BELAJAR DARI GURU, BERGERAK UNTUK KOTA: STUDY EXCHANGE ZERO WASTE SCHOOL 2025
Pagi itu, kantor WWF-Indonesia terasa berbeda. Sejak pukul tujuh, guru-guru dari Bogor, Depok, dan Jakarta mulai berdatangan. Ada yang saling menyapa hangat, ada yang tertawa sambil menikmati sarapan sederhana, ada pula yang baru pertama kali bertemu namun langsung merasa satu frekuensi. Mereka datang dengan satu keresahan yang sama: persoalan sampah di sekolah—dan satu harapan yang juga sama—mencari cara agar perubahan bisa terus berjalan.
Study Exchange Guru Zero Waste School 2025 ini bukan sekadar agenda berbagi praktik. Kegiatan yang diikuti 35 guru dan pimpinan sekolah lintas jenjang ini dirancang sebagai ruang belajar bersama, tempat refleksi, inspirasi, dan penguatan jejaring antar sekolah dampingan Program Zero Waste School (ZWS) WWF-Indonesia dan Yayasan Guru Belajar. Kegiatan ini sekaligus menjadi bagian dari peringatan Hari Guru Nasional, momentum untuk merayakan peran guru sebagai penggerak perubahan, bukan hanya di ruang kelas, tetapi juga di lingkungan dan kota tempat mereka tinggal.
Tiga Cerita, Tiga Wajah Zero Waste School
Rangkaian kegiatan diawali di kantor WWF-Indonesia. Setelah pembukaan, sesi inspirasi Jejak Sekolah Zero Waste menghadirkan tiga cerita dari konteks sekolah yang berbeda—namun saling melengkapi.
Dari Sekolah Alam Al Fazza, Depok, Kak Zubair membagikan praktik Green Market dan kantin sehat. Di sekolah ini, kantin tidak lagi sekadar tempat membeli makanan, tetapi ruang belajar tentang tanggung jawab. Murid dibiasakan membawa wadah sendiri, menyewa tumbler atau lunch box, memilah sisa makanan, hingga memahami kemana sampah mereka berakhir. Sisa makanan diolah menjadi kompos dan pakan maggot, sementara kemasan diminimalkan melalui sistem yang dirancang bersama warga sekolah dan orang tua. Zero waste hadir sebagai budaya harian—bukan proyek tambahan.

Cerita berikutnya datang dari Bu Euis Novitasari (Bu Sari), guru SD Insan Kamil Bogor. Ia memilih bercerita dengan jujur tentang proses jatuh bangun menuju Zero Waste School. Permasalahan sampah, menurutnya, sangat kompleks karena yang diubah bukan hanya sistem, tetapi karakter dan kebiasaan. Setiap sekolah memiliki “dosis” perubahan yang berbeda. Kuncinya adalah menyusun strategi, melakukan hal yang paling mungkin, fokus pada satu kebiasaan, dan mengintegrasikannya dengan pembelajaran di kelas. “Teruslah melangkah,” pesannya, “wujudkan sekolah bebas sampah.”
Cerita ketiga datang dari SDN Rawa Badak Utara 05, Jakarta—sekolah negeri yang berada di gang kecil, di tengah kepadatan permukiman. Bu Esti Robnanci Gultom menggambarkan tantangan khas sekolah perkotaan: kemasan sekali pakai, sampah yang tersembunyi di laci dan pojok kelas, hingga tempat penampungan yang kerap penuh. Namun keterbatasan ruang tidak menghentikan perubahan. Dari kebiasaan membawa tumbler dan tempat makan, pengelolaan bank sampah dan ecobrick, hingga program Jumat bersih-bersih dan edukasi zero waste oleh guru, perubahan perlahan tumbuh. Lingkungan sekolah menjadi lebih bersih, berat sampah berkurang, dan kolaborasi dengan orang tua serta masyarakat semakin erat. “Perubahan dimulai dari satu langkah kecil,” ujarnya, “dan kolaborasi membuatnya bertahan.”
Tiga cerita ini menunjukkan bahwa Zero Waste School tidak tunggal bentuknya. Ia bisa tumbuh di sekolah alam, sekolah swasta, maupun sekolah negeri di gang kecil kota—selama ada komitmen, strategi, dan kolaborasi.
Dari Refleksi ke Kepemimpinan Perubahan
Setelah sesi inspirasi, para peserta diajak melangkah lebih jauh—dari mendengar cerita, menuju merumuskan peran mereka sendiri—melalui workshop bertajuk “Memimpin Perubahan Menuju Zero Waste School. Selama 90 menit, guru-guru tidak langsung diajak membahas teknologi atau sistem pengelolaan sampah. Mereka justru diajak menengok ke dalam—merefleksikan perjalanan masing-masing sebagai penggerak ZWS.
Banyak guru berbagi cerita tentang kelelahan, resistensi, dan perasaan bergerak sendirian. Perubahan menuju sekolah zero waste, sebagaimana disadari bersama, bukan sekadar perubahan teknis, melainkan perubahan budaya. Melalui kerangka Strategi 5M—Memanusiakan Hubungan, Memahami Konsep, Memilih Tantangan, Memberdayakan Konteks, dan Membangun Keberlanjutan—peserta diajak menyusun langkah kecil yang paling mungkin dilakukan di sekolah mereka masing-masing.
Di akhir sesi, setiap peserta menuliskan satu komitmen sederhana: satu langkah kecil yang akan mereka lakukan sepulang dari kegiatan ini. Dari sinilah energi kolektif mulai terasa—bahwa perubahan tidak harus besar, tetapi harus terus dirawat.
Melihat ke Mana Sampah Berakhir
Setelah refleksi dan inspirasi di kantor WWF-Indonesia, perjalanan berlanjut ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Mutiara Bogor Raya (TPST MBR). Di sinilah para guru melihat secara langsung bagaimana sampah dari rumah dan sekolah dikelola dalam sebuah ekosistem kota.
TPST MBR menjalankan pendekatan Integrated Zero Waste Management—mulai dari pengumpulan sampah rumah ke rumah, pemilahan dengan dukungan sumber daya manusia terlatih, hingga pengolahan dan pemberdayaan masyarakat. Melalui program Tabungan Sampah Takesi, warga dapat menabung sampah plastik yang telah dipilah dan merasakan langsung manfaat ekonominya. Hingga tahun 2025, 900 keluarga terlibat aktif dengan total tonase sampah yang berhasil dikelola mencapai beberapa 1,7 ton per hari.

Edukasi menjadi fondasi utama. TPST MBR secara rutin melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah, melengkapi dengan penempatan dropbox sampah organik dan anorganik. Bahkan plastik residu yang sulit dikelola diupayakan untuk diolah kembali melalui inovasi upcycle menjadi bahan bangunan ramah lingkungan. Bagi para guru, kunjungan ini menjadi pengingat penting: perubahan perilaku di sekolah akan berdampak lebih luas ketika terhubung dengan sistem pengelolaan sampah di tingkat kota.
Merayakan Guru, Merawat Perubahan
Study Exchange Guru Zero Waste School 2025 menegaskan satu hal penting: guru adalah aktor strategis dalam upaya mengurangi kebocoran plastik dan membangun kota yang lebih berkelanjutan. Di momentum Hari Guru Nasional, kegiatan ini menjadi ruang untuk merayakan peran guru bukan sebagai sosok sempurna, melainkan sebagai pembelajar yang terus mencoba, jatuh bangun, dan melangkah bersama.
Dari ruang kelas, kantin sekolah, hingga TPST kota, perubahan itu saling terhubung. Ketika sekolah, masyarakat, dan sistem kota bergerak searah, upaya kecil dapat menciptakan dampak besar. Dan dari Bogor, Depok, hingga Jakarta, para guru pulang membawa satu keyakinan baru: bahwa langkah kecil yang dirawat bersama bisa menjadi awal dari revolusi hijau di kota-kota kita.