BURHAN, PENJAGA MANGROVE DESA GOLO SEPANG, MANGGARAI BARAT
Di Desa Golo Sepang, Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, ada seorang pegiat lingkungan yang namanya telah melegenda di kalangan nelayan dan pencari siput, kerang, serta kepiting. Pak Burhan, begitu ia dikenal, telah lebih dari 20 tahun mendedikasikan hidupnya untuk merehabilitasi mangrove, benteng alami yang tak hanya melindungi pantai dari erosi tapi juga menjadi sumber penghidupan bagi banyak warga desa.
Burhan menyadari pentingnya mangrove sejak melihat dampak negatif dari penebangan mangrove di masa lalu. Pohon-pohon mangrove ditebang untuk dijadikan bahan bangunan rumah, kapal, tambak, bahkan jembatan oleh masyarakat setempat. Tak disadari, penebangan tersebut menghancurkan ekosistem yang kaya akan kehidupan. "Dulu, kita sering melihat penebangan mangrove tanpa berpikir panjang. Kita hanya lihat kayunya bagus buat bangunan. Tapi lama-lama, kerang, kepiting, dan siput makin susah dicari," ujar Burhan.
Kegelisahan ini mendorong Burhan untuk memulai aksi rehabilitasi. Ia mulai menanam bibit-bibit mangrove di sepanjang pesisir desa, meski pada awalnya usahanya dipandang sebelah mata. "Banyak yang bilang, buat apa tanam mangrove, kan nggak langsung ada hasilnya," ujarnya. Namun, Burhan tetap teguh. Ia yakin bahwa mangrove adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik, bukan hanya untuk lingkungan, tetapi juga bagi kesejahteraan masyarakat.
Sejak awal, Burhan melihat pentingnya melibatkan masyarakat dalam upaya konservasi. Dengan prinsip bahwa kelestarian lingkungan dapat berjalan beriringan dengan kesejahteraan masyarakat, ia membentuk kelompok tani dan nelayan untuk bersama-sama menjaga kawasan mangrove. Melalui pendekatan Other Effective Conservation Measures (OECM), kawasan-kawasan yang dikelola secara adat, komunitas, atau lembaga lokal dijadikan sebagai area perlindungan yang efektif di luar sistem kawasan konservasi formal seperti taman nasional. Peran Burhan dalam pengelolaan mangrove dengan OECM menjadi contoh nyata bagaimana pendekatan berbasis komunitas mampu menghadapi tantangan konservasi yang kompleks, sambil tetap memperhatikan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat setempat.
Selama dua dekade, Burhan telah berhasil mengajak masyarakat sekitar untuk ikut serta dalam program rehabilitasi mangrove. Bersama dengan kelompok nelayan dan warga desa, ia membentuk kelompok kerja untuk menanam dan merawat mangrove yang disebut Kelompok Alam Sejati. Berdasarkan data dari BPDAS Benain Noelmina tahun 2006, luas ekosistem mangrove di Kecamatan Boleng tercatat sebesar 471,36 hektar, dengan 356,66 hektar diantaranya berada di Desa Golo Sepang. Pada tahun 2023, luasan mangrove di Desa Golo Sepang meningkat menjadi 409,66 hektar (BPDAS Benain Noelmina 2023).
Peningkatan ini merupakan hasil dari upaya rehabilitasi, termasuk penanaman mangrove yang dilakukan di area seluas 53 hektar yang ilakukan secara kolaborasi dari pemerintah, sektor swasta, dan LSM. Program ini menjadi bagian penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir dan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim serta perlindungan habitat keanekaragaman hayati. Kini, kawasan pesisir Golo Sepang kembali hijau dengan hamparan mangrove yang subur, menjadi rumah bagi berbagai jenis biota laut yang dulu nyaris sulit dilihat akibat degradasi ekosistem.
Namun, perjuangan Burhan tidak berhenti di situ. Ancaman penebangan mangrove masih ada, terutama karena kebutuhan masyarakat akan bahan bangunan. Burhan terus berupaya memberikan edukasi kepada warga mengenai pentingnya menjaga ekosistem mangrove. Ia bekerja sama dengan pihak pemerintah dan Yayasan WWF Indonesia untuk mencari solusi yang berkelanjutan, seperti menyediakan alternatif mata pencahariaan yang ramah lingkungan serta meningkatkan kesadaran warga tentang manfaat jangka panjang menjaga mangrove.
Pada tahun 2023 lalu, Burhan dilibatkan sebagai Narasumber untuk Webinar Nasional memperingati Hari Mangrove Sedunia. Lalu beliau juga menjadi praktisi yang menularkan pengetahuan dan wawasannya di Desa Tanjung Boleng khususnya Dusun Rangko.
Bersama WWF-Indonesia melakukan program penyadartahuan masyarakat dan rehabilitasi mangrove seluas 0,64 Ha atau 2000 bibit pohon mangrove yang ditanam. Dalam beberapa kesempatan juga Burhan terlibat menjadi Narasumber salah satunya di Desa Seraya Marannu untuk mengedukasi masyarakat dan penanaman mangrove.
WWF-Indonesia telah melakukan pemantauan untuk menilai kondisi ekosistem mangrove di Kecamatan Boleng dan sekitarnya. Berdasarkan penilaian aspek biofosik serta sosial ekonomi menunjukan rata-rata sebesar 81,4 dan aspek sosek sebesar 92,9. Jika dirata-ratakan dari 27 area potensial tersebut masuk kategori sangat sesuai (77,9-100) berdasarkan Nurdin Y, et.al, 2022.
Sebagai tindak lanjut, WWF-Indonesia melakukan pengambilan data potensi lahan yang dapat direhabilitasi untuk mendukung pemulihan ekosistem secara berkelanjutan. Bagi Burhan, mangrove bukan sekadar pohon. "Ini adalah masa depan anak cucu kita," tegasnya. Dengan ketekunan dan dedikasinya, Burhan telah menjadi simbol ketangguhan dan harapan bagi masyarakat Kabupaten Manggarai Barat.
Mangrove yang dulu terancam, kini menjadi penopang utama ekosistem dan mata pencaharian warga setempat. Ada beberapa lokasi berdasarkan pemetaan bersama WWF-Indonesia ada potensi rehabilitasi mangrove sekitar 63,7 Ha.
"WWF-Indonesia berkomitmen untuk terus mendukung upaya rehabilitasi ekosistem mangrove sebagai bagian penting dari perlindungan lingkungan dan mitigasi perubahan iklim. Melalui program rehabilitasi dan penyadartahuan masyarakat, kami mendorong partisipasi aktif masyarakat lokal dalam menjaga keberlanjutan mangrove, yang berperan penting sebagai penahan abrasi, penyimpan karbon, serta tempat hidup bagi berbagai jenis keanekaragaman hayati. Dengan membangun kesadaran yang lebih luas, kami percaya bahwa perlindungan ekosistem mangrove dapat terwujud secara berkelanjutan demi masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang,” ujar Kusnanto, Site Coordinator for Flores Water LSS.
Rencana intervensi WWF di area Rangko, Kabupaten Manggarai Barat dalam program Blue Carbon akan difokuskan pada pengembangan ekosistem mangrove dan padang lamun sebagai upaya mitigasi perubahan iklim dan perlindungan pesisir. Kegiatan ini mencakup rehabilitasi ekosistem lamun serta peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan pesisir secara berkelanjutan. Untuk memastikan keberhasilan program tersebut, WWF-Indonesia akan memperkuat kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah provinsi, pemerintah daerah, komunitas lokal, dan lembaga penelitian.
Kerja sama ini bertujuan untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan praktik di lapangan, sehingga tercipta model perencanaan pengelolaan Blue Carbon yang efektif dan berkelanjutan. Program ini juga akan mendorong pembentukan area demonstrasi yang berfungsi sebagai laboratorium lapangan untuk inovasi pemulihan ekosistem pesisir, serta mengembangkan kebijakan berbasis data untuk mendukung pengembangan ekonomi biru yang ramah lingkungan di wilayah Manggarai Barat.