WIKA RUMBIAK, MENEROBOS TRADISI UNTUK MELINDUNGI WILAYAH ADAT MASYARAKAT KAMPUNG
Oleh: Ade Erawati Sangadji (Learning Centre & Marketing Communication Coordinator Program Papua)
Papua bukan saja kaya akan sumber daya alamnya, melainkan juga budaya. Keragaman suku di Papua menggambarkan betapa kaya tradisi adat istiadatnya. Masyarakat kampung pun mulai menyadari pentingnya perlindungan terhadap wilayah adat tersebut. Salah satu bentuk perlindungan yang mereka lakukan adalah melakukan pemetaan partisipatif atas wilayah adat mereka. Peta tersebut bukan saja sebagai identitas budaya ataupun alat negosiasi untuk menyinergikan program pembangunan di tingkat kampung, tetapi juga meminimalisir konflik agraria antar suku yang berpotensi terjadi di masyarakat adat.
Di beberapa tempat di Papua, sebut saja di wilayah Kabupaten Yahukimo, khususnya di Distrik Kurima, pemetaan partisipatif masyarakat adat dilakukan oleh kaum laki-laki saja. Kaum perempuan tidak diperkenankan untuk menyampaikan informasi terkait tempat-tempat keramat kepada pihak luar. Beberapa tempat keramat pun hanya diketahui oleh kaum laki-laki. Seluruh proses pemetaan mulai dari menggambar peta mental (suatu gambaran yang dihasilkan dari pikiran seseorang terhadap suatu objek –Red) hingga segala informasi di dalamnya dilakukan oleh kaum laki-laki.
“Kehadiran perempuan dalam proses pemetaan saat itu adalah hal yang tabu”, tutur Wika Avelino Rumbiak, seorang perempuan keturunan suku Biak yang saat ini menjabat sebagai Regional Spatial Plan Coordinator. Ia terlibat menjadi fasilitator dalam kegiatan pemetaan wilayah adat di Distrik Kurima, Kabupaten Yahukimo. Tugasnya saat itu membantu masyarakat memetakan wilayah kampungnya, menggali informasi sosial dan kemudian melakukan validasi dengan ground check ke lapangan. Sebelumnya ia tidak mengetahui akan tradisi tersebut. Begitupun masyarakat seakan-akan belum menyadari keberadaannya sebagai satu-satunya perempuan yang terlibat dalam rangkaian pemetaan tersebut. Masyarakat adat baru menyadarinya saat akan pengesahan peta, mereka langsung mengajukan keberatan. Peta tersebut hanya bisa disahkan setelah melalui upacara adat atau ritual semacam “menolak sial” karena sudah melibatkan perempuan dalam prosesnya.
Wika sapaan sehari-hari perempuan kelahiran Yogyakarta, 14 Februari 1980 ini memiliki banyak kisah tentang keterlibatannya dalam proses pemetaan masyarakat. Betapa tidak, ia telah terlibat dalam pemetaan yang dilakukan WWF-Indonesia Program Papua sejak 2003. “Saat itu saya magang tiga bulan, dan dilanjutkan menjadi tenaga honor satu setengah tahun dan terlibat dalam kegiatan digitasi orde sungai dari citra landsat di Kabupaten Merauke,” kenang Wika sambil tersenyum. Untuk kegiatan pemetaan partisipatif, di Distrik Kurima adalah debutnya yang pertama. Naik turun gunung, berjalan kaki masuk keluar hutan, menyeberang sungai, menginap di honai dan rumah penduduk sudah biasa dilakukannya saat melakukan validasi dan ground check.
“Ada kesenangan tersendiri saat bekerja dengan masyarakat dalam membuat peta. Melihat masyarakat adat yang sudah bisa menginterpretasikan peta citra landsat untuk pertama kalinya dan penampakan Bumi, seperti sungai, gunung, sumber mata air, tempat berburu, sangat mengharukan,” tuturnya. Perempuan yang lulus dari program pasca sarjana magister Pengelolaan Lingkungan Universitas Gajah Mada hanya dalam 13 bulan ini pun melanjutkan, “Masalah komunikasi masih kerap dijumpai, seringkali kami menggunakan bahasa isyarat. Banyak juga dari mereka yang tidak bersekolah dan buta huruf, tetapi tangan-tangan mereka dengan lincah dan cekatan menggambar peta mental mereka. Mereka sangat memahami apa yang mereka lakukan.”
Wika menyadari bahwa ia banyak belajar dari masyarakat adat dan itu adalah ilmu yang sangat berharga baginya. Ini pula yang membuat perempuan yang hobi nonton ini menukar dua tahun masa kuliah S3-nya untuk lebih jauh terlibat dalam pemetaan di Kabupaten Asmat. Kampung Yakapis, Kabupaten Asmat memiliki cerita sendiri bagi Wika. “Rumah jew, rumah bujang suku Asmat, yang hanya boleh dikunjungi, ditempati oleh kaum laki-laki dijadikan rumah diskusi pemetaan partisipatif dan untuk itu saya pun sampai menginap di dalamnya,” ujarnya. “Berbeda dengan suku di wilayah dataran tinggi di Distrik Kurima, di Asmat, tidak ada semacam upacara atau ritual tertentu karena keterlibatan perempuan. Di jew saya diberi tempat di bagian pojok dekat tungku, mereka memastikan saya nyaman dari gangguan nyamuk ataupun dinginnya malam, dan saya sangat tersanjung,” kenang Wika yang akhirnya menyelesaikan studi S3 Ilmu Lingkungan Fakultas Geografi UGM tahun 2017 yang lalu.
Saat ini Provinsi Papua telah mengadopsi ruang kelola rakyat berdasarkan pemetaan partisipatif di tingkat kampung dalam kebijakan tata ruang di tingkat provinsi. Namun tidak serta merta tugas telah selesai. Masih ada banyak hal yang dibenahi dan dikawal, tetapi Wika optimis bahwa masyarakat adat Papua memiliki posisi tawar dalam pengelolaan wilayah adat mereka.