BUKAN HANYA SEKEDAR KAYU
Di awal abad ini, pulau Lombok Indonesia menghadapi krisis. Pohon-pohon jatuh di lereng-lereng Rinjani, gunung berapi yang mendominasi pulau ini, telah mengakibatkan mata air untuk mengering dan persediaan air mengurang, membuat penduduk yang tinggal di ibukota Mataram berjuang melawan kekurangan air setiap harinya.
Lalu solusinya? Sebuah dorongan untuk memulihkan dan melestarikan hutan-hutan di hulu, dengan sedikit retribusi ditambahkan ke bisnis dan biaya air rumah tangga untuk membiayainya. Selagi pohon-pohon itu tumbuh kembali, air pun tak lama bermunculan.
Ini sebuah ilustrasi jelas akan nilai dari hutan – dan bagaimana nilai ini bisa di kembangkan melalui pembayaran untuk layanannya, seperti persediaan air, yang diberikan oleh hutan.
Jadi, bisakah pengelola hutan menemukan pasar untuk manfaat tambahan ini, yang biasa disebut layanan ekosistem? The Forest Stewardship Council (FSC), organisasi nirlaba global yang menetapkan standar dan skema sertifikasi untuk hutan yang sudah di kelola, telah mengembangkan sebuah skema yang bertujuan untuk membantu mereka melakukan itu. Membangunnya dengan dasar-dasar pengalaman dari hutan yang dimiliki komunitas di Lombok, di antara yang lain, merupakan global standar pertama yang mendemonstrasikan pengelolaan hutan memiliki dampak positif pada layanan ekosistem.
“Sertifikasi FSC memberi keyakinan bahwa hutan telah terkelola dengan baik, sehingga secara teori, dapat berdampak positif untuk manusia dan alam,” kata Angga Prathama Putra, Hutan Tanggung jawab, Kordinatior Nasional, yang memimpin perkerjaan WWF-Indonesia di bidang kehutanan. “Dan apabila dampak-dampak itu bisa didemonstrasikan dan di verifikasikan, mereka akan lebih dikenal oleh masyarakat dan dihargai di pasar.”
Dengan dukungan dari WWF, Kelompok Masyarakat Peduli Hutan (KMPH) dari Desa Seasot, dapat mendemonstrasikan bahwa memelihara tutupan hutan disaat penangkapan air krusial dapat menimbulkan dampak positif ke penyiadaan air di hilir.
KMPH memiliki 1224 anggota, yang memiliki kurang dari setengah hektar masing masing. Secara kolektif, mereka menanam lebih dari 35000 pohon di sekitar 12 mata air, yang menyediakan air untuk desa di sekitarnya dan sebuah pembangkit tenaga air. Diantara spesies yang ditanam, ada berbagai macam pohon berbuah – kemiri, rambutan, durian, manggis, dan alpukat – yang dapat membantu penduduk lokal untuk memperoleh pendapatan. Penduduk lokal juga mengumpulkan madu, rotan, karet, dan bamboo.
“Reboisasi yang diadakan KMPH sangatlah baik” kata Rahman, ketua KMPH. “Hal ini bisa dilihat dari kondisi sungai dan mata air. Kuantitas air sudah mulai stabil, aliran sungai tidak lagi menjadi kering saat musim kemarau, dan debit air selalu mencukupi untuk pembangkit tenaga air. Kualitas airpun ikut meningkat – air sudah dipakai oleh perusahaan air, dan juga oleh penduduk lokal untuk minum.
Dengan sertifikat layanan ekosistem FSC, KMPH akan mendapatkan verifikasi independen dari sebuah organisasi yang dihargai secara internasional bahwa pengelolaan hutan mereka telah membuat perubahan signifikan kepada persediaan air. Rahman berharap bahwa ini bisa membuat komunitas pendapat manfaat secara moneter – berpotensi dari perusahaan air, pembangkit tenaga air, atau bisnis yang ada di hilir – yang akan memberikan insentif lebih lanjut untuk memulihkan dan melestarikan hutan.
Selain pekerjaan di Lombok, WWF mengkordinasi dua proyek lainnya di Indonesia, di provinsi Kalimantan Timur dan Barat, Kalimantan, berkerja sama dengan Menteri Lingkungan dan Kehutanan Indonesia dan NGO lokal.
Di Kalimantan Timur, perkerjaan fokus pada karbon dan keanekaragaman hayati di 84850 hektar konsesi penebangan milik PT Ratah Timber. Area itu sudah memiliki sertifikat pengelolaan hutan FSC- yang berarti kayu nya dapat di jual dengan label FSC, menunjukan bahwa kayu itu berasal dari hutan yang dikelola dengan baik. Sekarang, perusahaan itu bisa mendemonstrasikan bahwa cara mereka mengurangi dampak penebangangan menghasilkan dampak positif terhadap karbon dan keanekaragaman hayati.
Selagi menjaga area area penting untuk konservasi, cara Ratah Timber yang memanen dengan hati hati, menunjukan bisa membuat hutan regenerasi lebih cepat dibanding konsesi penebangan konvensional. Pemantauan kepadatan dan distribusi satwa liar yang tinggi. Sejumlah burung dan mamal punah, seperti kucing bay, tertangkap kamera di area dimana cara memanen itu di terapkan.
Pengukuran juga menunjukan bahwa pengelolaan hutan Ratah Timber membantu mempertahankan level karbon hutan. Walaupun memanen hutan akan berujung kepada pengihilangan karbon, tapi ini lebih rendah di konsesi Ratah Timber dibandingkan penebangan di hutan lainnya: rata rata 4.68 ton karbon telah hilang per hektar, dibanding 60.2 ton di Kalimantan Timur sepenuhnya.
Di Kalimantan Barat, fokusnya merupakan layanan rekreasional- secara specific, usaha dari organisasi komunitas lokal Kelompok Pengelola Pariwisata (KPP) untuk mengelola hutan sebesar 7000 hektar untuk ekowisata. Hutan komunitas ini merupakan bagian dari pemandangan indah, bersebalahan dengan Taman Nasional Danau Sentarum. Kaya dengan satwa, dengan orang utan, monyet proboscis, buaya, beruang madu, pangolin dan banyak macam burung, dan memiliki potensi wisata yang tinggi. Komunitas itu juga berharap untuk menjual produk hutan non-kayu seperti madu dan kerajinan tangan.
Situs-situs di Indonesia ini merupakan tiga dari sepuluh proyek pilot di seluruh dunia yang telah dipilih oleh FSC untuk mengembangkan sebuah methodology untuk mengukur dan memverifikasi layanan ekosistem.
“Menjaga nilai lingkungan dan sosial selalu menjadi inti dari standar FSC, tapi selama ini pengelola hutan harus menanggung biaya untuk menyediakan manfaat ini bagi masyarakat,” jelas Chris Henschel, pengelola program ekosistem layanan FSC. “Dengan menyediakan alat untuk membantu mengakses pembayaran untuk layanan ekosistem, kita bisa memperkuat insentif dan penghargaan untuk pengelolaan hutan yang bertanggung jawab.”
Menggambar bedasarkan pengalaman di Indonesia dan di lainnya, FSC Ecosystem Services Procedure yang baru di luncurkan ini menyediakan pengelola hutan, termasuk petani kecil dan komunitas, dengan alat untuk mengoleksi bukti dari dampak mereka terhadap layanan ekosistem. Sekarang, prosedur tersebut mencakup karbon, keanekaragaman hayati, air, tanah, dan rekreasi. Auditor eksternal akan memeriksa dan memverifikasi infomasi ini, dan mengeluarkan sertifikat.
Pengelola Hutan yang sukses dapat menggunakan logo FSC untuk mempromosikan apa yang sedang mereka lakukan – seperti halnya mereka yang membayar untuk layanan ekosistem. Perusahan tersebut juga dapat menjual kredit karbon yang telah di verifikasi kepada bisnis yang ingin mengimbangi emisi mereka sendiri.
Jadi, apakah benar-benar ada pasar untuk layanan ekosistem? FSC mempercayai hal itu. “Kami telah melakukan cukup banyak penelitian pasar di skala nasional dan internasional, dan kami melihat ada ketertarikan di layanan ekosistem yang telah diverifikasi, dan ada kemauan untuk membayarnya.” kata Henschel. Pelanggan potensial mencakup merek global yang ingin mengkomunikasikan berita baik dari sumber hutan mereka, investor yang berpikiran etis mencari bukti hasil lingkungan yang positif, perusahaan pariwisata dan air, dan pemerintah yang berupaya mengurangi emisi karbon terkait hutan sebagai bagian dari komitmen iklim mereka.
Angga terdorong oleh pekerjaan di Indonesia, dan optimis bahwa pendekatan ini dapat dimulai di negara ini. “Ekstraksi kayu di Indonesia sangatlah besar, tetapi hutan tropis menyediakan lebih dari sekedar kayu,” katanya. “Bisnis dan masyarakat perlu berpikir tentang nilai-nilai lain dari hutan, dan mendapatkan manfaat pasar untuk layanan ekosistem dapat memotivasi mereka untuk melakukan hal itu.”