DEKLARASI HARI SUNGAI NASIONAL
Ketika 27 Juli ditetapkan sebagai Hari Sungai Nasional oleh pemerintah pada tahun 2011 lalu, gempitanya tidak serta merta disambut hangat oleh segenap tumpah darah Indonesia. Mengapa? Karena sungai, sebagaimana lautan, memang telah lama dipunggungi laju rutinitas kehidupan yang lebih banyak memandang daratan sebagai tempat utama.
Sungai yang punya peranan penting di masa lalu, baik dalam etape migrasi manusia, lalu lintas perdagangan rempah yang mahsyur, tempat ritual peribadatan, sumber otoritas hulu dan hilir, serta benteng pertahanan pada masa perang gerilya, semakin tergerus fungsinya di masa kini. Sungai acapkali diperlakukan sebagai tempat sampah raksasa, tempat bermuaranya segala yang terbuang dari kehidupan manusia.
Padahal selain nilai sejarahnya, sungai sangat penting sebagai area konservasi. Sungai merupakan sumber mata air krusial untuk memastikan keberlangsungan makhluk hidup, termasuk manusia. Sungai adalah penyedia emas putih (air) yang nilainya akan semakin mahal ketimbang emas logam dan emas hitam (minyak bumi) di era mendatang. Bahkan diprediksi, sumber-sumber air akan menjadi penyebab perebutan kekuasaan.
Menyadari pentingnya menempatkan kembali sungai sebagai “one of the most critically locus to conserve”, WWF-Indonesia Program Rimba, Upper Kampar, dan Tesso Nilo Landscape, berkolaborasi dengan 28 komunitas di Provinsi Riau mengajak masyarakat untuk kembali “menengok” sungai sebagai urat nadi yang penting bagi kehidupan sehari-hari. Momen 27 Juli 2019 yang lalu diperingati dengan berbagai kegiatan guna mengajak semua orang merawat kepeduliannya terhadap sungai.
Komunitas tersebut terdiri dari berbagai Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) fakultas dan perguruan tinggi di Pekanbaru, kelompok budaya dan seni, perkumpulan para petualang alam dan volunteer WWF (River Ambassador, Tiger Heart dan Earth Hour). Mereka menyatukan diri dalam Koalisi Masyarakat Peduli Sungai.
Eko Handyko, ketua panitia dari Pondok Belantara (salah satu komunitas yang bergabung) mengatakan bahwa peringatan Hari Sungai kali ini adalah yang pertama di Riau dan akan dilaksanakan secara berkelanjutan setiap tahun. “Riau adalah provinsi sungai. Toponimi Riau berasal dari kata Rio/Riaouu yang artinya sungai atau tempat yang ramai. Karena memang demikianlah di masa lalu, sungai adalah pusat aktivitas manusia dan makhluk hidup lain. Riau adalah provinsi yang memiliki empat sungai besar (Siak, Indragiri, Rokan, dan Kampar). Maka sewajarnya jika Riau menjadi yang terdepan dalam gerak mengembalikan sungai sebagai bagian penting kehidupan masyarakat,” ujar aktivis yang juga pimpinan Slankers negeri Lancang Kuning ini.
Sementara itu, Kunni Masrohanti, ketua pengarah dari Komunitas Rumah Sunting berpandangan bahwa sudah banyak kearifan lokal masyarakat akan sungai yang punah. Padahal nilai-nilai tua warisan leluhur yang memuat relasi harmonis antara alam dan manusia harusnya dilestarikan dan jadi panduan dalam menjaga keseimbangan ekologis.
Kegiatan perayaan hari sungai ini digelar seharian penuh di Rumah Singgah Tuan Kadi, salah satu destinasi sejarah budaya di Pekanbaru yang terletak persis di tepi Sungai Siak. Sejak pagi, puluhan tenda warna-warni memenuhi area camping ground di halaman lokasi acara. Setelah salat Zuhur dan makan siang bersama, acara diisi dengan diskusi bertema “Kembali ke Riau (Sungai)”. Diskusi ini menghasilkan sebuah teks deklarasi berisi gagasan dan poin-poin rekomendasi kepada Gubernur Riau yang mengusung “Riau Hijau” sebagai visinya.
Zainul Ikhwan, sang pemantik diskusi mengatakan bahwa deklarasi tersebut adalah bentuk dukungan penuh pada siapa pun, baik itu pemerintah, swasta, individu, dan komunitas yang berkomitmen melakukan upaya-upaya pemulihan terhadap empat sungai di Riau yang dalam kondisi kritis. Naskah deklarasi kemudian diserahkan langsung kepada Syamsuar, Gubernur Riau yang datang menghadiri malam puncak perayaan Hari Sungai tersebut. Sebagai simbol, sebuah spanduk raksasa bertuliskan “Sungai Urat Nadi Kehidupan Bangsa” dibentangkan di sisi jembatan III Leighton.
Berbagai kegiatan juga turut mewarnai peringatan Hari Sungai, di antaranya penanaman 500 bibit bunga sumbangan dari Dinas Pariwisata Kota Pekanbaru, lomba mewarnai yang diikuti puluhan siswa SD yang tinggal di sekitar lokasi, lomba foto dengan caption terbaik yang diunggah ke media sosial, gelaran pojok baca, dan penandatangan kain putih berisi komitmen menjaga sungai oleh masyarakat sekitar.
Puncak acara peringatan Hari Sungai pada malam harinya dipenuhi oleh masyarakat. Mereka antusias menyaksikan berbagai pentas seni dengan panggung pertunjukan yang didesain berkonsep perahu Melayu untuk menguatkan pesan “kembali ke Riau (sungai). Berbagai pertunjukan seni dan budaya digelar, antara lain kesenian tradisi lisan Oguang dari Kabupaten Kampar, Nyanyi Panjang, dan Zapin Gambus dari Bengkalis. Sedangkan generasi milenial menyuguhkan musik reggae, pop konservasi, puisi, dan pertunjukan teatrikal.
Fungsi sungai haruslah dikembalikan memakai filosofi sungai itu sendiri, yaitu gotong royong. Sungai hidup karena bukit dan gunung yang menyediakan mata airnya. Hutan yang memastikan keberlanjutan suplai debitnya. Hujan yang mengatur mekanisme siklus air. Manusia yang menjaga dan memanfaatkannya. Flora dan fauna yang memberinya hidup. Maka memulihkan sungai haruslah upaya bersama dari segenap pihak dengan seluruh sumber daya yang ada, hasil karya dan karsa manusia, baik yang tradisional maupun yang modern.