CEGAH ANCAMAN PARIWISATA MASSAL DI SULTRA DENGAN PANDUAN WISATA BAHARI RAMAH LINGKUNGAN (BEEP)
Oleh: Martina Rahmadani, Responsible Marine Tourism Officer WWF Program SESS
Badan Pengembangan Wilayah pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) telah mengidentifikasi 68 lokasi terumbu karang yang terdapat di hampir semua pulau di daerah yang dijuluki Bumi Anoa ini.
Taman Nasional Wakatobi, Taman Wisata Laut Teluk Lasolo, Kepulauan Padamarang, juga sebagian di muara Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai serta Pulau Labengki, Pulau Hari, dan Pulau Bokori adalah deretan destinasi pariwisata bahari yang menawarkan pesona terumbu karang. Mengunjungi tempat-tempat tersebut, wisatawan akan dimanjakan dengan suguhan pemandangan alam yang menawan sembari menikmati aktivitas selam permukaan (snorkeling), selam (diving), hingga memancing.
Namun, seiring meningkatnya kunjungan wisatawan pada lokasi pariwisata bahari, potensi ini diperkirakan akan tergerus oleh tekanan aktivitas manusia. Misalnya, munculnya fenomena pariwisata massal (mass tourism) yang sudah terjadi di banyak destinasi global, dimana angka kunjungan wisatawan mulai melebihi daya tampung ekosistem pariwisata di tempat itu.
Istilah ini mengacu pada destinasi dimana turis, tuan rumah, dan warga lokalnya mulai merasakan banyaknya kunjungan wisatawan sehingga kualitas kehidupan serta pengalaman di destinasi itu telah menurun di luar batas yang bisa diterima.
Pariwisata massal telah terjadi di banyak tempat seperti Mallorca dan Barcelona di Spanyol, New Orleans di AS, Santorini di Yunani, dan Reykjavik di Islandia. Pada Mei 2016, pemerintah Thailand mengumumkan untuk menutup sementara Pulau Koh Tachai, salah satu destinasi penyelaman dengan pantai yang indah di negara itu. Pasalnya, lingkungan dan sumber daya alam Pulau Koh Tachai mengalami kerusakan dan degradasi akibat banyaknya turis. Saat ditutup, pemerintah setempat melakukan revitalisasi terumbu karang dan ekosistem lautnya.
Secara global, masalahnya mulai dari sampah dan limbah, fasilitas umum yang rusak, kerusakan situs bersejarah dan lingkungan alam, hingga mengganggu kenyamanan warga lokal. Bahkan, ada sejumlah kasus dimana para wisatawan mengeluhkan kelakukan rombongan turis lainnya dari negara tertentu.
Di Indonesia, rusaknya tiga stasiun pengamatan terumbu karang di kawasan Gili Trawangan, Lombok Barat – menjadi potret pengelolaan pariwisata yang tidak bertanggung jawab, salah satunya adalah akibat mass tourism.
Menurut Suharsono–1998, kondisi tutupan terumbu karang di kawasan Gili Trawangan pada tahun 1990 masih cukup tinggi , berkisar antara 60–80 persen. Namun, dua belas tahun kemudian dilaporkan, dari tiga stasiun pengamatan hanya ada satu stasiun yang kondisi karangnya masih baik dengan tutupan 55 persen. Ini menunjukkan, aktivitas wisatawan dari tahun ke tahun telah mengakibatkan kerusakan yang lumayan besar.
Inisiatif mendorong pengelolaan pariwisata yang bertangung jawab mulai dilakukan WWF-Indonesia dengan mengenalkan Panduan Wisata Bahari Ramah Lingkungan. Panduan ini dikenal dengan Best Environmental Equitable Practices (BEEPs) yang ditargetkan kepada pelaku pariwisata, komunitas, dan pemerintah dengan mendorong sebanyak mungkin individual agar berpartisipasi mengurangi tekanan aktivitas manusia terhadap destinasi wisata di laut. Salah satunya melalui pelatihan bagi wartawan di Kota Kendari, Ibukota Provinsi Sultra yang dilaksanakan di Pulau Bokori (4/11) lalu.