dan inisiatif kebijakan baru yang sedang berjalan untuk mendorong sektor perkebunan kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan.
Menyingkap Dorongan Kebijakan
Ada peningkatan ISPO yang berpedoman pada Peraturan Kementerian Pertanian ke Peraturan Presiden. Ketika selama ini pihak yang wajib melakukan sertifikasi ISPO adalah perusahaan yang teritegrasi, perkebunan, dan pabrik. Dalam Perpres yang sedang disusun semua pihak wajib bersertifikat ISPO.
Willistra Danny, Asisten Deputi Perkebunan dan Holtikultura dari Kemenko Perekonomian juga menuturkan “Perpres menerapkan multistakeholder approach, melibatkan berbagai pihak termasuk independent monitoring untuk berperan dalam mengawasi mekanisme sistem ISPO dan diberi kewenangan untuk memberikan laporannya”.
Prinsip keberlanjutan sangat penting diterapkan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di sektor perkebunan kelapa sawit. Tidak dapat ditampikkan bahwa salah satu isu perkebunan kelapa sawit yaitu mengurangi keberadaan hutan. Kawasan hutan yang bisa digunakan sebagai lahan perkebunan adalah kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi yang diusulkan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL).
Ardi Risman, Deputi Direktur Pencegahan dan Pengamanan Hutan Region Sumatera, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan, “Apabila tidak dilakukan pengusulan APL maka pembukaan hutan ini dinilai melanggar hukum berdasarkan UU nomor 18 tahun 2013. Berlaku untuk perorangan dan koorporasi yang terindikasi menerima TBS (Tandan Buah Segar) berasal dari kebun sawit dalam kawasan hutan/ ilegal.”
Alternatif solusi lainnya adalah Kebijakan Perhutanan Sosial dalam Peraturan Menteri nomor 83 tahun 2016. Atau Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang salah satunya diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan di sekitar Taman Nasional Tesso Nillo. Ada pula RUU Perkelapasawitan yang menawarkan terobosan yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi industri kelapa sawit dan mendorong agar aspek sustainability di Indonesia mendapat pengakuan secara internasional.
Penguatan perlindungan terhadap lingkungan juga didukung dengan PP 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Di mana salah satu poinnya yaitu kriteria kerusakan ekosistem gambut pada fungsi budidaya adalah tinggi muka air di bawah 40 cm pada titik-titik pentaatan yang akan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Gerakan Pemangku Kepentingan
Para pemangku kepentingan tidak diam saja melihat berbagai permasalahan yang terjadi. Pihak swasta juga mengambil langkah maju. Sebut saja Unilever yang menargetkan semua produk yang menggunakan produk turunan kelapa sawit, benar menggunakan 100% Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) pada tahun 2020 dalam proses produksinya. Atau Golden Agri Resources dengan program innovative financing-nya.
Insan Safaat dari Golden Agri Resources menjelaskan bahwa “program innovative financing adalah program replanting. Kami memberikan biaya kompensasi pada petani ketika tanaman tumbang sebesar Rp 500,000,-/ha/bulan selama 48 bulan. Biaya ini akan masuk ke fasilitas kredit yang akan dibayarkan oleh bank melalui koperasi di tahun ke-5. GAR membantu membangun kebun kelapa sawit dalam penyediaan bibit, pemupukan, panen, dan lain-lain. Sasarannya yaitu smallholders, khususnya petani swadaya agar produktivitas dan pendapatannya meningkat”.
Terkait dengan peningkatan produktivitas kelapa sawit, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) melakukan pemberdayaan petani serta merencanakan program peremajaan dan sarana produksi pertanian. Regulasi teknisnya akan diatur oleh Kementerian Pertanian. Berkaitan dengan pendanaan yang bisa didapatkan oleh petani, Mansuetus Darto dari Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit menyatakan bahwa dua aspek yang perlu diperhatikan agar petani dapat menerapkan prinsip keberlanjutan adalah aspek legalitas dan kelembagaan.
Bersama Melangkah ke Depan
Pihak non-governmental organization juga mendukung penerapan aspek keberlanjutan. WWF membantu RSPO membangun traceability dengan melakukan riset terkait sistem yang sudah ada di lapangan. Bekerjasama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melahirkan komitmen pembiayaan ramah lingkungan. Serta IDH mendorong kerjasama antara pemerintah, pelaku usaha, dan LSM untuk mengidentifikasi masalah dan solusi/ kesepakatan bersama melalui upaya pendekatan jurisdiksi.
Diskusi ini mendapat apresiasi, salah satunya disampaikan oleh Derom Bangun, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI). Diskusi “Palm Oil Update” dinilai dapat memicu timbulnya kerjasama yang lebih formal antar berbagai pihak untuk memelihara kelapa sawit yang berkelanjutan dalam upaya memakmurkan Indonesia.